Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-14): Gundah Gulana

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-14): Gundah Gulana

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Tiada yang melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Selasa, 15 Oktober 2019

MALAM menyambut Perwira pulang. Senyumnya merekah sepanjang perjalanan. Tiang-tiang listrik yang melintas dari kaca jendela angkot bagai prajurit menyambut pahlawan datang. Melambai-lambai mengiringi lagu perjuangan.

Lampu-lampu jalan benderang. Sinarnya, bagi Perwira, bagai obor-obor sepanjang jalan yang diarak istri-isteri dan anak-anaknya, karena ayahnya selamat pulang dari medan peperangan.

"Maryati, coba kau lihat apa kubawa?" Perwira berseru begitu tiba di rumahnya. Maryati terkejut namanya dipanggil. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Ia segera bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahnya. Mengusap air matanya.

"Maryati!"

"Ya, sebentar. Aku masih di kamar mandi," balas Maryati. Sekali lagi ia pandangi wajahnya untuk meyakinkan bahwa wajahnya tampak wajar dan tidak tampak usai menangis.

Sedari magrib tadi, ia resah. Ratih belum juga pulang. Ratih memang biasa pulang terlambat. Tapi, pagi tadi Ratih pamit ke Muara Badak naik sepeda motor. Ia takut akan keselamatan buah hatinya. Itulah sebabnya, sejak tadi ia resah hingga tak kuasa membendung tangisnya.

"Apa yang Abang bawa"

"Ini sate ayam ternyaman yang selalu kau kenang."

"Oh....."

"Ayo kita makan. Ratih mana?"

"Belum pulang. Barangkali banyak tugasnya."

"Kau simpanlah separuh untuk dia. Ayo kita makan sekarang."

Sate ayam Pak Hery adalah sate ayam terkenal di seputaran Loa Bakung, terutama karena sambalnya yang cocok di lidah. Pak Hery berjualan sate ayam sudah sejak dulu. Sejak Ratih masih kecil.

Jika Perwira sedang punya duit, ia selalu membeli sate ayam itu untuk dimakan bersama di rumah. Malam ini, kelezatan sate ayam itu terganggu di lidah Maryati. Pikirannya masih belum bisa tenang karena Ratih belum juga datang.

"Alhamdulillah, tadi bosku membayar gajiku. Makanya, kuingat kesenanganmu," kata Perwira sambil mengunyah sate ayam kesenangan keluarga ini. Maryati mencoba tersenyum.

"Tampaknya tak lahap kau makan? Demam?"

"Aku selalu ingat Ratih, Bang. Aku takut."

"Berdoa saja. Bukankah dia sudah biasa pulang malam?"

"Ya. Tapi dulu pulang malam karena bekerja. Sekarang, dia belum pulang dari Muara Badak."

"Muara Badak itu dekat. Sama saja ke Tenggarong."

"Sepeda motornya itu bukan yang dulu, Bang. Takut mogok."

"Jalan ke Muara Badak itu bukan di hutan. Banyak orang yang akan membantu kalau dia mogok. Jalan ke Muara Badak itu ramai. Sudahlah. Tenang saja. Dia kan sudah pernah ke sana."

"Ya, tapi dulu rombongan. Naik bus."

"Berdoa saja. Anak kita itu pintar. Dia itu kuat. Sabar kalau ada masalah. Sama sepertimu. Dia mewarisi kesabaranmu. Aku percaya dia."

Maryati tersenyum. Ia senang juga dipuji suaminya. Ia khawatir suaminya marah karena Ratih pulang terlambat. Ucapan suaminya menenangkannya.

"Ratih itu kuat. Dia sudah teruji sebagaimana engkau, Maryati. Bukankah engkau kuat menungguku selama aku dalam penjara? Bukankah Ratih kuat menghadapi pandangan orang kepada dirinya; anak seorang lelaki yang malang nasibnya, enam bulan dalam penjara?"

"Makasih, Bang."

Perwira menyudahi makannya. Tampak sekali ia menikmati makan malam ini. Inilah lelaki yang dihormati dan dicintai Maryati. Lelaki yang di mata orang salah tapi dikagumi Maryati karena dia tahu, lelaki itu berkorban untuk istrinya, untuk anaknya. Jalannya saja yang salah. Tapi itu tidak bisa disesali. Perwira adalah pilihannya. Perwira adalah tempat perlindungan dia dan anaknya.

"Selesaikanlah makanmu. "

"Ya, Bang. Doakan anakmu."

"Kau ini selalu begitu. Aku ini selalu berdoa untukmu. Untuk anak kita. Jangan kau bilang anakku. Ratih itu anak kita berdua," kata Perwira. Ia tertawa kecil setiap kali mendengar istrinya mengatakan, 'doakan anakmu.

"Anak kita hanya dia, Bang."

"Ya, hanya dia yang Allah berikan untuk kita. Sudahlah. Nanti kau sulit tidur kalau memikirkan dia. Jangan-jangan Ratih malah sudah tidur "

"Dia bilang akan pulang. Semalam-malamnya."

"Ya, kalau dia pulang, pasti mengetuk pintu juga. Kau ini baru berpisah satu hari seperti demam sebulan," canda Perwira.

"Namanya juga seorang ibu, Bang."

"Aku tahu."

"Makanya, aku selalu khawatir."

"Ya, ya… Aku mengerti. Semoga Ratih baik-baik saja. Selalu ingat ibunya. Allah selalu melindungi-Nya."

"Amin, ya, Rab."

Perwira beranjak ke kamar tidur. Seperti biasa karena lelah bekerja seharian, tak perlu sepuluh menit sudah terdengar dengkurnya.

Maryati bersimpun-simpun. Ia beranjak ke pintu depan. Menyibak tirai kuning muda. Melalui kaca jendela, ia melihat siapa tahu di pintu pagar sudah ada buah hatinya.

Lama Maryati berdiri di situ. Tak jua terdengar suara olehnya derit pintu pagar. Ia pun melangkah ke kamar tidur. Merebahkan tubuhnya yang lelah di pasar sejak pagi hingga menjelang siang. Sepulang dari pasar, ia tak berhenti bekerja karena ia harus memasak dan sore menyetrika baju Ratih, meskipun Ratih selalu melarangnya.

Menyetrika baju Ratih adalah salah satu obat untuk menenangkan hatinya. Menyetrika baju Ratih bisa menjadi penebus kerinduannya.

Mata Maryati tak lelah meski raganya lelah. Matanya tak mau terpejam karena pikirannya tak bisa lepas dari buah hatinya. Perlahan-lahan Maryati bangkit dari ranjang. Ia tak ingin suaminya terbangun.

Sekali lagi dia menuju pintu. Menyibak tirai. Tak dilihatnya ada Ratih membuka pintu pagar. Maryati menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah. Bukan ke kamar tidurnya tapi ke meja setrika. Ia bingung. Tak ada baju Ratih yang harus disetrika. Ia membuka lemari pakaian Ratih. Pakaian itu ia angkat semua. Ia rapikan selembar demi selembar. Kadang, ia cium dan peluk baju itu. Ia sangat mengkhawatirkan Ratih yang belum juga tiba.

Perwira terbangun. Ia tak mendapatkan istrinya tidur di sampingnya. Ia mengendap-endap. Ia mencari tahu di mana istrinya.

Ia melihat istrinya merapikan lemari pakaian Ratih. Ia juga melihat Maryati yang kadang-kadang mencium baju anaknya. Maryati tak tahu jika Perwira mengawasinya. Maryati berdiri, Perwira segera pergi ke kamar tidur. Pura-pura mendengkur.

Saat istrinya terlelap, justru Perwira yang tak bisa memejamkan mata. Ia pun khawatir terhadap nasib Ratih yang belum juga tiba. Diliriknya jam meja. Pukul 23.47.

Perwira memandangi wajah Maryati. Iba hatinya melihat Maryati yang gundah gulana karena ingat anaknya. Perwira merebahkan tubuhnya. Ia berdoa agar anaknya sehat-sehat saja dan Allah selalu melindunginya.

Perwira pun mendengkur lagi. Ia sama sekali tak tahu bahwa sedari tadi, istrinya masih tetap terjaga meskipun matanya terpejam. Ia tak ingin suaminya ikut-ikut resah karena besok harus bekerja.

Maryati ingat ketika Ratih saat masih berusia empat tahun bermain-main di depan rumah. Ia terpeleset ke dalam parit. Ia megap-megap karena parit itu menenggelamkan tubuh Ratih hingga sebatas kepala.

Pak Mastur, tetangga depan, menyelamatkan Ratih. Ratih selamat namun tangisnya terdengar oleh Maryati yang sedang di dapur. Ia segera memeluk anak semata wayangnya. Ratih tetap menangis karena belum hilang takutnya. Maryati pun menangis hingga Pak Mastur kembali ke rumahnya. Sesudah Ratih tenang dan dia pun tenang, barulah Maryati pergi ke rumah Pak Mastur menyatakan terima kasihnya.

Sejak itu, Maryati berjanji kepada dirinya, akan melindungi Ratih, menjaganya, seberat apapun tantangannya.

"Kamu di mana, Nak? Cepatlah pulang," kata Maryati dalam hati.

Maryati terus berdoa. Berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar melindungi Ratih yang hingga hari berganti, pukul 01.10 belum juga tiba di rumahnya. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk:
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar