HISTORIA

Stigma Pemburu Kepala oleh Penulis Barat, di Balik Alasan Nama Borneo Tidak Dipakai Lagi untuk Kalimantan

person access_time 3 years ago
Stigma Pemburu Kepala oleh Penulis Barat, di Balik Alasan Nama Borneo Tidak Dipakai Lagi untuk Kalimantan

Lukisan yang menjadi ilustrasi dalam buku Carl Bock berjudul The Head-Hunters of Borneo (foto: koleksi buku digital kaltimkece.id).

Nama Kalimantan sudah resmi dipakai Negara Republik Indonesia sejak 1945. Namun demikian, sejumlah orang masih gemar memakai toponimi Borneo. Kealpaan literasi sejarah ditengarai sebagai biangnya.

Ditulis Oleh: Muhammad Sarip
Sabtu, 06 Februari 2021

kaltimkece.id Hampir satu setengah abad silam, kapal yang ditumpangi Carl Bock masuk Sungai Mahakam dari pesisir timur Kalimantan. Petualang berkebangsaan Norwegia itu tiba di Samarinda, kota bandar Kesultanan Kutai Kertanegara, pada 16 Juli 1879. Empat hari ia menginap di pusat pemerintahan Oost Borneo di kawasan Pecinan di tepian Mahakam. Lokasi tersebut kini tepat di Jalan Yos Sudarso Samarinda.

Selepas mencatat pelbagai hal yang ditemuinya di Samarinda, Carl Bock meneruskan perjalanan sampai ke hulu Mahakam. Ia baru kembali ke hilir tiga bulan kemudian. Pria 30 tahun itu mengemban tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meneliti wilayah tenggara Kalimantan. Selama ekspedisinya di timur Kalimantan, ia difasilitasi oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman (Kalimantan Tempo Doeloe, 2013, hlm 209).

Dua tahun kemudian, Carl Bock tersohor sebagai penulis legendaris mengenai penduduk Pulau Kalimantan. Bukunya fenomenal. Judul buku tersebut bernuansa kengerian, The Head-Hunters of Borneo alias Para Pemburu Kepala di Borneo. Buku dengan tebal lebih dari 400 halaman itu terbit di London pada 1881.

The people were cannibals,” atau “Mereka adalah pemakan daging manusia,” tulis Carl Bock di halaman 132. “Pemerintah Inggris berharap, saya bisa memberikan laporan mengenai orang-orang tidak beradab ini,” tambah Carl Bock.

Label penghuni Borneo sebagai orang berperilaku rendah kembali dibukukan pada 1920 oleh rekan sebangsa Carl Bock. Namanya Carl Lumholtz. Judul bukunya, Through Central Borneo, An Account of Two Years Travel in the Land of the Head-Hunters Between the Years 1913 and 1917. Pustaka ini dengan gamblang mengidentifikasi adanya pemburu kepala di Borneo. Tujuh tahun berselang, seorang Swedia bernama Eric Mjoberg menerbitkan buku berbahasa Belanda berjudul Borneo, Het Land der Koppensnellers. Terjemahan judul buku yang terbit pada 1927 ini ialah “Borneo, Tanah Para Pemenggal Kepala”.

Penggunaan frasa para pemburu kepala ini sangat signifikan membentuk persepsi negatif terhadap Pulau Borneo. Pulau besar di bentang Khatulistiwa di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa ini diimajikan secara general sebagai sarangnya manusia primitif nan biadab serta amoral. Borneo dituding sebagai pulau orang-orang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Dunia luar secara tidak objektif menulis Borneo saat itu. Pulau berbasis hutan belantara yang daratannya banyak dibelah dan diiris sungai-sungai ini sebenarnya eksoktis. Sebagian penduduknya berperadaban tinggi. Namun demikian, keunikan tersebut seperti dianulir oleh gegabahnya orang asing menggelari Borneo sebagai kawasan pemburu kepala. Terang saja, asosiasi dunia luar terhadap Borneo adalah wilayah yang dihuni manusia sadistis yang gemar memenggal kepala sesama.

Konstruksi pikir tentang penduduk Borneo atau Kalimantan yang menakutkan dan terbelakang ini tak hanya bercokol di kalangan Barat. Di benak pribumi Nusantara non-Kalimantan pun sempat demikian. Sampai memasuki abad ke-21, masih ada yang mempunyai stereotip bahwa Kalimantan merupakan lokasi horor. Baru-baru ini, seorang kawan penulis yang berdomisili di Pulau Jawa berujar, “Keluyuran tengah malam di Jakarta tak seberapa rasanya dibanding keluyuran tengah malam di hutan Kalimantan.”

Ngayau, Tradisi Kuno Memenggal Kepala Manusia

Stigma negatif atas Kalimantan sebenarnya didasarkan kepada ngayau, sebuah tradisi perburuan kepala manusia oleh beberapa komunitas Dayak tertentu di pedalaman Kalimantan pada masa lampau. Namun demikian, tidaklah adil dan proporsional bila mengukur moralitas penduduk Kalimantan tempo dulu menurut standar etik bangsa Eropa atau teladan dari Barat. Yang terjadi di Kalimantan tidaklah ‘sebarbar’ atau sebrutal yang diimajinasikan pihak luar.

Adat ngayau masa silam tidak dilakukan semua penduduk Dayak di Kalimantan. Ngayau hanya dikenal di beberapa subetnis antara lain Iban, Kenyah, dan Ngaju. Padahal, Dayak mempunyai ratusan subetnis berdasarkan identifikasi kampung atau tempat tinggal mereka.

Lagi pula, konteks prosesi ngayau bukan bertujuan kanibalisme atau nafsu kebuasan. Prosesi tersebut adalah ritual religius dan/atau mekanisme pertahanan. Ngayau hanya dilakukan terhadap elite atau pemimpin kelompok lawan sesuai aturan yang disepakati. Tidak ada pemenggalan kepala dengan korban secara acak, misalnya, terhadap kaum perempuan dan anak-anak (Makna di Balik Teks Dayak sebagai Etnis Headhunter, 2011, hlm 120 & 121).

Mengukur aspek moralitas ngayau semestinya dengan standar moral intern komunitas Dayak pada masa lampau pula. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yekti Maunati, menyitir penelitian McKinley (1976) yang mendeskripsikan ritual perburuan kepala sebagai sebuah proses transisi. Proses transisi berlangsung ketika orang-orang yang dulunya merupakan musuh kemudian menjadi sahabat karena memadukan tengkorak kepala mereka dalam dunia keseharian (Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 2004, hlm 10).

Bandingkan dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 yang memenggal kepala orang-orang Kalimantan yang didakwa sebagai pemberontak. Otoritas dari bangsa Eropa ini melakukan perbuatan serupa ngayau dalam Perang Banjar (1860–1906). Beberapa panglima pasukan Banjar yang tertangkap, kepalanya dipancung untuk dipamerkan di Museum Belanda. Tercatat Demang Lehman, Penghulu Rasyid, Tumenggung Jalil, adalah tiga di antara tokoh Perang Banjar yang kepalanya dipenggal. Bahkan, ada yang jenazahnya sudah dikubur lalu digali untuk diambil tengkorak kepalanya (Sejarah, Etnisitas, dan Kebudayaan Banjar, 2015, hlm 83–84).

Ternyata, Belanda juga ‘mengayau’. Fakta ini mengindikasikan Belanda menerapkan standar ganda dan itu berarti hipokrit dari bangsa yang mendaku beradab.

Pada perkembangannya, beragam komunitas Dayak mengadakan pertemuan besar pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 di Tumbang Anoi. Kampung itu di tengah Pulau Kalimantan. Musyawarah menghasilkan Perjanjian Tumbang Anoi, yang di antara kesepakatannya adalah menghentikan adat ngayau. Dengan demikian, tradisi ngayau sudah dihapuskan secara resmi sejak lebih dari satu abad silam (Perjanjian Tumbang Anoi sebagai Warisan Sejarah Dayak untuk Dunia, 2020, hlm 10).

Antara Borneo dan Kalimantan

Meski ngayau sudah dihapuskan, stigma Borneo sudah kadung negatif. Makanya, mulai sepertiga abad ke-20, masyarakat lokal yang terdidik atau pernah mengenyam pendidikan dasar serta para pegiat pergerakan nasional tidak rela menisbatkan nama tanah airnya dengan “Borneo”. Hal ini diungkapkan tokoh jurnalistik Samarinda tempo dulu, Oemar Dachlan, dalam Surat Kabar Harian Berita Buana, 3 Agustus 1981. Mereka lebih memilih nama “Kalimantan” sebagai identitas tumpah darahnya.

Asal-usul nama Borneo, menurut ahli sejarah Banjar, Amir Hasan Kiai Bondan, bermula dari nama Burni atau Bruni. Nama tersebut dicetuskan orang Portugis bernama Lorenzo de Comez pada 1518. Tersebut pula nama Burnai atau Barunai oleh Oliver van Noor Sanggau pada 1600 (Suluh Sedjarah Kalimantan, 1953, hlm 4).

Ada pula versi lain asal-usul Borneo dari kata “Bornei”, yang diklaim sebagai pemberian oleh Pigafetta, satu dari beberapa penumpang kapal ekspedisi Magellan dari Maluku. Pigafetta yang selamat tiba di Kesultanan Brunei pada 1521. Lambat laun, kalangan Eropa mengubah pelafalan Bornei menjadi Borneo. Toponimi Borneo pun menjadi nama umum untuk keseluruhan teritorial pulau yang 70 persennya dikuasai Hindia Belanda sejak abad ke-19 tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Carl Lumholtz (Through Central Borneo, An Account of Two Years Travel in the Land of the Head-Hunters Between the Years 1913 and 1917, 1920, hlm 19).

Sementara itu, Tjilik Riwut, gubernur pertama Kalimantan Tengah yang rajin menulis buku, menyatakan bahwa Pulau Kalimantan sebelum diberi nama Borneo, dinamai Tanjung Negara sejak abad ke-13. Nama ini maksudnya pulau atau negara yang memiliki banyak tanjung atau daratan yang menjorok ke laut (Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, 1993, hlm 100). Selain Tanjung Negara, dikenal juga nama Tanjung Pura atau Tanjung Puri dari kitab Negarakretagama karya Mpu Prapanca abad ke-14 (Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, 2006, hlm 159).

Terdapat perbedaan pendapat mengenai pusat Tanjungpura. Apakah di wilayah selatan Kalimantan atau di barat Kalimantan? Sebuah pendapat mengemukakan bahwa Tanjung Pura sama dengan Tanjung Puri yang merupakan nama kerajaan Banjar Hindu Kuno sebelum era Nagara Dipa, merujuk pada toponimi Kota Tanjung di Kalimantan Selatan (Urang Banjar dan Kebudayaannya, 2015, hlm 14).

Adapun nama Kalimantan, menurut Tjilik Riwut, merupakan nama yang lahir sejak Pangeran Samudra alias Pangeran Suriansyah memulai Kerajaan Banjar dalam format Kesultanan Islam pada 1526. Asal usulnya ada dua versi. Pertama, Kalimantan dari kata "kali" dan "matan" yang berarti sungai yang besar-besar. Kedua, Kalimantan dari nama biotik “kalamantan”, yakni sejenis pohon buah asam yang banyak terdapat di pulau ini (Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, 1993, hlm 100–101).

Sebagai wujud sosialisasi untuk lebih memopulerkan nama Kalimantan dibandingkan Borneo, sebuah media cetak yang terbit pada 1930 di Banjarmasin dan 1931 di Samarinda menyandang nama tersebut. Di kota bekas pusat Kesultanan Banjar, terbit koran Soeara Kalimantan. Adapun di Samarinda, terbit koran mingguan bernama SORAK, akronim dari Soeara Rakjat Kalimantan. Pada 1937, terbit pula surat kabar mingguan bernama Kalimantan Timoer (Buku Putih Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kalimantan Timur, 1997, hlm 86, 87, 89).

Nama Borneo sempat dipakai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Borneo waktu itu ditetapkan sebagai satu dari delapan provinsi yang dibentuk dalam Negara Republik Indonesia. Namun, tiga bulan kemudian, nama Borneo diganti Kalimantan untuk penamaan pemerintahan daerah RI yang dipimpin oleh Gubernur Kalimantan Pangeran Mohamad Noor (Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, 1953, hlm 31). Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook, bahkan menamai Kalimantan, bukan Borneo, untuk sebuah negara federasi yang ingin didirikannya pada 1946 (Sejarah Indonesia Modern, 2016, hlm 336–338).

Baca juga:

 

Negara Kalimantan versi Belanda tak pernah terbentuk. Provinsi Kalimantan-lah yang eksis dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak akhir 1949 hingga berintegrasi dalam NKRI pada 17 Agustus 1950. Pemekaran pada 1957 dan 2013 menghasilkan pembagian lima provinsi di pulau terbesar nomor tiga di dunia ini.

Kalimantan adalah pulau berperadaban tinggi. Temuan prasasti yupa sebagai tonggak sejarah literasi pertama di Nusantara adalah buktinya. Penghuni Kalimantan adalah manusia yang berkebudayaan. Bukan Borneo yang, oleh penulis Barat, dipandang sebagai pulau barbar. (*)

Penulis adalah alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud 2020, tinggal di Samarinda.

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • Bock, Carl. 1882. The Head-Hunters of Borneo: A Narrative of Travel up the Mahakkam and Down the Barito; also, Journeyings in Sumatra. London: Sampson Low, Marston, Searle, & Rivington.
  • Dachlan, Oemar. 2000. Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
  • Ideham, M. Suriansyah, dkk (Ed.). 2015. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Kementerian Penerangan. 1953. Republik Indonesia Propinsi Kalimantan. Jakarta: Kementerian Penerangan.
  • King, Victor T. 2013. Kalimantan Tempo Doeloe. Diterjemahkan dari The Best of Borneo Travel, 1996. Depok: Komunitas Bambu.
  • Lumholtz, Carl. 1920. Through Central Borneo, An Account of Two Years Travel in the Land of the Head-Hunters Between the Years 1913 and 1917. New York: Charles Scribners’s Sons.
  • Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LkiS.
  • Noer, Syafril Teha dkk. 1997. Buku Putih Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kalimantan Timur. Samarinda: PWI Cabang Kalimantan Timur.
  • Noorpikriadi. 2015. Sejarah, Etnisitas, dan Kebudayaan Banjar. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Putra, R. Masri Sareb. 2011. “Makna di Balik Teks Dayak sebagai Etnis Headhunter”. Journal Communication Spectrum, 1.2 (2012): 109–126.
  • Ricklefs, M.C. 2016. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR Publishing.
  • Yoseph, Willy Midel. 2020. “Perjanjian Tumbang Anoi sebagai Warisan Sejarah Dayak untuk Dunia”. Makalah Webinar Kesejarahan Nasional AGSI, 11 Juni 2020.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar