Peristiwa

Kejayaan Sungai Mahakam Dua Abad Silam, Ekspor Sarang Burung, Getah 'Bersejarah', hingga Rotan

person access_time 3 years ago
Kejayaan Sungai Mahakam Dua Abad Silam, Ekspor Sarang Burung, Getah 'Bersejarah', hingga Rotan

Pelabuhan Samarinda pada 1900 (foto: KITLV Leiden University Libraries Digital Collections, direproduksi pada 2009)

Sungai Mahakam dua abad silam sudah mengekspor pelbagai hasil hutan ke mancanegara.

Ditulis Oleh: Chai Siswandi
Selasa, 08 Juni 2021

kaltimkece.id Aroma hidangan mewah yang baru saja disuguhkan benar-benar membuat air liur Carl Alfred Bock menitik. Penjelajah kenamaan asal Norwegia itu segera menyantap masakan Tiongkok tersebut. Tak sampai satu jam, seluruh makanan tandas. Carl Bock yang merasa kenyang sekali kemudian memuji tuan rumah, Kwe Ke Hiang, yang sudah menjamunya.

Pada 1878 atau hampir satu setengah abad silam, Carl Bock mampir di rumah Kwe Ke Hiang di Samarinda. Orang Tionghoa yang ramah itu sempat bilang kepadanya, bahan untuk makanan tadi dipesan dari Singapura dan Surabaya. Begitulah cara Kwe Ke Hiang menjaga cita rasa masakan Tiongkok. Carl Bock yang baru tiba di Samarinda segera sadar, kota di tepi Sungai Mahakam ini adalah bandar perdagangan yang besar.

Setelah mengelilingi Samarinda, Carl Bock menyimpulkan beberapa hal. Hampir semua orang di kota ini adalah pedagang. Bukan hanya rakyat jelata dan saudagar, pangeran hingga para haji pun berniaga. Para saudagar Tiongkok, seperti di banyak tempat, mengerahkan kekuatan besar sehingga menguasai banyak bisnis di Samarinda.

“Pada saat saya datang saja, ada lima kapal. Tiga di antaranya berukuran cukup besar. Semua kapal milik orang Cina, sedang memuat hasil bumi yang dibawa ke sungai dengan rakit panjang,” tulis Carl Bock dalam karyanya yang amat masyhur, The Headhunters of Borneo (1881, hlm 25-26).

Ramainya kapal yang singgah di Sungai Mahakam sudah dicatat dua dasawarsa sebelum Carl Bock datang. Asisten Residen Belanda di Kalimantan Timur, J Zwager, menggambarkannya dengan jelas. Pada 1853, sudah ada 40 perahu besar di Kutai. Sebagian besar bahtera itu berasal dari Sulawesi dan biasanya berpangkalan di Samarinda. Perahu-perahu ini berhubungan dagang dengan Pasir, Berau, Solok, Mangindanao, Sulawesi, Singapura, Bali, dan Jawa. Dari daerah-daerah ini, berdatangan pula perahu-perahu rakyat untuk berdagang di Kutai.

“Besar-kecilnya perahu-perahu itu biasanya berjenis perahu toop, perahu bintak, perahu penjajah, perahu pedewakan, dan perahu sipet,” tulis J Zwager (hlm 133).

Kapal yang berlabuh di Samarinda lebih banyak lagi. John Dalton menghitung perahu-perahu Bugis di pelabuhan Samarinda. Jumlahnya lebih dari 300 kapal pada 1827. Dalton waktu itu datang ke Kutai untuk menyelidiki kematian seorang pengelana Inggris di Kutai bernama George Muller.

Dari beragam laporan yang lain, Samarinda telah terhubung dengan banyak wilayah di Nusantara bahkan luar negeri sejak abad ke-19. Dan itu sudah berlangsung lama. Setidaknya sejak zaman Sultan Kutai melawat ke Majapahit pada abad 15 hingga masuknya Islam ke Kutai seabad kemudian. Diperkirakan, jalur pelayaran Nusantara dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Kutai, telah terbentuk enam abad silam.

Komoditas Ekspor di Mahakam

Sebermula dari kontak Belanda dengan Kutai untuk pertama kalinya pada 1634. Belanda mengirim tiga kapal ke Kutai untuk mengusir pedagang Bugis dan Jawa dari Kutai dan Pasir. Keputusan itu masih berhubungan dengan permintaan Banjarmasin selepas perjanjian Kerajaan Banjar dengan Belanda dalam perdagangan lada (Suluh Sedjarah Kalimantan, 1953, hlm 70).

Belakangan, Samarinda justru dilintasi jalur pelayaran rempah yang satu per satu dimonopoli Belanda. Masuknya Samarinda ke jalur rempah disebabkan Kutai yang mengimpor lada. Seturut itu, kapal-kapal yang datang membawa lada ke Samarinda mengangkut hasil bumi dari Kutai. Rotan adalah produk utama yang ditukar dengan barang-barang impor. Ada pula getah perca, kayu, lilin lebah, sarang burung walet, teripang, tempurung kura-kura, dan telur penyu. Hasil bumi itu diekspor dalam jumlah besar dari Sungai Mahakam.

J Zwager selaku asisten residen mencatatnya dengan lengkap. Pada 1853, nilai ekspor dari pelabuhan Samarinda menembus 259.500 gulden. Komoditas yang diekspor seperti sarang burung putih sebanyak empat pikul atau 480 kati, setara 288 kilogram (1 kati setara 0,6 kilogram). Ada pula sarang burung hitam 60 pikul atau 4.320 kilogram, getah perca 72 kilogram, rotan, hingga damar. Impor Kutai lebih kecil dari ekspornya. Terdiri dari enam peti candi seharga 10.800 gulden, 70 kodi tembakau Jawa seharga 33.600 gulden, garam sebanyak dua ribu pikul senilai 1.500 gulden, kopi dan gula seharga 1500 gulden (selengkapnya, lihat infografis berikut ini).

Devisa dari tanah Kutai tercipta berkat surplus perdagangan internasional ini. Pada 1870, nilai impor dari timur Kalimantan sebesar 238.505 gulden. Nilai ekspornya menembus 1.744.508 gulden atau tujuh kali lipat dari impor (Kesultanan Kutai 1825-1910 Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda, 2013). Jika 1 gulden pada 1916 saja setara Rp 74.200 sekarang, nilai ekspor Kaltim saat itu kira-kira Rp 129 miliar.

Geliat ekspor dan impor di Sungai Mahakam pada 1870 itu terlihat dari 38 kapal besar (raschepen) dan 130 perahu layar yang berlabuh. Sementara itu, 39 kapal besar dan 118 kapal layar angkat sauh. Arti Samarinda bagi penguasa Belanda di pantai timur Kalimantan pun makin besar. Belanda kemudian ingin menyaingi pedagang pribumi dengan membentuk Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Perusahaan pelayaran kerajaan Belanda ini melayani jalur Makasar-Pare-pare-Kutai pada 1876. Belanda juga membuka jalur Kutai dengan Banjarmasin, Bawean, Surabaya, sampai Singapura pada 1882.

Getah Perca yang Bersejarah

Hasil hutan lain yang cukup penting dan mendominasi ekspor utama ke Tiongkok dan orang Eropa adalah gutta percha atau getah perca. Getah tersebut lebih dikenal dengan sebutan malau atau kemalau di Kalimantan. Bahan ini biasa dipakai orang-orang Dayak untuk merekatkan bilah mandau dengan gagangnya.

Getah perca adalah lateks hutan berwarna merah muda yang dicampur dengan resin. Lateks ini mulai diperkenalkan di pasar dunia pada 1840-an. Bahan tersebut banyak digunakan untuk karet sambung, sayap helikopter, hingga bahan isolasi kabel telegraf bawah laut seprti dikutip dari Antara Dayak dan Belanda Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942 (2012).

Getah perca memberi sumbangsih besar kepada sejarah setelah dijadikan bahan utama pelapis kabel bawah laut selama lebih dari 80 tahun. Getah ini berperan penting dalam menghubungkan Eropa melalui telegraf. Pada 1852, kabel bawah laut Britania Raya terhubung dengan Irlandia, lalu London-Paris, hingga Inggris-Belanda. Setahun kemudian, jaringan ini telah melintasi Laut Utara hingga Lautan Atlantik dan Pasifik.

Baca juga:
 

Jaringan telegraf dibangun di Nusantara mulai 1888 hingga 1921. Berkat gutta-percha pula, hampir seluruh wilayah di Nusantara terhubung sehingga menjadi bagian dari “kampung global”. Sarana telegraf inilah yang memberitahukan dunia akan kedahsyatan letusan Gunung Krakatau pada 1883 (Historia, Dunia yang Terhubung Kabel, artikel, 2011). Pemakaian getah perca mulai berkurang setelah penemuan telepon dan semakin berkurangnya populasi pohonnya. (*)

Ditulis oleh Chai Siswandi, penekun literasi sejarah Kutai, tinggal di Kota Bangun, Kutai Kartanegara

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal Di Indonesia, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Ahyar, Ita Syamtasiyah. 2013. Kesultanan Kutai 1825-1910 Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda. Serat Alam Media.
  • Block, Carl. 1881. The Headhunters of Borneo, Marshall Cavendish Editions.
  • Groeneveldt, W.P. 2018. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Kiabondan, Amir Hasan. 1953. Suluh Sedjarah Kalimantan. Banjarmasin: Pertjetakan Fadjar.
  • Lindblad, Thomas. 2012. Antara Dayak dan Belanda Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942. Malang: Lilin, Jakarta: KITLV-Jakarta.
  • Setiyono, Budi. 2011. Dunia yang Terhubung Kabel. Artikel Majalah Historia Edisi 28 Maret 2011.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar