Risalah

Risalah Carolus Tuah: Menilai Cara Isran Berdebat dengan Akal Sehat

person access_time 6 years ago
Risalah Carolus Tuah: Menilai Cara Isran Berdebat dengan Akal Sehat

Carolus Tuah (ilustrasi: Danoo).

Debat publik kedua bukan milik Isran. Blunder fatal ia tampilkan.

Ditulis Oleh: Carolus Tuah
Jum'at, 11 Mei 2018

kaltimkece.id Tidak ada yang lebih penting dalam risalah kali ini selain membedah perangai Isran Noor. Dalam Debat Publik II Pilgub Kaltim 2018 pada Rabu, 9 Mei 2018, di Jakarta, calon gubernur nomor urut 3 itu mempermalukan dirinya di depan khalayak. 

Empat peristiwa dapat dicermati sebagai bahan telaah. Pertama-tama, Isran sudah tampil beda dalam pernyataan pembuka. Dia menyerahkan penjelasan visi dan misi kepada calon wakil gubernur, Hadi Mulyadi. 

Memang tidak dilarang, tapi ceroboh. Visi dan misi adalah narasi utama pasangan calon. Dari situlah, kandidat menggambarkan masa depan Kaltim lima tahun mendatang ketika mereka berkuasa. Sudah sewajarnya bila visi dan misi mengalir di dalam darah dan semangat juang setiap kandidat. Jika untuk menjelaskannya saja mesti dilimpahkan, apatah lagi pekerjaan yang lain? 

Peristiwa kedua berhubungan dengan sportivitas. Isran sempat ditegur moderator ketika mengambil bola undian dalam sesi debat calon gubernur. Moderator tampaknya mendapati Isran sedang coba-coba memilih bola dengan melihat nomor undian terlebih dahulu. 

Masih mengenai aturan main, Isran kemudian seolah mengulur-ngulur waktu ketika mendapat kesempatan bertanya kepada Sofyan Hasdam, cagub nomor urut 1. Dia mengeluarkan celetukan yang tidak penting hingga waktu bertanya habis. Sofyan pun kebingungan menjawab karena Isran memang sama sekali tidak mengajukan pertanyaan dan itu mencederai aturan main. Patut dicatat, tidak sportif dekat sekali dengan curang. Sangat-sangat dekat.

Peristiwa ketiga menjadi puncak kegagalan Isran menjaga akal sehat warga Kaltim untuk memilihnya. Dia dengan tidak simpatik menghardik Sofyan Hasdam. Kutipan lengkap Isran saat diberi kesempatan bertanya adalah sebagai berikut.

“Saya sebenarnya malas bertanya. Jadi, tidak sampai hati aku bertanya ini. Tapi apa boleh buat? Jadi saya mau tanya bagaimana Pak… calon gubernur, ya? Bapak calon gubernur?”

Bahkan dalam konteks bercanda, pertanyaan demikian tidak etis. Jika pun Isran merasa punya relasi yang dekat dengan Sofyan sehingga dia merasa berhak untuk bercanda, debat publik bukan tempat yang tepat. Debat dibiayai uang negara dan itu uang rakyat. Ada hak warga Kaltim untuk mendapatkan debat yang bermutu, bukannya menyajikan guyonan yang sama sekali tak lucu.

Pertanyaan Isran kepada Sofyan Hasdam juga cenderung merendahkan lawan bicara. Gaya tutur yang seolah mengejek, lagi-lagi, seperti tidak menghormati debat. Perbuatan Isran sesungguhnya mempermalukan partai politik pengusungnya. Saya sungguh iba kepada Hadi Mulyadi. Dari gesturnya, politikus Partai Keadilan Sejahtera itu tak kuasa menutupi ketidaknyamanan pada saat Isran bicara. Penampilan Hadi yang cukup cemerlang pun seolah sia-sia.

Peristiwa keempat dan yang terakhir, Isran menunjukkan respek yang rendah kepada lawan bicara. Pada saat berdebat dengan Rusmadi, cagub nomor urut 4, Isran terlihat kurang santun. Memang, Rusmadi adalah junior Isran di Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Tetapi, Isran bertanya dalam sebuah debat yang disaksikan rakyat Kaltim, bukan ospek kampus. 

Sebelum menjawab, Isran ditanyai Rusmadi mengenai kebijakan pengelolaan karst di Kutai Timur dan hubungannya dengan pembangunan pabrik semen. Isran dengan nada tinggi menjawab, “Aku yang keluarkan IUP (izin usaha pertambangan)-nya.” 

Isran tercatat beberapa kali memakai kata “aku” dalam debat. Meskipun “aku” sering dipakai sehari-hari, meskipun Rusmadi adalah juniornya, Isran jelas kurang bijak memilih diksi itu. Rusmadi, bagaimanapun, berstatus sama dengannya saat debat yakni calon gubernur. Rusmadi juga bergelar doktor, sama seperti Isran. Sebagai sesama doktor dan calon gubernur, tidak adakah respek kepada lawan bicara? 

Jika kepada Rusmadi dan Sofyan Hasdam saja Isran perlakukan demikian, bolehkah kami bertanya, wahai Yang Mulia Isran Noor, bagaimana Anda memperlakukan kami sebagai rakyat jelata? Bolehkah kami meminta gambaran, seperti apa kinerja seseorang yang menyusun kalimat saja serampangan? 

Penilaian Umum

Pasangan nomor urut 1, Sofyan Hasdam-Rizal Effendi, masih konsisten berbicara dengan sistematis seperti debat terdahulu. Saat debat cawagub, Rizal cukup cerdik ketika memenangkan debat melawan Awang Ferdian Hidayat, cawagub nomor 2. Wali Kota Balikpapan itu menanyakan rasio ketergantungan penduduk. Tentu saja, Rizal yang sudah mengetahui jawabannya berhasil mempermalukan Ferdian. Jawaban Ferdian, jika ditelaah betul-betul, tidak nyambung dengan pertanyaan. 

Baca juga: Risalah Carolus Tuah: Debat Kandidat, Apa yang Kita Dapat?

Tapi, pasangan ini bukan sempurna. Rizal justru keteteran menjawab pertanyaan mengenai pendapatan asli daerah, PAD. Pemaparannya bahwa pendapatan blok migas dan blok yang lain merupakan potensi PAD seperti mengulang kecerobohan pada debat pertama. Rizal lagi-lagi tidak mendukung narasi hilirisasi sebagai cara melepaskan Kaltim dari ketergantungan sumber daya alam, seperti tertuang dalam visi dan misi. Dalam konteks tersebut, Rizal terlihat tidak memahami sumber PAD Kaltim selama ini.

Berikutnya adalah pasangan nomor urut 2, Syaharie Jaang-Awang Ferdian Hidayat. Pasangan ini kembali basah kuyup “tergenang” banjir. Pernyataan Jaang bahwa banjir di Samarinda disebabkan pemanasan global membuatnya terlihat sekadar ngeles. Sofyan, yang berdebat dengan Jaang dalam tema banjir, boleh dibilang menang mutlak. 

Namun demikian, Jaang sempat membuat pernyataan menarik yaitu program penanaman satu juta pohon. Sayang, program itu tidak disertai kritik bagaimana memelihara pohon sebanyak itu. Padahal di situlah masalah utama dari program serupa yang telah berjalan pada era Gubernur Awang Faroek Ishak.

Sementara Ferdian pada awalnya tampil baik melalui pemaparan strategi memperkuat UMKM melalui penguatan badan usaha milik desa. Namun, belum setengah waktu debat berjalan, Ferdian sudah babak belur menghadapi pertanyaan Rizal Effendi. 

Baca juga: Debat Kandidat di Masa Lalu, Bawa Foto SD Rusak hingga Jurus Diam

Posisi Ferdian makin terpojok ketika diserang balik oleh Safaruddin, cawagub nomor urut 4. Pada awalnya, Ferdian menyerang Safaruddin dalam isu Samarinda adalah kota yang tak nyaman dihuni. Menurut Ferdian, Safaruddin pernah mengeluarkan pernyataan negatif mengenai kondisi ibu kota Kaltim. Namun belakangan, Safaruddin malah ber-KTP Samarinda. 

Memilih tema Samarinda sebagai bahan debat, Ferdian jelas tidak berhitung dengan cermat. Dia justru blunder karena Safaruddin dengan mudah membalikkannya. Menurut Safaruddin, semua orang tahu bahwa penilaian Samarinda tidak nyaman dihuni berdasarkan hasil penelitian (tepatnya oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia). Langkah Ferdian menyinggung Samarinda pun tak ubahnya menoreh arang ke wajah Jaang selaku wali kota.

Jika pasangan nomor urut 3 telah diulas di pembuka tulisan, mari menuju pasangan terakhir, Rusmadi-Safaruddin. Rusmadi memulai debat dengan awal yang kurang bagus. Dia masih didera kegugupan. Rusmadi juga sempat ditegur moderator ketika mengambil bola undian yang seharusnya giliran cawagub. Beruntunglah karena dia tidak kehilangan kecerdasan saat menjawab pertanyaan moderator maupun kandidat yang lain. 

Dalam debat cagub, Rusmadi cukup cerdas membuat Isran Noor memberi pengakuan dalam isu tambang semen di kawasan karst. Isran menyatakan bahwa dia mengeluarkan IUP sekaligus meyakinkan penerbitan izin telah melewati persyaratan lingkungan yang ketat. Sebenarnya, pengakuan Isran justru membuat Rusmadi membersihkan nama Pemprov Kaltim. Selama ini, pemprov dituding sebagai penerbit izin perusahaan semen di Kutai Timur.

Rusmadi juga sangat baik menjawab sengketa Kaltim dengan Sulawesi Barat mengenai kepemilikan Pulau Balabalagan di Selat Makassar. Sebagai bekas sekretaris daerah, dia menguasai tema yang memiliki kesukaran tinggi untuk dibahas. Solusinya juga jitu, yaitu, menempuh mekanisme judicial review. 

Sayangnya, sama seperti nomor urut 1, argumen Rusmadi lumer karena pasangannya blunder. Safaruddin memberi pernyataan kontraproduktif. Dia menambahkan, akan mengerahkan jaringan PDI Perjuangan untuk kepemilikan Pulau Balabalagan. Padahal, uji materi jelas-jelas wilayah yudikatif yaitu di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Peran partai politik, seperti disebutkan Safaruddin, adalah di ranah legislatif maupun eksekutif. 

Baca juga: Di Balik Tergelincir Lidah Rp 1 Triliun untuk Satu Desa

Kembali ke penilaian secara menyeluruh, keempat pasangan calon terlihat memakai strategi main aman. Hanya pasangan nomor 3 yang menciptakan blunder yang sangat fatal. Sedangkan jika dikerucutkan lagi, tak sukar menilai bahwa pasangan nomor 1 dan 4 tampil lebih baik, sebagaimana debat terdahulu. 

Lalu, dari dua pasangan itu, siapa yang paling unggul dalam penguasaan materi, pemaparan visi dan misi, serta mempertahankan argumen saat berdebat? Saya belum akan menyebutkannya. Masih ada satu kali debat lagi di Samarinda. 

Saya hanya menyayangkan, ada kandidat yang tidak menghargai debat. Memang, debat publik hanya satu dari sekian faktor penentu dalam kompetisi pilkada. Tapi patut dicatat, dari debatlah masyarakat akan menilai para kandidat dengan akal sehat. (*)

Penulis adalah penggiat antikorupsi, koordinator Kelompok Kerja 30.

Catatan Redaksi: Isi artikel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar