Ragam

Kisah Pilu Penyandang Tuli di Samarinda, Minim Pendamping, Kerap Didiskriminasi

person access_time 4 years ago
Kisah Pilu Penyandang Tuli di Samarinda, Minim Pendamping, Kerap Didiskriminasi

Penyandang tuli di Samarinda tergabung dalam komunitas bernama IKAT. (mustika indah khairina/kaltimkece.id)

Terbentuknya komunitas memudahkan keseharian penyandang tuli. Namun minimnya pendamping yang menguasai bahasa isyarat, membuat keadaan banyak membaik.

Ditulis Oleh: Mustika Indah Khairina
Rabu, 26 Februari 2020

kaltimkece.id Ada yang berbeda dengan kegiatan Rumah Bekesah pada Sabtu, 22 Februari 2020. Sembari menunggu acara dimulai, beberapa peserta memperkenalkan diri dengan sesama yang hadir. Ada yang tertegun melihat kelompok asyik mengobrol dengan ekspresi wajah dan jari-jemari di salah satu sudut ruangan.

Aktivitas itu berhenti sejenak setelah Nurul Fatimah, salah satu pendiri Rumah Bekesah Samarinda, memulai kegiatan pada pukul 10.00 Wita di Aksara Kopi dan Buku, Jalan Merdeka 2. Kedai kopi dengan konsep rumahan tersebut sudah dipenuhi lebih 20 peserta. Sengaja berkumpul untuk saling berbagi kisah masing-masing.  

Kepada kaltimkece.id, Nurul mengatakan bahwa konsep komunitasnya sederhana. Para pencetus ingin membuat rumah yang aman dan nyaman untuk bercerita. “Bercerita berarti bisa menyalurkan perasaan, permasalahan, dan berbagi kisah dengan kami. Kalau tidak menemukan tempat, kami ada di sini,” tambah Lola Devung, dosen Universitas Mulawarman (Unmul) yang juga pendiri Rumah Bekesah.

Kali ini, perhatian khusus ditujukan kepada teman-teman dari Ikatan Kebersamaan Anak Tuli (IKAT) Samarinda. Inggit dan Agustin selaku ketua dan wakil ketua IKAT, memulai sesi dengan menceritakan suka-dukanya selama menjadi penyandang kebutuhan khusus sedari kecil. Di tengah ruangan ada Cindy sebagai penyambung lidah kepada peserta lain. Cindy merupakan salah satu dari dua relawan juru bahasa isyarat (JBI) di Samarinda.

Dari kisah Inggit dan Agustin, jelas tergambar diskriminasi dan kesulitan yang menimpa teman tuli sehari-hari. Mulai ejekan di sekolah, tatapan, dan percakapan dari orang-orang sekitar, hingga kolega kerja yang gemar melecehkan. Untungnya, keluarga ikhlas dengan keadaan yang menimpa anak-anaknya dan mendukung penuh aktivitas dan kegiatan mereka.

Sebelumnya, belum ada komunitas untuk teman tuli di Samarinda. Baru terbentuk komunitas Semangat Muda Tuli (SEMUT) Balikpapan dan Sahabat Tuli (SATU) Tenggarong. Jadi tempat berguru untuk memulai IKAT di Samarinda. Namun, disadari juga di antara komunitas tersebut, diperlukana relawan di luar teman tuli untuk memulai. Untungnya, muncul Cindy yang walaupun saat itu belum bisa bahasa isyarat, akhirnya dapat menguasai dan menjadi JBI dalam kurun waktu satu tahun. Dibekali keinginan tingginya membantu sesama.

Masalah Utama

Menurut Agustin, kesulitan utama yang dialami komunitas adalah minimnya pendamping JBI. Maka dari itu, salah satu tujuan IKAT Samarinda adalah mengajak teman-teman yang bisa mendengar untuk belajar bahasa isyarat agar bisa mendampingi. Saat ini hanya ada Cindy dan Ibrahim.

Sedangkan untuk belajar bahasa isyarat harus, langsung dilakukan dengan teman tuli. Tidak boleh dengan JBI atau yang bisa mendengar. Namun saat ini, hanya ada empat sampai lima orang yang mendedikasikan diri untuk mengajar di IKAT. Jumlahnya minim karena di antara komunitas tuli sendiri masih ada yang belum bisa bahasa Isyarat.

“JBI diperlukan untuk segala acara. Tapi, kami sangat membutuhkan mereka terutama pada saat-saat yang penting dan mendadak seperti nikah pada saat pengucapan akad, proses hukum, dan saat bertemu dengan dokter. Orang dengar tidak bisa memaksa kami untuk oral,” ungkap Agustin. Kalaupun kegiatan tersebut harus dilaksanakan, mereka terpaksa berkomunikasi lewat tulisan.

Cindy pun menceritakan kisah pilu yang sangat membekas saat mendampingi teman tuli dalam kasus hukum. “Ada kasus kekerasan. Dia mengalami pelecehan seksual sampai hamil oleh bapaknya sendiri. Bagaimana dia bisa menceritakan kasusnya kalau tidak ada pendamping? Di saat seperti ini saya berterima kasih sekali kepada Tuhan karena bisa berbicara dan mendengar.”

Tiadanya pendamping juga membuat sulitnya mencari dan diterima di dunia kerja. Inggit yang awalnya diterima bekerja di sebuah kafe, harus rela keluar akibat olokan terus-menerus dari koleganya. Padahal, untuk mendapatkan pekerjaan tersebut saja prosesnya sangat sulit. Tidak banyak yang mau menerima keterbatasan dalam berkomunikasi.

“Memang, sulitnya itu. Ketika kami membuat kesalahan, tidak bisa dimarahi secara verbal. Tapi di sisi lain, teman tuli sebetulnya lebih fokus dan pekerjaannya cepat selesai jika dibandingkan dengan teman-teman dengar yang terkadang suka mengobrol. Apalagi dalam pekerjaan yang bersifat administratif,” tambah Inggit.

Secara umum, kesempatan terbuka untuk penderita tuli masih minim. Contohnya, dalam seleksi CPNS yang memberi formasi khusus penyandang disabilitas, kualifikasi yang diperlukan sama dengan formasi umum. Sama halnya dengan kampus-kampus di Samarinda yang tidak memiliki fasilitas atau perhatian khusus untuk memungkinkan teman tuli menyelesaikan studi sarjana.

“Saat ini, bantuan dari institusi pendidikan sangat kurang dari segi keilmuan dan perhatian. Kenyataannya, kita harus bekerja lebih keras lagi untuk membantu,” sebut Lola Devung yang juga dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul.

“Saat saya mem-­posting acara kolaborasi antara Rumah Bekesah dan IKAT Samarinda, ada kolega dari Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo mengajak berkolaborasi. Di sana, mereka sudah memiliki Pusat Studi Disabilitas. Universitas tentu mempunyai andil dalam hal ini.”

Lola juga menceritakan pengalaman saat salah satu mahasiswa bimbingannya. Yakni saat membuat skripsi mengenai praktik eksperimen mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Luar Biasa (SLB). Saat itu dia mengaku hanya memberikan teori saja. Belum pernah melihat sendiri tantangan berkomunikasi dengan teman tuli sebelum acara ini. Ke depannya, dia akan menganjurkan penelitian yang bisa membantu teman berkebutuhan khusus secara praktikal. “Selama ini kesempatan yang kita berikan hanya lewat lensa kita saja, dan bukan lensa mereka,” imbuhnya.

Bagi Nurul, inisiatif atau langkah awal juga wajib dilakukan pemerintah. Ia awalnya kesulitan mencari komunitas seperti IKAT untuk diajak berkolaborasi. Tidak tahu dinas mana yang seharusnya dihubungi. “Kami membuat acara ini juga karena ingin membuka koneksi untuk menciptakan komunitas yang inklusif. Tapi, bagaimana caranya kalau koneksi tersebut tidak dibuka jaringannya? Pemerintah seharusnya yang membuka, namun tanggung jawab ini belum terlihat,” sambungnya.

Ke depannya, Rumah Bekesah berharap jika ada program lanjutan, komunitas IKAT dan teman-teman berkebutuhan khusus bisa turut hadir. Pesan terakhir mereka adalah: “Jangan pernah merasa sendiri, pasti setiap orang punya ceritanya masing-masing. Kalau merasa sendiri, silakan datang ke Rumah Bekesah. Tidak ada cerita besar atau kecil. Semua cerita adalah cerita dan setiap cerita itu berhak untuk didengar.” (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar