Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-10): Darah Pejuang

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-10): Darah Pejuang

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Sebuah kabar gembira, ayah Ratih telah diterima kerja. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Jum'at, 11 Oktober 2019

"ALHAMDULILLAH, Nak. Ayah sudah dapat pekerjaan. Mulai tadi pagi ayah sudah masuk kerja," kata Perwira kepada anaknya sesaat setelah mencuci tangannya. Makan bersama malam itu berakhir tapi Perwira, istrinya, dan Ratih, masih bercakap-cakap sebagaimana biasa.

Senang hati Ratih mendengar cerita ayahnya. Bukan karena uang kuliah tidak jadi persoalan lagi melainkan saat mengucapkan itu wajah ayahnya berseri-seri. Selama ini, wajah ayahnya seperti musim. Kadang mendung, hujan, panas, cerah, dan gerimis. Jika dapat pekerjaan, wajahnya senang. Jika pekerjaan itu hanya seminggu dan setelah itu menganggur, wajah ayah kebanggaannya pun muram.

Menganggur, bagi ayahnya, adalah kondisi yang paling menyakitkan. Ia pantang tidak bekerja. Akan tetapi, masa sekarang, pekerjaan sulit didapatkan. Sejak pemerintah kesulitan karena kucuran dana pusat tersendat, sementara proyek tahun jamak (multiyears) harus dibayar, sejak itu pula ekonomi di daerah ini tertatih-tatih. Kondisi ini diperparah lesunya pertambangan baru bara. Efeknya menjalar ke mana-mana.

Bagi Perwira yang sudah berumur, baru lepas dari penjara, tentu tidak gampang mencari pekerjaan meskipun pekerjaan kasar seperti pembantu tukang. Setiap proyek seakan sudah punya tukang dan membantu tukang sendiri. Proyek-proyek besar biasanya mendatangkan tenaga kerja dari Jawa. Alasannya? Pekerja dari Jawa memiliki etos kerja kuat dan skill di atas rata-rata orang daerah ini.

Perwira termasuk menolak anggapan itu. Semangat kerjanya luar biasa. Tapi soal skill, ia mengakui. Ia tak punya skill jadi pekerja bangunan, terutama dalam pengecoran, pemasangan kusen, rangka atap, apalagi kekuatan bangunan. Jadi apa yang bisa dikerjakan Perwira? Mengecat. Ia berani mengatakan ia punya skill untuk pengecatan, baik kecermatan, kehalusan, dan kebersihan.

Sayangnya, pekerjaan pengecatan itu selalu di bagian akhir proyek. Selain itu, yang pandai mengecat bukan hanya dirinya. Itulah sebabnya, Perwira --jika dapat pekerjaan pengecatan—bekerja tak lebih dari sepuluh hari.

Malam ini, Ratih memperoleh kabar baik. Ayahnya sudah dapat pekerjaan. Pantas, sejak tadi wajah ayahnya cerah.

"Alhamdulillah. Kerja di mana, Yah?"

"Di perusahaan. Masih percobaan, sih"

"Kerja apa?"

"Halal, Nak. Jangan kuatir."

"Maksud saya, sesuai dengan pendidikan Ayah?"

"Kalau bekerja harus sesuai dengan pendidikan, bisa banyak pengangguran. Kau lihat, beberapa sarjana pertanian, ekonomi, fisipol, jadi guru. Guru honor. Itu baik. Tidak masalah, kan?"

"Ya, tidaklah. Beberapa kakak tingkat saya yang lulus dari diploma 3 pariwisata kerjanya malah jadi kasir. Ada yang jadi guru TK. Ada yang buka usaha roti. Kak Akbar malah jadi produsen es krim. Berhasil. Malah sekarang punya Honda Brio."

"Merek baru ya?"

"Sudah lama, Yah. Mungkin sudah dua tahun. Selain untuk mengangkut box-box es krimnya, mobil itu ia pakai juga untuk liburan."

"Oh, itu merek mobil?"

"Ya, ayah."

"Itu dia. Aku senang mendengarnya. Pendidikan itu adalah bekal. Kalau bisa bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan, itu ideal. Tapi, jangan karena tidak sesuai dengan pendidikan, lalu tidak mau bekerja. Itu keliru, menurut ayah."

Ratih senang mendengar sikap ayahnya. Sikap yang menjadi komitmennya juga. Ratih tidak terlalu berharap kelak akan bekerja sesuai dengan pendidikan yang ditempuhnya sekarang.

"Jika saya nanti bekerja tidak sesuai dengan bidang pariwisata, tidak apa-apa, kan?"

"Ya, dong. Tapi nanti dulu, cita-citamu memangnya apa? Maksud ayah, kerja apa?"

"Saya tidak ingin jadi pekerja, ayah. Saya ingin menjadi pengusaha yang menampung banyak pekerja."

"Good! Mantap itu. Ayah berdoa agar cita-citamu terkabul. Orang yang baik itu adalah orang yang bermanfaat buat banyak orang. Jadi pengusaha adalah salah satu jalannya."

Ratih mengagumi sikap dan cara berpikir ayahnya. Entah dari mana sumbernya tapi Ratih pernah membaca pernyataan Buya Hamka bahwa jika hidup sekedar hidup, kambing juga hidup. Jika bekerja sekedar bekerja, monyet juga bekerja.

"Tapi saya belum punya modal. Baru punya cita-cita," kata Ratih kepada ayahnya.

"Begini. Tidak semua pengusaha yang kita lihat sekarang kaya raya lahir dari keluarga kaya raya juga. Banyak di antara mereka berasal dari keluarga miskin."

"Ya, saya baca beberapa riwayat pengusaha sukses, Ayah."

"Orang-orang miskin itu, perutnya lapar. Karena lapar, mereka terus berpikir dan berusaha agar perutnya terisi. Otaknya terus bekerja. Badannya terus bergerak. Semangat hidupnya tak pernah padam."

"Tapi, banyak juga yang malas, ayah. Karena miskin, ia merasa berhak untuk meminta-minta."

"Itu bukan contoh yang baik. Malas dan rajin sebenarnya bukan tergantung karena dia kaya dan miskin. Bodoh dan pintar. Malas lebih karena sikap mental. Malas adalah sikap mental yang tidak pernah bersyukur. Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Binatang saja yang tidak punya otak tetap bekerja. Ya, kan?"

"Ya, sih."

"Ayah, meskipun sudah tua, tetap bekerja. Meski kemarin-kemarin kerja serabutan. Kamu mengertilah. Kamu sudah dewasa."

"Oh, ya, ayah belum jawab pertanyaan saya tadi."

"Yang mana?"

"Ayah kerja apa?"

"Kerja seperti orang-orang juga."

"Di perusahaan?"

"Kan sudah ayah bilang tadi."

"Di bagian apa?"

"Wah, tidak tahu bidang apa. Sudahlah. Yang penting, tugasmu adalah belajar yang rajin. Oke?"

"Siap, kumendan."

"Hahahaha. Laksanakan!"

Perwira berdiri dan beranjak ke kamar tidur. Maryati, istrinya, lebih banyak diam. Ia tersenyum-senyum saja melihat percakapan suaminya dengan Ratih. Ia memang seorang ibu yang sederhana. Tak mengerti soal bisnis, diploma, merek mobil, sebagaimana yang ia dengar dari obrolan suami dan anaknya.

Maryati merapikan meja makan yang sudah tua umurnya. Ratih melarangnya. Ratih meminta agar ibunya istirahat saja. Kualat baginya jika urusan merapikan meja makan dan membersihkan piring, gelas, mangkok, sendok, harus diurus ibunya pula, sementara dia ada di rumah.

"Biar saya yang membereskannya, Bu," kata Ratih kepada ibunya.

Ratih tahu, ibunya terbiasa bekerja berat. Meskipun kakeknya adalah seorang kepala kampung, tidaklah berarti hidupnya nyaman. Kepala kampung di sebuah desa bernama Loa Bakung pada masa lalu tidak bergaji. Kepala kampung bukanlah lurah seperti di zaman sekarang. Lurah adalah pegawai negeri. Kepala kampung hanyalah orang biasa. Karena ketokohannya, keteladanannya, dan dianggap orang bijak, peduli, kakeknya dipilih menduduki jabatan itu. Jabatan paling tinggi di kampung tapi tak bergaji.

Kakeknya sama dengan warga lain di kampung Loa Bakung ini. Petani. Tak ada warisan apa-apa ketika kakek dan neneknya meninggal kecuali rumah sederhana yang ditempati ibu, ayah, dan dirinya sekarang.

Ibunya tak punya saudara. Ibunya adalah anak tunggal sebagaimana Ratih. Kakek dan neneknya sangat mencintai ibunya. Ratih ingin sekali bertemu dengan kakeknya tapi tak bisa. Keduanya telah lama meninggalkan mereka. Saat Ratih masih berumur dua tahun.

Menurut cerita ibunya, kakeknya adalah seorang pejuang di zaman Jepang. Saat perjuangan, kakeknya masih berusia 19 tahun. Neneknya baru berusia 15 tahun. Mereka bukan berasal dari Loa Bakung melainkan dari Sanga-sanga, sebuah kecamatan yang ramai karena perusahaan minyak milik Belanda. Perusahaan minyak itu mengelola sebuah kawasan yang disebut sebagai Blok Sangasanga, terutama di sisi darat (onshore), yang telah dikelola selama 130 tahun.

Perusahaan ini berpusat di Balikpapan dan Sanga-sanga merupakan salah satu wilayah kerjanya. Pertambangan minyak ini merupakan bagian dari jejak panjang pertambangan migas di bumi Kaltim yang dimulai pada 1888. Pada saat itu, Sultan Kutai menerbitkan konsesi migas dan batu bara kepada Jacobus Hubertus Menten yang mewakili Pemerintah Hindia Belanda.

Melalui konsesi tersebut, Royal Dutch Shell membangun kilang yang berkedudukan di Balikpapan pada 1894. Satu per satu sumur minyak dengan nilai komersial kemudian ditemukan. Paling pertama adalah sumur dengan kedalaman 220 meter di Gunung Komendur, sekarang di kawasan Jalan Minyak, Balikpapan. Sumur itu dibor pada 10 Februari 1897. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan hari jadi Kota Balikpapan. Sumur minyak pertama itu disebut Mathilda yang diambil dari nama anak perempuan JH Menten.

Dari Mathilda, jalur pengeboran sumur minyak menuju Sangasanga. Perusahaan minyak Belanda bernama BPM atau Bataafshe Petroleum Maatschappij, mendapati cadangan di Samboja, Muara Badak, dan Tarakan. Sedemikian banyak sumur yang beroperasi, Hindia Belanda akhirnya membangun kilang minyak di Balikpapan mulai 1898.

Perusahaan itu kemudian diambil alih oleh Jepang saat ia berkuasa. Jepang kemudian berhasil dikalahkan oleh sekutu. Perusahaan itu pun kemudian diambil alih lagi oleh NICA (Belanda).

Indonesia sudah merdeka. Penguasaan NICA atas Sanga-Sanga yang kaya sumber minyak itu memantik perlawanan rakyat Sanga-Sanga yang menganggap itu adalah hak Indonesia. Hal tersebut membuat rakyat Sangasanga bersikeras mengusir Belanda, dengan melakukan perlawanan, hingga para pejuang mengadakan rapat dan tercetuslah rencana merebut gudang senjata Belanda.

Perjuangan rakyat Sanga-Sanga pada tanggal 26 Januari 1947 itu berhasil. Keesokan harinya, tanggal 27 Januari pukul 09.00 Wita, Kota Sanga-sanga berhasil dikuasai pejuang. Sebagai tanda peringatan perjuangan, dibangun monumen perjuangan terukir nama-nama pejuang yang gugur pada saat itu di Sanga-sanga. Peristiwa tersebut diperingati sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sanga-sanga 27 Januari.

Kakek Ratih adalah salah seorang pejuang dalam perebutan kota Sanga-Sanga. Saat Belanda menyerbu Sanga-Sanga, ia berhasil lolos. Kawan-kawannya banyak yang gugur dalam perjuangan yang bersejarah itu. Kakek Ratih selamat karena sempat melarikan diri menembus belantara dan akhirnya tiba di Loa Bakung. Di situlah ia bertemu dengan nenek Ratih yang kemudian menjadi jodohnya.

Kakeknya menikah dengan neneknya di kampung ini. Entah pada tahun berapa, kakeknya kemudian dipilih oleh warga kampung jadi pembakal atau kepala kampung. Perjuangan kakeknya dari pihak ibunya inilah yang menjadi pelecut dirinya untuk tidak menyerah terhadap situasi yang amat sulit. Sikap tidak menyerah itu pula yang melekat pada darah ibunya. Ibunya telah menjadi pahlawan saat ayahnya mendekam dalam penjara.

Ibunya harus membanting tulang menjadi pembantu. Setiap hari, ibunya harus menguras tenaga mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Mengepel, mencuci, memasak, dan menyetrika. Pada saat yang sama, Ratih tetap kuliah. Pulang kuliah bekerja di rumah makan milik pak Haji Nanang Kaya.

Ingat penderitaan ibunya, Ratih pun terisak. Ingin ia memeluk ibunya. Tapi tak mungkin ia memeluk ibu yang dimuliakannya karena pasti sudah tertidur lelap. Ratih hanya berdoa agar ibunya selalu dalam lindungan Allah yang selalu mengasihi dan menyayangi. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar