Ragam

Belajar Budaya Jepang dari Perjalanan Mahasiswa Unmul

person access_time 11 months ago
Belajar Budaya Jepang dari Perjalanan Mahasiswa Unmul

Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, dan tiga kampus di Jepang menjalin kerja sama. Mereka melakukan pertukaran mahasiswa. FOTO: ISTIMEWA

Kesadaran masyarakat Jepang dalam menjaga hutan dan menanggulangi sampah dinilai cukup tinggi. Fasilitas untuk pejalan kaki pun amat memadai.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Senin, 24 Juli 2023

kaltimkece.id Sebanyak 12 mahasiswa dan dua wakil dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, berkunjung ke Jepang selama dua pekan dari 24 Juni hingga 7 Juli 2023. Selama di Negeri Sakura, mereka menyambangi sejumlah tempat. Beberapa di antaranya yakni Kyoto University, Mie University, dan Kyoto Prefectural University.

Senin, 10 Juli 2023, kaltimkece.id mewawancari tiga mahasiswa yang ikut dalam perjalanan tersebut. Mereka bernama Erlina Yustika, Muhammad Akmal Rizqullah, dan Oshferlia Rucmana Saud. Masing-masing dari mereka menceritakan pengalamannya di Jepang.

Erlina menjelaskan, perjalanan ini merupakan program pertukaran mahasiswa. Pada 18-27 Februari lalu, 12 mahasiswa dari ketiga kampus di Jepang tadi mengunjungi Fahutan Unmul. Salah satu syarat mengikuti program ini, para mahasiswa dituntut pandai berbahasa Inggris.

“Selain itu, kami diminta membuat esai tentang tropical rain forest,” beber mahasiswi S-2 Fahutan, Unmul, itu.

Dari perjalanan ini, Erlina mengaku mendapat pengalaman baru. Sebagian besar masyarakat Jepang disebut mempunyai kesadaran tinggi memelihara hutan. Setelah menebang pohon, mereka langsung menanam bibit pohon sebagai langkah reboisasi. Cara mereka memperlakukan pohon pun terbilang unik.

“Pohon-pohon yang mereka tanam itu ada yang dipagari,” kata Erlina. Pagar tersebut, sambung dia, bertujuan menghalau hama seperti rusa dan kijang. Selain ke kampus-kampus, para mahasiswa Unmul juga sempat mengunjungi dua kuil di Jepang yakni Heian Jingu Shrine dan Kiyomizu Temple. Erlina mengatakan, beberapa pohon di kuil-kuil tersebut ditutupi dengan jerami.

Pendistribusian kayu di Jepang pun dilakukan dengan pengawasan yang ketat. Erlina menyebutkan, kayu yang keluar-masuk Jepang mesti memiliki sertifikat dari Forest Stewardship Council (FSC). Tanpa sertifikasi dari lembaga asal Jerman yang berdiri pada 1933 tersebut, proses impor dan ekspor kayu di Jepang tidak dapat dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan penebangan hutan dilakukan secara bertanggung jawab.

Walau demikian, pengelolaan hutan di Jepang bukan tak ada kekurangan. Erlina menjelaskan, salah satu masalah yang sedang dihadapi warga Jepang adalah ketidakjelasan data kepemilikan lahan hutan. Masalah ini kerap terjadi di pedesaan. Warga desa di Jepang disebut terbiasa membagi-bagi lahan kepada keluarganya tanpa patokan yang jelas. Masalah akan terjadi ketika pemilik lahan meninggal dunia. “Tak jarang ada lahan yang terbengkalai,” sebutnya.

Sementara itu, Muhammad Akmal Rizqullah mengatakan, diversitas hutan di Jepang terbilang sedikit dibandingkan jenis-jenis pohon di Indonesia. Walau demikian, orang-orang Jepang disebut cukup kreatif dalam memanfaatkan kayu.

“Di Jepang, kayu juga dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku pembuatan mobil,” ucap Akmal. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, kayu bisa dimanfaatkan membuat mobil karena mengandung nanocellulose yang memuat kandungan besi namun elastis seperti plastik. Akmal bersama rombongan pun sempat melihat prototipe yang menjadi kerja sama Toyota dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Budaya Jalan Kaki

Selain pengelolaan hutan, rombongan Fahutan Unmul juga mempelajari sejumlah kebudayaan Jepang. Salah satunya budaya berjalan kaki. Erlina Yustika menilai, tata kota di Negeri Matahari Terbit cukup rapi dan mendukung berjalan kaki. Jalan khusus untuk pejalan kaki ada di banyak titik, termasuk peta agar tidak tersesat.

Tak hanya itu, pejalan kaki pun cukup dihormati. Erlina menceritakan, walau tak ada lampu merah, kendaraan-kendaraan di Jepang akan berhenti untuk memprioritaskan pejalan kaki menyeberang jalan.

Sejumlah mahasiswa Fahutan, Unmul, berkunjung ke Jepang pada 24 Juni hingga 7 Juli 2023. Belajar mengenai pengelolaan hutan adalah salah satu misi mereka. FOTO: ISTIMEWA

Berdasarkan informasi yang dihimpun Erlina, masyarakat Jepang lebih banyak berjalan kaki karena biaya mengoperasikan kendaraan pribadi tergolong mahal. Mulai dari bensin, parkir, hingga pajak kendaraan, semua serba mahal. Melansir dari Kompas.com, biaya parkir kendaraan di Jepang mencapai 600-700 Yen atau Rp 60-75 ribu per jam.

Orang-orang Jepang juga memberikan perhatian lebih terhadap penanganan sampah. Erlina menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Mie University. Di kampus tersebut, kata dia, tidak ada tempat pembuangan sampah. Para warga kampus disebut membuang sampah mereka ke Kyoto yang jaraknya sekitar dua jam.

“Mereka bahkan rela memasukkan sampah ke dalam koper,” cerita Erlina.

Oshferlia Rucmana Saud mengatakan bahwa masyarakat Jepang sangat disiplin. Mereka disebut nyaris tak pernah terlambat mengikuti kegiatan. “Mereka benar-benar menghargai waktu,” ucap Oshferlia terkagum. Ia bersama Erlina dan Akmal berharap, program pertukaran mahasiswa ini tak pernah berakhir agar mahasiswa lainnya juga mendapatkan kesempatan yang sama.

kaltimkece.id juga mewawancari Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Fahutan, Unmul, Erwin. Ia menjelaskan, perjalanan mahasiswa Unmul ke Jepang ini disponsori oleh Hayashida Junpei Shoten Co, Ltd, importir kayu ulin dari Kaltim. Ia pun memastikan, program ini terus berlanjut dan dikembangkan.

“Mulai dari riset dan dosen dari sana yang datang mengajar ke sini dan sebaliknya,” ucap Erwin. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar