HISTORIA

Pudarnya Amsterdam Mini di Samarinda, Rancang Kota Era Kolonial untuk Antisipasi Banjir

person access_time 3 years ago
Pudarnya Amsterdam Mini di Samarinda, Rancang Kota Era Kolonial untuk Antisipasi Banjir

Panorama di dekat kantor pos Samarinda tempo dulu (foto: arsip KITLV, koleksi digital universitas leiden)

Lebih dari satu setengah abad silam, orang-orang Eropa telah menyadari bahaya banjir di Samarinda. Kota ini pernah dirancang sebagaimana Amsterdam.

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Rabu, 03 Maret 2021

kaltimkece.id Pemerintah kolonial masih berkuasa ketika seorang guru Hollandsch Inlandshe School—setara sekolah dasardi Kampung Sungai Pinang, Samarinda, menerangkan geschiedenis atau pelajaran sejarah. Sembilan tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau pada 1936, guru tersebut menjelaskan struktur pemerintahan Negeri Kutai kepada murid-muridnya. Pelajaran dimulai dengan uraian Kota Tenggarong.

“Kita punya sultan di Tenggarong,” tutur guru itu, kemudian melanjutkan, “Tenggarong is het Den Haag van Kutai.”

Seorang siswa kelas enam bernama Abdoel Moeis Hassan lantas menyahut, “Dan is Samarinda het Amsterdam van Kutai.”

“Ya, ya, dat is waar. Itu benar,” balas sang guru.

Pelajaran yang membekas dalam ingatan Abdoel Moeis Hassan ditulis dalam bukunya berjudul Ikut Mengukir Sejarah (1994). Moeis Hassan yang lahir di Samarinda pada 1924 adalah Gubernur Kaltim periode 1962–1966. Ia adalah pemimpin pejuang Republiken Kaltim semasa Revolusi Kemerdekaan.

Dalam pelajaran sejarah tadi, guru menganalogikan Kesultanan Kutai Kertanegara dengan Kerajaan Belanda di Eropa. Keduanya sama-sama monarki. Pusat pemerintahan Kesultanan Kutai adalah di Tenggarong. Demikian halnya Den Haag yang menjadi pusat kerajaan Belanda. Adapun Samarinda, persis Amsterdam. Selain sama-sama kota pelabuhan dan pusat perdagangan, keduanya berada di dataran rendah.

Samarinda memang menjadi pusat perdagangan sejak zaman Kesultanan Kutai Kertanegara. Aktivitas perniagaan di kota ini meningkat dengan keluar-masuknya kapal dari berbagai daerah. Penemuan minyak dan batu bara di sepanjang Sungai Mahakam juga mendorong ramainya Pelabuhan Samarinda sebagaimana ditulis sejarawan Universitas Indonesia, Ita Syamtasiyah Ahyat, dalam Perdagangan di Pelabuhan Samarinda pada Abad Ke-19 (2011, hlm 211).

Di samping itu, Samarinda telah menjadi kota bandar sejak abad ke-18. Kota bandar ialah kota yang dibangun menghadap ke laut. Tujuannya mendapatkan keuntungan dari pelayaran (Pengantar Sejarah Kota, 2012, hlm 52). “Laut” di Samarinda direpresentasikan sebagai Sungai Mahakam yang menjadi beranda rumah dan bangunan waktu itu. Dari topografi ini, Samarinda layak disebut kota bandar.

Dirancang sebagai Amsterdam Mini

Pemerintah kolonial berkuasa di wilayah Kesultanan Kutai Kertanagera, termasuk Samarinda, setelah Sultan Aji Muhammad Salehuddin menandatangani pernyataan takluk pada 11 Oktober 1844. Di bawah pemerintah Hindia Belanda, posisi Samarinda makin strategis. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerbitkan Besluit atau Surat Keputusan Nomor 75 pada 16 Agustus 1896. Samarinda ditetapkan sebagai vierkante-paal, tempat kedudukan asisten residen Afdeeling Oost Borneo atau pemerintahan Hindia Belanda di Kaltim (Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999, 2017, hlm 15).

Vierkante-paal ialah kawasan seluas satu pal persegi sebagai pusat pemerintahan lokal tertentu Hindia Belanda. Pada pengujung abad ke-19, spasial vierkante-paal Samarinda ditetapkan di area yang terbentang antara Sungai Karang Asam Besar (Teluk Lerong) di hulu (barat) sampai Sungai Karang Mumus di hilir (timur), dengan jarak 500 meter ke daratan dari tepi Sungai Mahakam.

Menginjak tahun ketiga abad ke-20, dimensi wilayah vierkante-paal Samarinda ditambah lagi di bagian timur dengan memasukkan Sungai Kerbau (kini Kelurahan Selili). Lebar daratan juga ditambah 300 meter sehingga menjadi 800 meter dari tepi Sungai Mahakam. Batasan administratif ini sesuai Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 pada 28 April 1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum CB Nederburg (hlm 74).

Orang-orang Belanda yang tengah berkuasa segera menyadari keadaan geografis Samarinda. Dataran rendah di tepi Sungai Mahakam tersebut dialiri banyak anak dan ranting sungai. Kota air seperti ini mirip dengan sejumlah tempat di Eropa seperti Amsterdam atau Venesia di Italia. Belanda lantas menata kota bandar Samarinda sedari kota tradisional menuju kota kolonial. Pembangunannya mengacu kepada Amsterdam dengan kanal-kanal besar yang dapat dilewati perahu dan kapal kecil. Sejak paruh pertama abad ke-20, Samarinda dijuluki sebagai de klein Amsterdam alias Amsterdam Mini (Dari Guru ke Dunia Politik, 2006, hlm 162).

Baca juga:
 

Samarinda dibangun sebagai kota kolonial yang mirip dengan penjelasan Susan Blackburn. Kota kolonial biasanya dibuat mirip dengan kota-kota di Eropa. Jika di tepi pantai, kota berpola kotak-kotak dengan jalan dan kanal sebagai batas antarblok. Kanal-kanal tersebut dimanfaatkan sebagai jaringan transportasi air. Perahu yang membawa barang dari pedalaman hulu sungai menelusuri kanal hingga tempat tujuan. Sebaliknya, kapal dari luar negeri membongkar muatannya di pelabuhan dan memindahkan barang ke perahu yang menelusuri jalur air dalam kota (Jakarta Sejarah 400 Tahun, 2011, hlm 21).

Rancang kota oleh Belanda ini segera mempopulerkan Samarinda sebagai Amsterdam van Kutai dalam tradisi lisan masyarakat di timur Kalimantan tempo dulu. Cabang dan ranting Sungai Mahakam di Samarinda ditata sebagai kanal jalur transportasi air. Jalur ini cukup lega untuk dilintasi dua kendaraan air dari arah berlawanan. Kedalamannya cukup meyakinkan untuk tidak mengandaskan laju perahu saat permukaan air surut. Sementara itu, ketika hujan, ruang kanal cukup mampu menampung volume air sehingga tidak menenggelamkan permukiman (Dari Guru ke Dunia Politik, 2006, hlm 163).

Fungsi kanal sebagai penampung air adalah bukti orang-orang Belanda telah menyadari bahaya banjir. Barangkali hanya kincir air yang belum dibangun di Samarinda untuk menyetarakannya dengan rancang kota Amsterdam. Di ibu kota Belanda, kincir dibangun buat mendorong air ke laut. Posisi geografis Amsterdam memang lebih ekstrem dari Samarinda. Meskipun sama-sama di dataran rendah, tanah Amsterdam lebih rendah dari permukaan laut. Yang jelas, Samarinda dan Amsterdam adalah kota yang selalu di bawah ancaman bencana banjir.

Keunikan Samarinda sebagai kota air atau kota sungai juga terkonfirmasi secara faktual pada 16 September 1950. Sebuah pesawat Amfibi Catalina mendarat di permukaan Sungai Mahakam. Samarinda belum mempunyai lapangan terbang di darat waktu itu. Momen bersejarah tersebut terjadi ketika untuk pertama kalinya Presiden Sukarno datang ke ibu kota Keresidenan Kalimantan Timur (Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran, 2016, hlm 37–38).

Indonesia telah merdeka saat itu dan Samarinda berstatus sebagai kotapraja yang dikepalai wali kota pada 1960. Lima tahun kemudian, status Samarinda berganti menjadi kotamadya sekaligus ibu kota provinsi. Permukiman semakin berkembang ke daratan, menjauh dari Sungai Mahakam. Akan tetapi, pola permukiman tetap dekat sumber air baku yakni cabang dan ranting Sungai Mahakam. Mayoritas rumah dan bangunan terbuat dari kayu dengan konsep rumah panggung. Daerah resapan air tetap eksis tanpa timbunan fondasi.

Pada permulaan Orde Baru 1966 hingga dua windu berikutnya, struktur Kota Samarinda yang dibelah dan diiris banyak sungai dan kanal tetap terjaga. Kampung-kampung dan pasar terhubung moda transportasi air. Sungai Karang Mumus, misalnya, punya rute dari sisi Jalan Pangeran Hidayatullah menuju Jalan Diponegoro lalu belok kiri ke Jalan KH A Khalid dan keluar di Mahakam, tepat di kawasan Pasar Pagi. Kanal-kanal itu punya nama seperti Sungai Jalan Pelabuhan, Sungai Jalan Toko Panjang, Sungai Jalan Tanjung Batu, Sungai Jalan Semeru, Sungai Jalan Air Putih, Sungai Karang Asam, Sungai Kerbau, dan lain-lain.

Sebutan Amsterdam Mini masih layak disematkan kepada Samarinda semasa Wali Kota Kadrie Oening (1967-1980). Kadrie Oening bahkan menerbitkan SK Nomor 65 pada 1973 yang membongkar bangunan dan rumah penduduk di tepi Sungai Mahakam (Buku Kenang-Kenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda, 1977, hlm 140). Kala itu, perumahan di bantaran Sungai Mahakam tampak kumuh dan semrawut. Deretan rumah di tepian Mahakam juga menjadi penyumbang terbesar limbah domestik di Mahakam.

Pudarnya Amsterdam Mini

Senjakala De Klein Amsterdam bagi Samarinda dimulai selepas kepemimpinan Kadrie Oening. Sejumlah anak Sungai Mahakam dan cabang Sungai Karang Mumus serta kanal-kanal di Samarinda lenyap. Sebagian bertransformasi menjadi saluran limbah domestik, got, dan drainase (Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran, 2016, hlm 57). Jejak sungai kecil dan kanal ini benar-benar tak berbekas ketika status Kotamadya Samarinda meningkat menjadi kota pada 1999. Sekarang, jalur transportasi air cum potensi pariwisata di Samarinda yang tersisa hanya di Sungai Karang Mumus yang bermuara di Selili. Lain tidak.

Baca juga:
 

Memasuki era reformasi, drainase kota dibangun dengan beton tertutup. Daerah resapan air seperti rawa di sebelah utara ditimbun buat permukiman dan bangunan komersial. Banjir di Samarinda yang tempo dulu tidak terlalu parah akhirnya kian sering terjadi. Bukan hanya intensitas, wilayah yang tergenang makin luas. Suatu pemandangan yang telah tergambar di benak orang-orang Belanda sejak satu setengah abad silam. (*)

Editor: Fel GM

Penulis adalah alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud 2020, tinggal di Samarinda.

Senarai Kepustakaan
  • Ahyat, Ita Syamtasiyah. 2011. “Perdagangan di Pelabuhan Samarinda pada Abad Ke-19”. Prosiding International Conference on Indonesian Studies 2011, hlm. 211–220. Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
  • Blackburn, Susan. 2011. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup
  • Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Hassan, A. Moeis. 1994. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
  • Sarip, Muhammad. 2016. Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran. Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari.
  • _____. 2017. Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
  • Siddiq, Muhammad Dja’far. 2006. Dari Guru ke Dunia Politik. Samarinda: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
  • Tim Penyusun. 1977. Buku Kenang-Kenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda. Samarinda: Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda.
  • Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota Perspektif Spasial. Cetakan ke-3, 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar