Peristiwa

Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-3: La Nina, Benanga, dan Manusia

person access_time 5 years ago
Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-3: La Nina, Benanga, dan Manusia

Waduk Benanga pernah jebol karena tak sanggup menampung air pada 1998.

Samudra, angkasa, dan manusia. Ketiganya bersekutu mengundang banjir terbesar dalam sejarah Samarinda pada 1998 silam.

Ditulis Oleh: Fel GM
Senin, 30 Juli 2018

kaltimkece.id Tanda-tanda bencana sudah nampak sejak setahun sebelum banjir besar menerjang Samarinda. Pada 1997, bukan hanya krisis ekonomi dan multidimensi yang melanda Indonesia. Alam khatulistiwa turut menderita krisis luar biasa. 

Adalah El Nino --diambil dari bahasa Spanyol yang berarti anak laki-laki--, sedang mengamuk hebat dan menimbulkan cuaca ekstrem. El Nino adalah fenomena alam berupa naiknya suhu permukaan Samudra Pasifik. Kenaikan suhu menyebabkan curah hujan yang sangat tinggi di wilayah timur Samudra Pasifik seperti Amerika Selatan. Sementara Indonesia, di barat Samudra Pasifik, mengalami kekeringan (Geografi I, 2006, hal 145)

Menukil catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, suhu Samudra Pasifik pada Agustus 1997 naik hingga 2,6 derajat Celcius. El Nino saat itu merupakan yang tertinggi sejak 1982-1983. Kekeringan luar biasa segera melanda Indonesia. Selain menghancurkan sektor pertanian, kebakaran hutan datang. Majalah Time dalam artikel berjudul Indonesia Wildfire (1997) memaparkan, 8 juta hektare lahan terbakar di Indonesia. Negara turut mengirim kabut asap ke Malaysia dan Singapura. Total kerugian menembus USD 8 miliar atau sekitar Rp 112 triliun.

Di Samarinda, musim kering mendera selama 10 bulan sedari Juni 1997 hingga Maret 1998. Rata-rata curah hujan per hari di bawah 100 milimeter. Pada Maret 1998, hujan bahkan tidak turun sama sekali di Kota Tepian (diolah dari data Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, 2017, hal 156).   

Dampak El Nino baru berakhir pada April 1998. Selama dua bulan, hujan turun normal. Namun, memasuki Juni 1998, air dari langit Samarinda tumpah-ruah. Curah hujan rata-rata pada bulan itu menembus 363,1 milimeter, naik lima kali lipat dari bulan terdahulu. Apa penyebabnya? 

Sama seperti 1982-1983, kehadiran El Nino kerap diikuti pasangannya yaitu La Nina, si anak perempuan. La Nina berkebalikan dari El Nino. Dalam fenomena La Nina, suhu permukaan Samudra Pasifik justru turun. Indonesia dirundung hujan dan badai hampir setiap hari. 

Dua bulan pertama La Nina, pada Juni dan Juli 1998, curah hujan di Samarinda jauh di atas normal. Seluruh hujan dalam dua bulan itu akhirnya membuat Waduk Benanga di Lempake, Samarinda Utara, tak berdaya. Pada 28 Juli 1998, waduk akhirnya jebol. Samarinda pun diterjang banjir besar sepekan lamanya dengan ketinggian air hampir 2 meter.

Jebolnya Waduk Benanga

Dibangun pada 1978, Waduk Benanga sejatinya bukan kolam pengendali banjir. Pada mulanya, bendungan didirikan hanya untuk keperluan irigasi sederhana. Malahan, pembangunan waduk bertujuan menaikkan permukaan air Sungai Karang Mumus agar mampu mengairi 350 hektare lahan persawahan (Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, 2017, hal 150).

Waduk Benanga memiliki daerah tangkapan air 19.150 hektare atau 26 persen dari luas Samarinda. Posisi bendungan sangat strategis karena berdiri tepat di pertemuan Daerah Aliran Sungai Lempake di hulu dan Karang Mumus di hilir. Dari situlah, sejak 1988, waduk turut berfungsi menampung air dari hulu Sungai Karang Mumus sebelum masuk ke Samarinda.

Memiliki tangkapan air yang luas, Waduk Benanga harus menerima air dari segala arah ketika hujan. Hal itu sungguh berbahaya, terutama ketika cuaca ekstrem. Pada fenomena La Nina Juni-Juli 1998 silam, Waduk Benanga dengan total genangan 159 hektare akhirnya sesak. Air yang melimpah keluar dari atas tanggul bendungan. Dalam bahasa teknis, air yang tumpah laksana air terjun itu disebut overtopping

Waduk Benanga yang sudah berusia 30 tahun tentu saja ringkih memikul air sedemikian besar. Pelan-pelan, tanggul di kanan bendungan mengalami rembes di bagian bawah atau disebut piping (Analisis Hidraulika Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan: Studi Kasus Bendungan Lempake, Kota Samarinda, 2014, hal 2)

Baca juga: Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-1: Datang Tanpa Peringatan

Tanggul berkonstruksi irigasi itu akhirnya benar-benar tak berdaya. Mengutip Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, tepat 28 Juli 1998, tanggul Waduk Benanga jebol sepanjang 20 meter. Dalam waktu singkat, jutaan meter kubik air menuju kota. Air meluncur ke arah Sungai Mahakam, 14 kilometer jauhnya dari bendungan, melalui Sungai Karang Mumus. 

Campur Tangan Manusia

Sungai Karang Mumus adalah satu-satunya “gelandang tengah” di Samarinda. Sungai itulah yang berperan sebagai pengangkut air dari Waduk Benanga menuju Sungai Mahakam. Ketika banjir 1998 mendera, sayangnya, kondisi sungai sudah sangat parah. Karang Mumus telah mengalami pendangkalan. Bukan hanya meluap hebat, Sungai Karang Mumus memerlukan waktu sepekan untuk menyurutkan banjir terbesar yang pernah melanda Samarinda. 

Hulu Sungai Karang Mumus adalah daerah tangkapan air Waduk Benanga. Di sana, sebuah perusahaan pertambangan batu bara telah beroperasi sejak 1994. Perusahaan tersebut masih bekerja sampai sekarang di wilayah Sungai Siring dan sekitarnya. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berjudul Dinamika Interaksi Aliran Hulu-Hilir Sungai: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Karang Mumus (2004, hal 27), operasi perusahaan ditengarai memberi dampak kepada daerah tangkapan Waduk Benanga. 

Kerusakan di hulu Sungai Karang Mumus turut mengakibatkan sedimentasi. Masih menurut penelitian LIPI, pendangkalan diperparah karena bantaran Karang Mumus telah dipadati penduduk. Pada 2004, sebanyak 7.629 jiwa hidup di kawasan kumuh tepi Karang Mumus. Mereka tinggal di 1.451 bangunan, setengah di antaranya permanen. Limbah rumah tangga, industri, dan pasar, yang dihasilkan permukiman tersebut berstatus buruk. Semuanya mengurangi kedalaman sungai.

Setahun setelah banjir besar pada 1998, hasil penelitian menyajikan bahwa 10.927 hektare atau 34 persen dari 31.475 hektare DAS Karang Mumus mengalami kerusakan berat. Sejak saat itu, program relokasi penduduk di bantaran sungai mulai diteruskan. Relokasi yang sampai hari ini belum benar-benar tuntas. 

Tiga Kombinasi

Banjir pada 1998 tak akan pernah sebesar demikian jika satu saja dari tiga penyebab di atas gugur. La Nina, tentu saja, merupakan fenomena alam yang sukar dihindari. Namun, kekuatan Waduk Benanga yang sudah 10 tahun menjadi penampung air sesungguhnya bisa ditambah. Jika tanggul bendungan kuat, debet air yang keluar tak akan sebesar dibanding ketika tanggul jebol. 

Baca juga: Ketika Banjir Terbesar Menerjang Samarinda-2: Nyawa yang Melayang

Demikian halnya Sungai Karang Mumus. Andaikata wilayah hulu sungai di utara Samarinda tetap asri, debet air yang masuk ke Waduk Benanga dapat dikendalikan. Bendungan bisa berfungsi lebih baik sebagai penahan air sebelum dikeluarkan ke Sungai Karang Mumus. Sementara di hilir, ketika tangan-tangan manusia yang mencemari dan mendangkali sungai bisa dikurangi, aliran air dapat lebih lancar. Banjir pada 1998, dengan kondisi Karang Mumus yang baik, tak akan menetap sampai sepekan.

Sayang seribu sayang, setelah 20 tahun berlalu, tidak banyak perbaikan dari kondisi itu. Dan sampai hari ini, Samarinda akan tetap dihantui si anak perempuan bernama La Nina. (*)

Senarai Kepustakaan
  • P, Ni Nyoman Indah, 2014. Analisis Hidraulika Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan: Studi Kasus Bendungan Lempake, Kota Samarinda. Tesis. Jogjakarta: Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. 
  • Samadi, 2006. Geografi I. Bogor: Yudhistira Quadra.
  • Syahza Almasdi dkk, 2017. Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Daerah Aliran Secara Terpadu. Pekanbaru: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Riau. 
  • Majalah Time, 1997. Indonesia Wildfire, artikel online.
  • Yogaswara, Heri, dkk. 2004. Dinamika Interaksi Aliran Hulu-Hilir Sungai: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Karang Mumus. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar