Peristiwa

Kebakaran Hebat Era Perang yang Terulang di Samarinda

person access_time 5 years ago
Kebakaran Hebat Era Perang yang Terulang di Samarinda

Foto: Humas Pemkot Samarinda

Ratusan kasus kebakaran dengan total 15 korban jiwa tercatat sepanjang 2018 ini. Teror si jago merah tak pergi-pergi dari Kota Tepian.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Senin, 31 Desember 2018

kaltimkece.id Tahun 2018 menyuguhkan banyak kenangan membara. Panasnya akan sulit hilang. Terutama atas 433 kasus kebakaran sepanjang tahun ini di Samarinda.

Catatan Barisan Sukarelawan Pemadam kebakaran dan Bencana atau Balakarcana Samarinda, per 24 Desember 2018 terhitung 433 kebakaran lahan dan rumah selama 2018. Korban jiwa dari musibah tersebut mencapai 15 jiwa. “Dari 433 kebakaran, 70 di antaranya diakibatkan hubungan arus pendek listrik,” sebut Sidik Umardani ketua harian Balakarcana Samarinda kepada kaltimkece.id.

Jatuhnya korban jiwa dari musibah kebakaran terjadi dalam empat kasus. Korban tewas pertama tercatat pada hari ketiga 2018. Kebakaran terjadi di Jalan Merdeka Barat, Sungai Pinang Dalam, RT 88, sekitar pukul 00.00 Wita. Korban tewas tersebut adalah Hendra.

Musibah kedua terjadi 17 April 2018. Korban jiwa jatuh di Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sungai Pinang. Enam orang menjadi korban dalam musibah di Jalan Merdeka II RT 91 tersebut. Mereka adalah Erhamsyah (74), Fitriani (29), Safna Julia (13), Amila (4), Amat (23) dan Timah (57). Empat dari enam korban ditemukan di dalam drum berisi air.

Korban jiwa selanjutnya jatuh pada 10 Juni 2018. Kebakaran di jalan Slamet Riyadi, Gang 4, Kecamatan Sungai Kunjang, menewaskan pria paruh baya bernama M Husain. Korban tak bisa menyelamatkan diri dari kobaran api lantaran menderita stroke.

Pada penutup 2018, tujuh orang menjadi korban di Loa Bakung. Semua korban satu keluarga. Yakni Andi Ibrahim Bayu (42), Sri Rahayu Panjaitan (40), Nanda (14), dan Muhammad Rafli (12). Tiga lainnya adalah Elhamsyah Arsyad (49), Ernawati Panjaitan (45), dan Ilda Safira Putri (8).

Baca juga:
 

Samarinda memang sejak dulu dikenal akrab dengan musibah kebakaran. Sejak 1950 hingga 1979, tak kurang 25 kebakaran besar terjadi di kota ini. Yang paling sering adalah kompleks pertokoan di pusat kota. Pada masa itu, toko umumnya dibangun dari bahan mudah terbakar. Letak bangunan satu sama lain juga berhimpitan. Maka ketika terjadi kebakaran, api cepat merambat dan sulit dipadamkan (Sejarah Kota Samarinda, 1986, hlm 39).

Sejarah serangan si jago api di Samarinda yang paling dikenang adalah pada Ramadan 1377 Hijriah atau 1958 Masehi. Kebakaran hebat nan besar di nadi Ibu Kota Kaltim itu tercermin dari durasi dan luas kawasan yang dihanguskan.

Mantan Gubernur Kaltim Abdoel Moeis Hassan membandingkan musibah tersebut dengan kebakaran hebat Juni 1945, ketika Samarinda dibombardir pesawat tempur sekutu. Satu dari tiga kebakaran besar yang pernah terjadi di Kota Tepian (Ikut Mengukir Sejarah, 1994).

Sedikit demi sedikit menggali keterangan dari sejumlah saksi hidup yang tersisa dan catatan sejarah, kaltimkece.id menceritakan kembali salah satu musibah kebakaran terbesar di Kota Tepian.

Dari Gelap ke Terang

Suara dentang bertalu-talu memecah sunyi pada Jumat dini hari, 4 April 1958. Suara dentang bersumber dari beradunya parang dan tiang listrik. Gaduh juga muncul dari bunyi kentungan. Belum lagi pekak sirine dari perbukitan jauh. Seantero kota dibuat heboh.

Sebagian besar masyarakat baru menuntaskan santap sahur. Bersiap menghadapi hari ke-14 Ramadan kala itu. Ribut-Ribut yang terdengar, adalah tanda musibah besar terjadi.

Puluhan meter dari sumber kegaduhan, telinga Said Alwi AS remaja menangkap kebisingan itu. Sigap saja dia berlari ke lantai dua rumahnya. Lantai tempat berjemur baju penghuni rumah. Berasal dari keluarga terbilang berada, rumahnya di Jalan Masjid yang kini kini Jalan KH Mas Tumenggung itu, termasuk satu dari segelintir rumah berlantai dua di Samarinda.

Sebentar mengedar pandangan memutar, ia tak kesulitan mendapat sumber keributan. Dari timur rumahnya, kepulan asap hitam serta rona merah dari lantai langit, menonjol di remangnya pagi. Kebakaran bisa dengan jelas terlihat dari jauh.

Memperhitungkan jarak dan letak, Alwi memperkirakan musibah terjadi di Gang Gulinggang, Jalan Kalimantan. Saat itu kawasan tersebut merupakan daerah prostitusi besar di Samarinda. Dari rumah Alwi, lokasi kejadian terpaut belasan blok jauhnya.

Alwi sedikit merasa lega. Pikirnya, kobaran api padam sebelum pagi. Tapi yang ada dalam kepala ayahnya, tak seperti yang dipikirkan. Begitu melihat besaran api dari loteng jemuran, sang ayah seketika tertegun. Kobaran asap dan api sungguh tak biasa. “Masih jauh, Bah (abah). Tenang,” celetuk Alwi, coba menenangkan.

Tapi insting ayah berkata lain. Ia menginstruksikan semua barang diamankan. Sekejap saja, barang-barang berharga, termasuk arsip pendidikan, satu per satu dievakuasi.

Kekhawatiran sang ayah terbukti. Ketika hari kian terang, kebakaran terus meluas. Api bahkan sudah menyeberang ke barisan rumah Alwi sebelum siang. Sekitar pukul 11.00 Wita, ketika Masjid Jami yang tidak jauh dari rumahnya dipadati jamaah bersiap salat Jumat, rumah Alwi mulai kena jilatan si jago merah. Bagunan tingkat dua itu pun ikut hangus.

Kebakaran benar-benar meluas. Kobaran api turut menyasar rumah-rumah di pinggir sungai. Pemiliknya ramai-rami melepas tali penambat. Jejeran rumah terapung pun menjauh dari tepian sungai. Celakanya, api kala itu begitu “menggila”. Rumah mengapung beberapa meter dari pinggir sungai, masih terjangkau jilatan api. Dari sana, api terus melaju ke arah timur.

Dari Jalan Kalimantan, api menyeberang Jalan Toko Panjang, kini Jalan Sebatik. Sekolah tiga bahasa yang berdiri megah di kawasan tersebut, Chung Hwa Wei, ikut terbakar. Dari sisi timur, api baru terhenti di Losmen Min Seng di Jalan Pelabuhan atau kini Jalan Flores.

Seingat Alwi, kebakaran padam sekira pukul 16.00 Wita. Itu pun tidak sepenuhnya. Bara sisa kebakaran terus menyala hingga beberapa kemudian.

Jumlah armada pemadam kebakaran benar-benar tak sebanding. Total luas kejadian mencapai 32 hektare. Belum lagi kualitas peralatan pemadam yang masih tradisional. Proses pemadaman tak secepat laju api yang menjalar.

Upaya meredakan si jago merah, hanya bermodal mobil bak terbuka. Kendaraan itu membawa gerobak bermuatan tangki air dengan kapasitas tak seberapa besar. Pertamina Sangasanga yang menurunkan kapal pemadam pun, hanya mampu meredakan api di tepian.

Korban berjatuhan. Tidak ada bilangan pasti jumlah jiwa yang tak terselamatkan. Namun, salah satu yang paling diingat adalah jenazah dalam drum berisi air. Saat ditemukan, jasad tersebut hangus dengan sejumlah arloji berjejer di lengannya. “Wallahu A'lam. Mungkin dia ingin menyelamatkan diri di air karena pertimbangannya bisa menangkal api. Sayang api akhirnya memanaskan air di drum itu hingga merebus orang di dalamnya,” kenang Alwi.

Total kerugian dari musibah besar itu masih samar-samar. Pendataan masih belum maju pada masa tersebut. Yang jelas, terutama bagi para korban, kerugian tak berakhir setelah api padam. Aksi penjarahan tak terelakkan pasca-kebakaran. Barang-barang toko yang selamat menjadi sasaran empuk para penjarah. Bahkan beberapa hari setelah kejadian, muncul anekdot kelam. Mereka yang memiliki jam tangan atau sepatu baru pada periode tersebut, diidentikkan dengan hasil jarahan kebakaran 4 April 1958.

Kebakaran 1958 itu memang banyak menghanguskan toko-toko. Kawasan pertokoan pada sekitar 1945 sampai 1950-an, memang berlokasi sepanjang Jalan Pelabuhan yang saat ini bernama Yos Sudarso. Berderet di kiri dan kanan jalan sepanjang 500-800 meter.

Bangunan toko mayoritas berbahan kayu. Lebarnya kisaran empat sampai enam meter. Sedangkan bagian belakang toko, digunakan sebagai tempat tinggal. Saat itu belum ditemukan sistem rumah susun atau bertingkat.

Musibah 1958 menjadi pelajaran berharga untuk Samarinda. Pemadam kebakaran yang pada saat itu masih Badan Organisasi Kebakaran, diambil alih Dinas Pekerjaan Umum Samarinda pada 1961 (Sejarah Dinas Pemadam Kebakaran Kota Samarinda).

Sejak kebakaran besar itu, toko-toko dibangun bertingkat. Bangunan-bangunan didirikan dengan bahan batu atau plesteran. Dirancang untuk mencegah kebakaran yang sama besar dan berbahaya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

Senarai Kepustakaan

  • Moh Nur Ars, Yunus Rasyid, Hasyim Achmad, Mukhlis P, 1986. Sejarah Kota Samarinda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
  • Hassan, A Moeis, 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar