Humaniora

Perjuangan Hidup Penjual Sayur hingga Dosen yang Dianggap Gampangan karena Menjanda

person access_time 4 years ago
Perjuangan Hidup Penjual Sayur hingga Dosen yang Dianggap Gampangan karena Menjanda

Puput (kiri) dan Mulyani, dua perempuan inspiratif di Bumi Etam (mustika indah khairina/kaltimkece.id)

Hari Perempuan Internasional diperingati setiap 8 Maret. Bentuk dukungan kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Ditulis Oleh: Mustika Indah Khairina
Minggu, 08 Maret 2020

kaltimkece.id Namanya Mulyani. Ia seorang perempuan berusia kepala empat yang selalu menyusuri Jalan Ahmad Yani, Samarinda, setiap pukul enam pagi. Kakinya sedikit kekar karena mengayuh sepeda bermuatan keranjang yang penuh sayur-mayur.

Mulyani sedang sibuk mengikat sayur di dekat kantor Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Samarinda, ketika reporter kaltimkece.id menemuinya. Perempuan berkulit gelap ini mulai bekerja sejak pukul satu pagi. Ia membeli sayur di Pasar Segiri untuk dijual kembali pagi harinya. Dari Jalan Ahmad Yani, Mulyani berkeliling hingga Jalan AW Sjahranie. Baru selepas zuhur, ia kembali ke rumah. Demikianlah rutinitasnya selama 18 tahun tanpa sehari pun libur itu. 

Mulyani tinggal di sebuah rumah kayu sewaan di Jalan S Parman yang selalu banjir saat hujan. Pekerjaan suaminya tidak berbeda jauh, penjual pencok keliling. Mereka dikaruniai tiga anak perempuan. Putri yang sulung sudah lulus dari Politeknik Negeri Samarinda dan telah setahun bekerja di sebuah perusahaan di Jalan M Yamin. Anak kedua dan ketiganya masih SMK dan SD. 

"Paling tidak, pendidikan anak-anak lebih baik dari saya yang hanya lulusan SD ini," tutur Mulyani sembari terus memilah-milah sayur menjadi beberapa ikat. Sedikit senyuman terlihat di sudut bibirnya.

“Yang penting itu, anak-anak bahagia, berpendidikan, dan hidup seperti teman-teman mereka. Bisa menjadi orang yang lebih terpandang, tidak seperti ibunya," ucap Mulyani. Senyumannya masih samar tetapi wajahnya mulai murung. 

Mulyani bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Ia bekerja sejak dini hari hingga siang. Setelah kembali ke rumah, ia menjadi ibu rumah tangga. Pekerjaan yang lain sudah menanti seperti memasak, membersihkan rumah, hingga merawat anak-anak. Ia baru bisa tidur lewat pukul sepuluh malam. Waktu tidurnya pun tidak lebih dari tiga jam sehari.

"Kalau kebanyakan istirahat, bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana bayar sewa rumah? Saya bekerja keras agar anak-anak bisa hidup lebih baik dari saya," lanjutnya. Setitik air mata nampak mengalir di pipinya. 

Mulyani sudah selesai mengikat sayur-sayuran. Sehelai kain yang menutupi rambut melindungi kepalanya dari sengat matahari. Ia berpamitan lewat sebuah senyuman. Kakinya sejenak mengayuh sepeda dengan keranjang berisi bahan kebutuhan pokok. Mulyani lalu turun dari sadel. Ia mendorong sepedanya ketika sampai di tanjakan Jalan Letjen Suprapto. Lima menit kemudian, ia dan sepedanya menghilang di balik bukit, tepat di bawah flyover Air Hitam.  

Kisah Seorang Dosen

Di tempat yang berbeda, Elisa Maulidya Putri, 31 tahun, sedang sibuk memilih biji kopi yang sudah dihaluskan. Ia menjaga kedai miliknya yang dinamakan Aksara Kopi dan Buku di Jalan Merdeka 2. 

Puput, demikian panggilan pendeknya, adalah seorang dosen di sebuah universitas swasta di Samarinda. Ia perempuan dengan peran ganda. Sempat menjadi ibu rumah tangga, menjanda, sekaligus wanita karier.  

Perempuan ini mengaku, seringkali mendapat stigma negatif dan diskiriminasi. Ketika masih kuliah, hal itu sudah dirasakannya. Dalam kebebasan berpendapat, contohnya, ada beberapa topik yang dahulu dianggap eksklusif hanya dibicarakan kaum laki-laki. Sebagai contoh, politik dan olahraga. 

“Biasanya, mereka akan bicara begini, 'tahu apa soal politik? Ini urusan laki-laki'," tuturnya.

Bentuk diskriminasi yang lain ketika seorang perempuan yang belum menikah ditanyai macam-macam. Ketika sudah menikah pun, perempuan sering "diteror"  karena belum memiliki anak. 

"Seolah-olah, tugas perempuan hanya menikah dan beranak? Apa bedanya saya dengan sapi?”

Puput pernah menjanda. Ia melewati pedihnya menyandang status itu. Tidak jarang, ia menerima pesan-pesan seolah dirinya perempuan gampangan. Pesan seperti itu datang dari para jejaka maupun laki-laki yang telah beristri.

"Saya kecewa ketika masyarakat melihat perempuan semata-mata sebagai objek. Statusnya dinomorduakan dan perannya selalu di bawah bayang-bayang suami," lanjut Puput. 

Atas keprihatinannya itulah, ia kemudian aktif di bidang sosial. Sebuah kedai kopi dengan konsep rumahan dibangun bersama suaminya yang sekarang. Kedai ini menjadi tempat pemberdayaan bagi perempuan maupun laki-laki, terutama komunitas yang baru memulai gerakan.

Pada mulanya, kedai Aksara Kopi dan Buku dibangun karena keprihatinan rendahnya literasi di Samarinda. Puput dan suami memang gemar membaca buku. Juga penggemar kopi. Maka hadirlah kedai dan perpustakaan mini tersebut. Kedai ini juga menjadi solusi bagi perempuan yang saat ini masih terbatas ruang untuk berdiskusi. 

Di kedai itu, kisah perjuangan perempuan yang menghadapi berbagai macam masalah dan penindasan terurai. Sebagai contoh, seorang korban perkosaan pernah mengaku dicap perempuan gatal. Alih-alih mendapat dukungan moral, orang-orang di sekitar justru menyalahkan sang korban.

Puput berharap, kesadaran masyarakat terhadap kaum perempuan semakin baik. "Selamat Hari Perempuan Internasional. Semoga kita semua bisa lebih menghargai dan memahami perempuan-perempuan luar biasa di sekitar kita," kuncinya. (*)

Editor: Fel GM 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar