Kesehatan

Mengapa Siswa Bawa Sajam untuk Lukai Gurunya?

person access_time 1 year ago
Mengapa Siswa Bawa Sajam untuk Lukai Gurunya?

Ilustrasi seorang siswa sekolah. FOTO: GENERATOR OPEN-AI

Seorang siswa SMK di Samarinda diduga ingin melukai guru olahraga dengan senjata tajam. Mengapa bisa sebegitu nekatnya?

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Kamis, 02 Maret 2023

kaltimkece.id Terik matahari belum menusuk kulit ketika siswa-siswi kelas XI di sebuah SMK di Samarinda berkumpul di lapangan sekolah. Mereka sudah mengenakan kaus olahraga dan bersiap memulai pelajaran. Pagi itu, guru olahraga akan membawakan materi tentang bola basket. 

Kamis, 23 Februari 2023, pukul 09.00 Wita, guru olahraga memulai pelajaran dengan membagi para siswa menjadi beberapa kelompok. Setiap grup terdiri dari empat orang. Satu kelompok diminta melempar, kelompok yang lain menangkap bola. Guru juga membuat kesepakatan. Apabila ada siswa yang tidak dapat menangkap bola basket, diberi hukuman berupa push up. Murid-murid setuju.

Latihan berjalan baik sampai seorang murid bernama Itazura–bukan nama sebenarnya–dapat giliran menangkap bola. Ia gagal sehingga guru mengingatkan hukuman. Bukannya menjalani sanksi sesuai kesepakatan, Itazura menjawab dengan kata-kata yang kurang sopan. 

"Disuruh tidur, ‘kan?”

Menurut keterangan kepala SMK kepada kaltimkece.id, guru olahraga mendengar jawaban Itazura tersebut. “Mungkin gurunya sedang capek sehingga tidak sengaja murid tersebut tertendang,” terang kepala sekolah. 

Itazura segera meninggalkan lapangan sekolah. Ia pulang. Rumahnya tidak jauh dari sekolah. Ia mengambil senjata tajam sepanjang 60 sentimeter lalu kembali ke sekolah. Itazura menuju lapangan olahraga seraya berteriak mencari guru olahraga. Senjata tajamnya ia acungkan. 

Petugas keamanan sekolah yang mengetahui keributan tersebut segera memeluk tubuh Itazura dari belakang. Peristiwa tersebut direkam seorang murid melalui telepon genggam dan tersebar di media sosial. 

"Saya dipukul," teriak Itazura dengan napas tersengal-sengal. 

Kepala SMK mengatakan, masalah tersebut selesai hari itu juga. Sekolah, guru yang bersangkutan, termasuk siswa dan orang tuanya duduk bersama. “Murid tadi meminta maaf begitupun orang tuanya," jelas kepala sekolah. 

Itazura tetap turun ke sekolah keesokan harinya. Menurut kepala sekolah, Itazura memang beberapa kali bermasalah. Anak tersebut disebut kerap berperilaku dan berkata kurang sopan. Itazura juga sering tidak masuk pada jam pelajaran sehingga memengaruhi nilai rapornya. 

“Akan tetapi, semua permasalahan selalu diselesaikan dengan baik,” jelas kepala sekolah. Ia menegaskan, telah menyerahkan Itazura kepada orang tuanya. Sekolah tidak sanggup membimbingnya. Orang tua murid belum menanggapi pernyataan sekolah. 

"Kami tidak bermaksud merusak masa depan anak. Akan tetapi, kami sudah menyerahkan yang bersangkutan kepada orang tuanya," urai kepala sekolah. 

Gejolak Masa Remaja 

Praktisi psikolog klinis, Ayunda Ramadhani, mengatakan bahwa perilaku seperti Itazura cenderung ke arah agresi. Perilaku agresi kerap ditemukan pada remaja. Masa remaja adalah proses transisi dari anak-anak menuju dewasa. Sebagian besar yang melewati masa ini akan mengalami banyak goncangan dan masalah yang berkaitan identitas dirinya. Termasuk pula, hubungan sosialnya dengan orang lain. 

Pada masa remaja, gejolak emosi dan keseimbangan hormonal belum seimbang. Hormon masih terus tumbuh. Remaja akhirnya sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Mereka cenderung memperlihatkan emosi negatif. 

“Itulah sebabnya, remaja kerap mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Faktornya seperti lingkungan yang tidak mendukung terlebih hal tersebut dilakukan orang tua,” terangnya. Halangan terhadap pemenuhan kebutuhan diri ini akan memicu perilaku agresi.

Dalam pengamatan Ayunda, Itazura diduga merasa hukuman push up merupakan sebuah penghalang. Itazura yang merasa kebutuhannya terhalangi kemudian berperilaku agresi. "Walau hukuman itu adalah kesepakatan, ketika anak memersepsikannya sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan, ia bisa merespons dengan emosi negatif,” terangnya.

Emosi negatif ini bermacam-macam. Mulai menggerutu, marah-marah, sampai agresif. Perilaku agresi cenderung merusak atau melukai orang lain. Dari video yang beredar, Ayunda mengatakan, Itazura sudah melakukan agresi verbal. Anak tersebut mengeluarkan kata-kata tidak sopan sampai ingin melukai guru. 

“Hal itu harus disikapi dengan hati-hati. Ada keterkaitan dengan emosi usia remaja dan kecerdasan emosional yang masih berkembang,” ingat ketua Ikatan Psikologi Klinis-Himpsi Kaltim itu. 

Ayunda Ramadhani, psikolog klinis di Samarinda. FOTO: INSTAGRAM @AYUNDAZIE
 

Ayunda melanjutkan, laku negatif seperti ini sebenarnya bukanlah perkembangan adaptif. Seorang remaja tidak sepatutnya mengembangkan perilaku negatif. Ada banyak faktor yang menentukan seperti pola asuh, lingkungan, dan biologis yang berkaitan dengan hormon. Sejumlah penelitian menemukan bahwa seorang remaja yang berkembang dengan tidak adaptif atau positif, perilakunya menjadi tidak normal. 

“Bahkan bisa mengarah kepada tindakan kriminal. Makanya, sangat penting diperhatikan karena dapat merusak masa depan anak,” terang Ayunda.  

Ia menyarankan, orang tua dan sekolah harus bijaksana mengambil keputusan. Ayunda menilai, sekolah seharusnya tetap membimbing yang bersangkutan. Peran sekolah pula menjembatani komunikasi orang tua dengan anak apabila ternyata itu faktor penyebab perilaku anak. 

“Tidak bijaksana sekolah menyerahkan anak begitu saja kepada orang tua. Sejatinya, tanggung jawab mendidik anak itu adalah keterlibatan seluruh pihak,” tutupnya. (*)

CATATAN REDAKSI: Artikel ini mengikuti Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagaimana diatur Dewan Pers serta Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar