Ragam

Merawat Seni Kriya yang Minim Perhatian

person access_time 1 year ago
Merawat Seni Kriya yang Minim Perhatian

Yohanes Yan tengah memahat sebuah kayu ulin. Ia adalah seniman ukiran khas Dayak. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID

Sejumlah kerajinan tangan masyarakat Kaltim disebut memiliki estetika yang tinggi. Ukir-ukiran buatan Suku Dayak salah satunya.

Ditulis Oleh: Kristantus Lung Ngo
Jum'at, 21 April 2023

kaltimkece.id Di kolong sebuah gereja di Desa Budaya Pampang, Samarinda Utara, Yohanes Yan sibuk memahat kayu ulin. Dengan penuh kehati-hatian, lelaki berusia 39 tahun ini mengukir bentuk salib menggunakan tatah. Siang itu, Ahad, 16 April 2023, Yan tengah melanjutkan memahat perjalanan Yesus yang menjadi tema ukirannya.

Di sela-sela kesibukannya, Yan menceritakan awal mula menjadi seniman ukir kayu kepada kaltimkece.id. Kegiatan mengukir kayu dimulainya 10 tahun silam atau sebelum ia merantau ke Samarinda. Waktu itu, ia tinggal di Kutai Barat. Ia pernah mengukir patung untuk rumah adat Suku Dayak dan beberapa bangunan pemerintahan.

“Awalnya, hanya coba-coba saja memahat. Ternyata hasilnya terlihat bagus. Dari situ, saya seriusin hingga sekarang,” cerita Yan. Ia meyakini, darah seni yang mengalir di tubuhnya tidak datang begitu saja. “Saya memiliki orang tua yang ahli dalam ukir-mengukir,” jelasnya.

Orang-orang Suku Dayak disebut memang gemar mengukir di kayu. Hampir semua rumah adat atau lamin Suku Dayak di Kalimantan Timur, dinding dan tiang penyangganya terdapat ukir-ukiran unik seperti hewan dan tumbuhan. Selain ulin, mereka juga kerap mengukir di kayu jati dan meranti. Setiap motif yang dibuat memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Dayak.

Junius Wang, pemerhati seni asal Samarinda, mengatakan, ukiran di rumah adat adalah simbol identitas Suku Dayak. Setiap sub-Suku Dayak memiliki ukiran dengan ciri khas tertentu. Suku Dayak Bahau Busaang, misalnya, motif ukirannya yang paling populer yakni nang beraang, asoq lejau, dan banaah.

“Dalam paham Dayak Bahau Busaang, ukiran nang beraang dan asoq lejau memiliki makna yang sakral. Pada zaman dulu, ukiran tersebut dipercayai memiliki jiwa atau roh leluhur. Dayak Bahau Busaang mempercayai, ukiran tersebut dapat menjadi pelindung bagi suku mereka,” kata pemuda berusia 21 tahun itu.

Setiap ukiran juga disebut menjadi penanda kasta di komunitas Dayak Bahau Busaang. Orang keturunan raja atau hipui (bahasa Dayak), sebut Wang, mengukir rumah mereka dengan motif nang beraang dan asoq lejau. Sedangkan masyarakat kelas menengah (penggawa) dan biasa (panyin) menggunakan motif banaah. Motif-motif tersebut juga kerap ditemukan di peti mati (lungun).

Tak hanya rumah dan peti, masyarakat Dayak juga sering mengukir hiasan di peralatan rumah tangga seperti meja, kursi, dan lemari. Gambarnya beragam macam, mulai dari ular, harimau, burung enggang, hingga pohon beringin.

Gaudentius Simon Devungtokoh masyarakat Dayak. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID

Ancaman Seni Tradisional

Bekas dosen Antropolog dan Spesialis Pendidikan Sosial, Universitas Mulawarman, Gaudentius Simon Devung, menjelaskan, ukir-ukiran yang dibuat masyarakat Dayak adalah seni tradisional. Bagi masyarakat Dayak, setiap ukiran memiliki nilai sejarah dan estetika yang tinggi. Tak sedikit, kata Simon, kolektor seni memburu ukiran buatan masyarakat Dayak.

Selain kayu, sebut dia, masyarakat Dayak di Kaltim juga mengukir di tanduk kerbau atau rusa, kulit binatang, dan gigi babi hutan. Teknik pengukirannya tak jauh berbeda seperti mengukir di kayu.

Melihat besarnya potensi dari seni masyarakat Dayak, Simon yang juga merupakan tokoh masyarakat Dayak, menyerukan agar seni masyarakat Dayak dilestarikan dan dikembangkan. Pelestarian dan pengembangannya harus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Simon mendorong, pemerintah lebih peka melihat potensi kebudayaan dan seni kriya seperti ukiran buatan masyarakat Dayak. Menurutnya, upaya pengembangan kebudayaan dan seni tradisional yang selama ini dilakukan pemerintah belum berjalan maksimal. Kerja sama antara pekerja seni, Dinas Pendidikan dan Kebudaayan, serta Dinas Perindustrian harus ditingkatkan.

“Sekarang, banyak produk lokal yang bisa dijadikan industri kreatif. Tapi hanya sedikit yang bisa berkembang. Biasanya, hal ini disebabkan ketidakmampuan pembiayaan pengembangannya,” kata Simon kepada kaltimkece.id melalui sambungan virtual.

Mengukir di kayu adalah salah satu kesenian masyarakat Dayak. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID

Seruan Simon itu bukan tanpa alasan. Seni tradisional termasuk ukiran Dayak kini menghadapi ancaman. Kehadiran teknologi dan gaya hidup modern yang semakin masif disebut dapat menyingkirkan seni tradisional. Tanpa upaya pelestarian dan pengembangan yang maksimal, kata Simon, sulit mempertahankan seni tradisional sebagai kekayaan budaya Indonesia.

“Kita punya 1.001 kebudayaan, pemahaman dan pikiran, termasuk filosofisnya. Apa yang diwarisakan ke kita, seyogianya dijaga. Salah satu upayanya adalah memasukan seni tradisional ke industri wisata,” ujarnya.

Upaya lainnya, sambung dia, memperluas pemasaran produk-produk lokal seperti hasil kerajinan tangan Suku Dayak. Masyarakat Dayak memiliki berbagai macam kerajinan tangan, di antaranya ukiran kayu, aksesori, perkakas rumah tangga, dan suvenir. Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, seni tradisional Kaltim diyakini tidak akan hilang ditelan zaman. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar