HISTORIA

Lahirnya Organisasi Kepemudaan di Kaltim, dari HIS hingga Rupindo di Era Abdoel Moeis Hassan

person access_time 4 years ago
Lahirnya Organisasi Kepemudaan di Kaltim, dari HIS hingga Rupindo di Era Abdoel Moeis Hassan

Pengurus Rupindo pada 1942. Tampak Abdoel Moeis Hassan (tengah, pakai peci) bersama pengurus organisasi lainnya. (arsip muhammad sarip)

Organisasi kepemudaan di Kaltim baru terbentuk lima tahun setelah Sumpah Pemuda menggema di Batavia pada 28 Oktober 1928.

Ditulis Oleh: Arditya Abdul Azis
Senin, 28 Oktober 2019

kaltimkece.id Sudah 91 tahun sejak 28 Oktober 1928. Kala tercetus kali pertama Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta). Para pemuda bersemangat memperkuat kesadaran kebangsaan dan persatuan. Semangat yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Namun, pergerakan pemuda pada tahun yang sama di Kaltim tak semasif di Jawa. Belum ada organisasi secara khusus. Hanya organisasi kemasyarakatan yang bersifat umum. Seperti diungkapkan sejarawan asal Samarinda, Muhammad Sarip.

Kepada kaltimkece.id, Sarip mengungkapkan keberadaan Kaltim pada 1928 yang belum memiliki organisasi kepemudaan. Hanya organisasi kemasyarakatan yang telah eksis. Tonggaknya pada 1913. Ketika sekelompok masyarakat di Samarinda mendirikan cabang Syarikat Islam. Walaupun berlabel Islam, arus organisasi bersifat perjuangan nasional. Tak terbatas primordial etnis atau lokalitas.

"Penduduk lokal Samarinda yang pernah sekolah kemudian memahami pentingnya bergerak dalam organisasi. Untuk perjuangan nasionalisme. Dan menyadarkan masyarakat akan kebangsaan Indonesia," kata Sarip.

Lima tahun setelah tercetusnya Sumpah Pemuda, barulah lahir organisasi yang khusus menghimpun pemuda di Samarinda. Bernama Hard Inspanning Sport. Disingkat HIS. Pendirinya Abdul Gafoor. Saat itu ia baru menamatkan sekolah tingkat dasar zaman Belanda di Samarinda.

Penamaan organisasi kepemudaan tersebut, mengambil referensi dari Hollandsch Inlandche School. Sehingga sebutan yang mencuat memiliki singkatan sama: HIS. Biasa mengadakan kegiatan belajar agama. Juga aktif dalam kesenian. HIS merupakan tempat Gafoor bersekolah dulu. "Lima tahun kemudian, HIS berganti nama menjadi Persatuan Pemuda Indonesia. Disingkat Perpi," terang Sarip.

Masuk masa Perang Dunia II, generasi pemuda Kaltim beralih ke angkatan Abdoel Moeis Hassan. Mei 1940, usia Moeis Hassan belum genap 16 tahun. Kala itu, ia dan kawan-kawannya, antara lain Badroen Tasin, Chairul Arief, dan Syahranie Yusuf, menggagas pembentukan organisasi kepemudaan lokal. Berhaluan kebangsaan. Namanya Rukun Pemuda Indonesia. Disingkat Rupindo.

Perkumpulan itu bertujuan menghimpun dan membangkitkan semangat kaum muda. Serta menanamkan kesadaran berbangsa, berbahasa, dan ber-Tanah Air Indonesia. Rupindo eksis sampai 1945. Selama itu, polisi Belanda sering mengintimidasi. Moeis dkk kerap diinterogasi.

Namun demikian, para pengurus Rupindo cerdik berkelit. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Moeis Hassan tampil sebagai pemimpin perjuangan diplomasi kemerdekaan di Kaltim. Dalam wadah Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional. Ia pun jadi Gubernur Kaltim ke-2.

"Gubernur Kaltim periode 1962–1966 itu juga dalam proses pengusulan sebagai Pahlawan Nasional," terang Sarip.

Seiring itu, di Samarinda berdiri pula Surya Wirawan. Perkumpulan pemuda kepanduan. Sekarang mirip Pramuka. Ketuanya Bustani HS yang dipenjara penjajah selama dua tahun mulai 1940. Landraad atau pengadilan kolonial di Samarinda memvonis Bustani HS melakukan subversif atau makar dari orasinya dalam suatu rapat umum.

Samarinda kala itu pusat pergerakan di Oost Borneo—sebutan Kaltim tempo dulu. Juga pusat pemerintahan kolonial. Sekaligus pusat pendidikan dan perdagangan di timur Kalimantan. Sedangkan Balikpapan menjadi kota minyak untuk kolonial. "Adapun Tenggarong merupakan ibu kota Kerajaan Kutai Kartanegara yang tenang. Relatif sepi dari hiruk-pikuk pergerakan," sebutnya.

Samarinda dikecualikan dari aturan hukum adat Kerajaan Kutai. Berlaku hukum kolonial sebagai Vierkante Paal atau daerah satu pal persegi pusat pemerintah Asisten Residen Oost Borneo. Berdasar Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896.

Pemerintah kolonial, sebagaimana penerapan politik etis, mengizinkan pendirian organisasi-organisasi pribumi di Samarinda. Namun, izin aktivitas organisasi tersebut menjadi bumerang bagi Belanda.

Dulu, para pemuda dan masyarakat tidak menyadari sedang dalam cengkeraman penjajah. "Kemudian dari aktivitas keorganisasian, tumbuh kesadaran bahwa mereka harus menghentikan imperialisme bangsa asing dan menjadi berdaulat di negeri sendiri," pungkasnya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar