Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-13): Tidak Ingat Apa-Apa

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-13): Tidak Ingat Apa-Apa

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Asyik bercerita tatkala diintai bahaya.
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Senin, 14 Oktober 2019

RATIH sudah berketetapan hati. Pilihan sudah dijatuhkan. Hidup telah dipertaruhkan. "Aku akan jadi pengusaha. Aku akan buktikan bahwa aku bisa. Pengusaha pariwisata! Titik. Mulai sekarang. Tidak boleh ditunda! Mulai besok, hari Minggu, aku akan ke Muara Badak. Akan kubuat orang-orang terkesima. Orang-orang Muara Badak. Orang-orang Samarinda, Balikpapan, orang-orang Jawa, Sumatera, Australia, Cina, Eropa, dan Amerika!

Itulah badai dahsyat yang bergemuruh di dada Ratih. Badai itu membuat ia sukar tidur. Matanya menyala. Ia ingin malam cepat berlalu. Ia akan menjelajahi Muara Badak dengan sepeda motor bututnya.

Berlembar-lembar catatan ia hasilkan malam ini. Mulai dari perencanaan, penataan lahan, pembangunan gerbang, rekrutmen relawan, sampai otaknya tak mampu lagi berpikir dan pulpen yang ia pegang jatuh ke lantai. Ia tertidur dalam posisi telungkup di ranjangnya.

"Okey siap. Aku suka. Aku suka. Nanti aku yakinkan dengan bahasa Bugis," kata Ipeth bersemangat saat Ratih pukul 7 pagi sudah 'nyanggong' di rumahnya.

"Akses ke Muara Badak itu gampang. Tak lebih satu jam dari Samarinda. Sarana pendukung itu bisa dibangun bertahap. Kita utamakan toilet. Yang lain pelan-pelan kita adakan. Daya tarik oke. Sangat oke. Apalagi kalau dipoles dengan kekuatan imajinasi dan tangan kreatif."

"Aku setuju, Ratih. Ini sudah yang kucari. Aku mandi dulu. Kita segera berangkat."

Kekuatan bisa lahir dari semangat yang menggebu-gebu. Kelemahan acapkali justru lahir dari kemalasan. Hidup tanpa semangat adalah kekalahan. Jika ingin menang, bersemangatlah menjalani hidup.

Ratih memacu sepeda motor tua itu dengan kecepatan 60 km per jam. Ipeth berkali-kali mengingatkan Ratih agar menurunkan kecepatannya. Ratih tak perduli. Ia tetap mempertahankan kecepatan itu di saat melintasi jalan lurus dan lengang.

Sepeda motor itu meliuk-liuk di bukit Kebun Raya, Tanah Merah, hingga Pampang. Ia memang menurunkan kecepatannya di tikungan dan kelokan yang tajam. Tapi, begitu tiba di Tanah datar, ia kembali memacu sepeda motornya. Angin menampar-nampar wajahnya. Ratih menikmati tamparan angin itu sebagai lecutan agar cita-citanya bisa ia gapai.

Setelah berbelok ke kanan menuju Kecamatan Muara Badak, jalan lebih sunyi. Tapi Ipeth mengancam akan meloncat dari sepeda motor jika Ratih masih ngebut. Ratih menurunkan kecepatan karena jalan yang dilalui agak sempit dan banyak lubang-lubang kecil. Selain itu, banyak pula batu-batu kecil yang bisa menggelincirkan ban sepeda motornya.

Akhirnya, tiba juga mereka di Muara Badak. Tapi tujuan akhir mereka Desa Tanjung Limau. Masih beberapa kilometer lagi.

Di sebuah kedai, mereka berhenti. Guncangan di perjalanan rupanya membuat kedua gadis itu kelaparan. Mereka memesan mi rebus. Makanan kebanggaan mahasiswa.

"Aku hanya ragu kepada etos kerja dan sikap melayani orang-orang yang akan kita rekrut," kata Ratih sambil menyeruput es teh manisnya.

"Kukira persoalan utama kita adalah meyakinkan pemilik lahan," balas Ipeth.

"Itu tidak masalah. Aku sudah berbicara soal itu kepada Haji Acok. Dia malah menawarkan lebih dari dua hektare. Dia menguasai 10 hektare."

"Bagaimana bisa dia menguasai tanah seluas itu, ya?"

"Ya bisalah. Siapa sih yang mau mengurusi tanjung tak bertuan itu? Jika air pasang, tanahnya tenggelam. Tidak bisa dikebuni. Tak ada yang bisa tumbuh kecuali pohon bakau. Tanjung Limau ini tahun 70-an semak belukar. Apalagi tanjung yang terpisah air laut."

"Ya juga, sih."

"Tantangan kita sebenarnya soal manusianya. Ada tidak yang percaya dan mau bersusah-susah menjadikan kawasan itu menjadi lahan berharga."

"Ya, sih."

"Kuharap kamu mau membantuku. Menguatkanku. Akan banyak orang yang nyinyir bahkan mengatakan kita orang gila. Kurang kerjaan. Tapi percayalah, kita pasti bisa. Pasti sukses. Awalnya orang akan mencibir tapi bila sudah berhasil barulah mereka sadar, mereka orang yang kalah."

"Biasanya begitu"

Ratih menjeda kalimatnya. Banyak yang dipikirkannya. Tapi ia tidak boleh mundur. Harus tetap maju. Mungkin gagal. Mungkin jadi olokan orang. Mungkin disindir-sindir. Bahkan mungkin juga dicap orang gila.

"Orang-orang kita, termasuk pemerintahnya, punya kebiasaan menghargai bila sudah berprestasi. Lihatlah, betapa banyak orang yang dipuja-puja setelah berprestasi, apalagi atlet. Menang dulu baru dielu-elukan. Juara dulu baru diapresiasi; dihargai, dan dihujani hadiah. Tidak pernah ditelisik, bagaimana muasal prestasi itu diraih. Bagaimana medali dapat diraih. Lalu, pembinaannya di mana. Begitu juga dalam berusaha."

Bingung Ipeth mendengarkan kata-kata Ratih. Karena itu, dia memilih memasang saja telinganya baik-baik. Mencoba membuka belahan otaknya dan mencoba menampung semua petuah itu dalam irisan-irisan otaknya yang mulai lelah.

"Prestasi itu tidak datang serta-merta. Juara itu tidak turun dari langit. Juara itu dihasilkan melalui latihan panjang, melelahkan bahkan penderitaan. Begitulah sukses."

"Kamu bicara apa, sih?"

"Bah, kamu ini. Aku bicara cita-cita. Aku bicara sukses yang harus kita raih. Pak Putra mengajarkan banyak hal kepadaku."

"Pak Putra? Siapa itu?"

"Beliau ketua Asita Samarinda."

"Oh, pengusaha biro perjalanan itu? Kapan kamu bertemu beliau?"

"Kemarin. Beliau bilang, sukses itu adalah kegagalan yang dievaluasi. Kegagalan adalah jalan wajib yang mesti dilalui. Tak ada instan. Tak ada kebetulan. Kebetulan adalah satu di antara seribu peristiwa aneh, langka, mirip judi. Lebih banyak kalahnya daripada menangnya. Jadi, jangan mencari sukses kebetulan. Beliau, 21 tahun berusaha di biro perjalanan. Untung sudah. Rugi sudah. Jatuh sudah. Diganjal, disingkirkan, bahkan difitnah pun sudah."

"Difitnah?"

"Ya. Perusahaan beliau diembuskan oleh pesaing sebagai tak bertanggungjawab terhadap pelanggan. Menelantarkan pelanggan. Menjanjikan hotel bintang empat, dapatnya penginapan. Dijanjikan makan di restoran, hasilnya kotakan. Isu-isu seperti itu pernah beliau alami. Tapi beliau bukan bodoh. Isu itu gampang dipatahkan. Layani pelanggan dengan baik. Berikan yang terbaik. Berikan pelayanan di luar dari ekspektasi pelanggan."

"Wow!"

"Ya, menurut beliau, persepsi wow lahir dari bukti. Bukan kisah. Bukan promosi. Bukti. Bukti itulah yang mematahkan fitnah. Buktikan bahwa pelayanan yang prima bukan untuk ketua, pemimpin, kepala, pejabat, pengambil keputusan, atasan. Bukti yang sejati adalah pelayanan tanpa pandang bulu. Standarnya sama untuk siapapun. Itu sulit. Sulit sekali. Yang sering terjadi, bosnya diservis maksimal, anak buah dilayani seadanya. Bos memang boleh dilebihkan tapi anak buah jangan direndahkan. Berikan pelayanan di atas standar rata-rata. Itu kunci sukses. Semakin baik pelayanan, akan semakin berkembang usaha. Ingat, promosi itu bukan apa yang kita katakan; apa yang kita tuliskan. Promosi itu ialah kesaksian pelanggan."

Ipeth sebenarnya ingin menyela bahwa waktu telah beranjak siang. Kalau ngobrol terus, kuatir pulangnya kemalaman.

Ratih mengatakan, sebagai mahasiswa yang belajar manajemen pengembangan destinasi pariwisata, ia melihat Muara Badak bisa dikembangkan. Ia mencatat beberapa keunggulan Muara Badak.

"Kau tahu, Pak Putra bilang, Kaltim itu punya destinasi yang memiliki magnet kuat untuk menarik wisatawan baik luar negeri, apalagi dalam negeri. Banyak yang beranggapan bahwa kelemahannya adalah promosinya lemah. Itu benar. Tapi bukan itu satu-satunya kelemahan kita. Apalah artinya promosi kalau aksesibilitas kita masih payah. Apalah artinya promosi digencarkan sementara sarana pendukungnya tidak dibenahi. Kalau soal destinasi, kita punya daya tarik luar biasa. Kita punya kekayaan alam yang beragam, unik, beda, langka, dan sangat menarik. Tapi, sebagian masih sulit dijangkau. Kesulitan itu bisa berakibat durasi waktu yang lama. Karena lama, biayanya mahal. Lalu orang membanding-banding."

"Akses ke Muara Badak gampang. Pantai Muara Badak indah. Lautnya juga menyimpan keindahan. Terumbu karangnya oke."

"Kamu benar! Jadi, kita harus yakin apa yang akan kita lakukan on the track, kan?"

"Yes! Yakin!"

"Ayo kita jalan. Kita harus bertemu secepatnya dengan Pak Haji Acok."

Sepeda motor tua itupun melaju. Dua gadis itu bagai pendaki yang sudah melihat puncak gunung. Senang sekali wajahnya. Di bawah terik matahari, mereka tetap ngobrol, tertawa-tawa.

Sebuah pikap dari depan dengan kecepatan tinggi mengadang. Ratih gugup. Sepeda motornya oleng. Lalu ia tidak ingat apa-apa. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk:
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar