Ragam

Mengukir Toleransi di Gereja Ulin Pampang

person access_time 1 year ago
Mengukir Toleransi di Gereja Ulin Pampang

Gereja Katolik Santo Gabriel Stasi Desa Budaya Pampang. FOTO: MIKA SUHENDRA-KALTIMKECE.ID

Gereja Katolik ini terbuat dari kayu ulin yang bertabur ukiran. Dari utara Samarinda, inilah simbol toleransi dan keragaman. 

Ditulis Oleh: Mika Suhendra
Rabu, 08 Februari 2023

kaltimkece.id Pastor Petrus Prillion Ibardabouth Binseng MSF kembali ke mimbar dengan sedikit tergesa-gesa. Ibadah baru selesai akan tetapi ia lupa menyampaikan sebuah pengumuman penting. Ia pun segera menyampaikan kepada umat yang hendak pulang. Bahwasanya, donasi pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel Stasi Pampang masih dibuka.

Di suatu misa pada 2021, Pastor Prillion turun dari mimbar selepas menyampaikan pengumuman tadi. Rohaniawan itu adalah inisiator pembangunan gereja di Kelurahan Budaya Pampang, Samarinda Utara. Rumah ibadah tersebut mulai dibangun pada 2020. 

Pada awal pembangunan, Pastor Prillion mengumpulkan material. Ia mencari kayu ulin, mengurus perizinan, hingga menggalang dana. Gereja ini memang dibangun dengan pembiayaan mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah. Penggalangan dana dari umat berjalan selama tiga tahun. 

“Bagi saya, keinginan melihat umat segera beribadah di gereja adalah sumber semangat,” terangnya kepada kaltimkece.idSabtu, 4 Februari 2023

Sumbangan pun datang dari berbagai sumber. Sekitar 30 persen biaya pembangunan berasal dari umat Katolik. Sementara itu, 70 persen yang lain merupakan donasi dari berbagai macam suku dan agama. 

“Ini wujud bhineka tunggal ika dan bentuk toleransi,” terangnya. Biaya yang terkumpul selama tiga tahun sebesar Rp 5 miliar. Pastor Prillion mengatakan, sebenarnya nilai donasi itu lebih besar dari Rp 5 miliar. Banyak sumbangan yang tidak berupa uang melainkan jasa dan barang. 

Pembangunan gereja dimulai pada 2020 selagi donasi terus berjalan. Bangunan gereja itu panjangnya 17 meter, lebar dan tingginya 20 meter. Desainnya rumah panggung. Seluruh bagian gereja terbuat dari kayu ulin mulai fondasi, tiang, lantai, dinding, hingga ujung menara. Pemilihan kayu khas Kalimantan tersebut bukan tanpa alasan. 

 “Agar generasi selanjutnya bisa mengenal kayu ulin. Sekarang ini, sulit sekali melihat kayu ulin apalagi di perkotaan,” tutur Pastor Prillion.

Pembangunan gereja akhirnya selesai dan diresmikan pada 9 Oktober 2022. Pastor Prillion selaku inisiator memperoleh apresiasi dari Wali Kota Samarinda Andi Harun pada 22 Januari 2023. Ia menerima penghargaan sebagai Tokoh Agama Katolik Inisiator Pembangunan Gereja Ulin di Desa Budaya Pampang. 

Penghargaan dari wali kota Samarinda kepada Pastor Prillion atas pembangunan Gereja Ulin Pampang. FOTO: MIKA SUHENDRA-KALTIMKECE.ID
 

Bertabur Ukiran

Ornamen yang paling menonjol dari Gereja Santo Gabriel adalah pilar-pilarnya. Rumah ibadah berbentuk rumah panggung itu punya 30 tiang. Empat pilar utamanya setinggi 16 meter dengan diameter 70-90 sentimeter. Kemudian, ada dua pilar setinggi 14 meter yang berdiameter 30-40 cm. Ditambah lagi 24 tiang yang lebih pendek setinggi 3 meter. Sebanyak 18 di antaranya berdiameter 30-40 cm, enam sisanya berdiameter 18-23 cm.

Seluruh tiang dari kayu ulin itu dihiasi dengan ukiran. Ada pahatan khas Dayak Modang, Aoheng, Tunjung, Benuaq, Kenyah, dan Bahau. Tak hanya lokal, ada ukiran Bali, Papua, Jawa, Tionghoa, Batak, dan Toraja.

Pastor Prillion menjelaskan filosofi ukiran di penopang bangunan tersebut. Pilar bangunan berukiran dari Sabang sampai Merauke persis seperti suku-suku dari barat sampai timur Nusantara yang menopang negara Indonesia. 

“Jika negara ingin kuat, semua harus bersatu dan menopang bersama,” terangnya. Keragaman suku yang tergambar dari ukiran tadi disebut menunjukkan sifat toleransi. Bagaimanapun, gereja ini dibangun lewat donasi dari beragam suku dan agama.

Pemahatan pilar Gereja Ulin Pampang. Dikerjakan tanpa bantuan mesin. FOTO: MIKA SUHENDRA-KALTIMKECE.ID. 
 

Selain di 30 tiang penyangga, ukiran ditemukan di pintu depan gereja, dua pintu samping, 15 jendela, dan 40 pagar tangga. Dua akar pohon ulin bercabang setinggi 2,5 meter juga dipahat. Begitu pula dengan altar, mimbar, kayu salib, tempat gong, dan kursi umat di dalam gereja, diukir semua.

Ukiran yang dipilih sebagai ornamen gereja ini tidak sembarangan. Sebagai contoh, ukiran khas Dayak Kenyah yang bermakna selamat datang ditempatkan di depan bangunan. Pastor Prillion menjelaskan, hal tersebut berhubungan dengan inkulturasi. Adapun inkulturasi adalah proses adaptasi ajaran-ajaran gereja dengan kebudayaan non-Kristiani.

Dikerjakan Pengrajin

Semua ukiran di gereja dikerjakan dengan tangan tanpa menggunakan mesin. Yohanes Yan adalah seorang seniman ukir yang menyumbangkan karya seninya di Pampang. Ia sudah belajar mengukir sejak SMP secara autodidak dari kakeknya. Lelaki berusia 40 tahun itu juga terlibat dalam pengukiran Lamin Taman Budaya Sendawar di Kutai Barat. 

Di Samarinda, Yan bersama tujuh rekannya mengukir di gereja Pampang sejak sebelum pandemi Covid-19.  “Mengukir itu tidak bisa asal atau sembarangan,” kata Yan. 

Menurutnya, seni ukir tidak hanya memiliki nilai seni. Ada nilai adat dan kebudayaan. Ukiran memiliki filosofi yang disiapkan dengan matang. Sebelum memulai mengukir motif Dayak di gereja, Yan bersama rekan-rekannya bahkan harus mengadakan upacara adat. Tujuannya agar kegiatan mereka lancar dan dijauhkan dari kecelakaan.

Yohanes Yan, seniman yang mengukir di Gereja Ulin Pampang. FOTO: MIKA SUHENDRA-KALTIMKECE.ID 
 

Selama mengukir di Gereja Ulin Pampang, Yan mengaku tertantang. Ia tidak mengukir motif Suku Dayak saja. Yan mengukir beragam suku di luar Kalimantan. Tantangan yang lain, Yan dan rekan-rekan harus mengukir tiang yang sudah berdiri. Cara itu dipilih agar pembangunan gereja bisa cepat selesai. Dia pun mengukir di ketinggian hingga 16 meter. 

“Makna ukiran di tiang-tiang ini bagus semua,” jelasnya. 

Tiang yang diukir dengan motif Dayak Bahau, misalnya, punya bentuk wajah besar. Artinya, adalah sebuah kebesaran. Ada juga ukiran berbentuk guci yang bermakna tempat menampung hasil bumi dan kekayaan. Sementara ukiran khas Toraja diwakili motif ayam dan ukiran Tiongkok adalah bentuk naga.

Yan menjelaskan, banyak motif yang ia ukir berasal dari abstraksi di kepalanya. Dalam menggambarkan suatu hal, seorang seniman dengan yang lain bisa berbeda hasil karyanya. Semua itu bergantung pengetahuan, pengalaman, dan seni setiap seniman. Pengukir juga harus memiliki jasmani dan rohani yang baik. 

“Jika tidak baik (kondisi jasmani dan rohani), saya memilih tidak memulai mengukir,” jelasnya.

Tentang Ukiran Khas Dayak 

Roedy Haryo Widjono adalah seorang sastrawan dan budayawan di Samarinda. Ia menjelaskan asal-usul motif ukiran Suku Dayak. Pria yang sering disapa Romo Roedy ini memaparkan, motif ukiran muncul dari bentuk ekspresi spiritualitas dan ekspresi identitas leluhur. Pada zaman dahulu, bentuk ekspresi itu dituangkan di wadah tertentu. Wadah ini bisa berupa media seperti batu, di dalam goa, kayu, bahkan kulit manusia.

Suku Dayak secara umum memiliki tiga wujud ukiran; flora, fauna, dan manusia. Warna yang digunakan adalah warna alam. Hal itu tidak lepas dari Suku Dayak yang banyak berhubungan dengan alam berserta mahluk hidup. Romo Roedy menuturkan, wujud ukiran itu juga muncul di kebudayaan suku lain. 

Hasil ukiran di bagian dalam Gereja Ulin Pampang. Semuanya memiliki filosofi yang menggambarkan keberagaman. FOTO: MIKA SUHENDRA-KALTIMKECE.ID
 

“Yang membedakan adalah pemaknaan yang berdasarkan hubungan manusia dengan langit,” kata Romo Roedy. Menurutnya, semua motif tersebut punya tingkatan berbeda-beda. Setiap motif memiliki nilai dan maksud sesuai tujuannya. 

“Arti motif ukiran juga sudah ditentukan melalui kesepakatan. Motif ukiran dalam konteks Dayak bukan semata seni tetapi nilai adat dan kebudayaan,” tutupnya. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar