Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-15): Salim Rintang Halaban

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-15): Salim Rintang Halaban

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Rabu, 16 Oktober 2019

TIDAK ada yang lebih berkuasa daripada Yang Maha Kuasa. Tidak yang lebih menentukan daripada Yang Maha Menentukan. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Allah menyayangi Ratih dan Ipeth. Sepeda motor mereka keluar jalur saat Ratih gugup dan tak menyangka tiba-tiba sebuah mobil pikap datang dari depan dengan kecepatan tinggi pula.

Mobil itu sudah tak tampak dari pandangan mata. Ia tetap melaju karena tak merasa ada benturan apa-apa. Sopirnya pun tak tahu bahwa sepeda motor dan pengendara yang berpapasan dengannya keluar jalur.

Ratih sempat kehilangan kesadarannya beberapa detik saat setang sepeda motor lari ke kiri dan menerabas semak. Saat ia mendengar Ipeth berteriak ketakutan, ia mencoba mengendalikan setang itu. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, sepeda motor oleng dan terhenti karena beberapa anak pohon halaban dan sirih-sirihan menghentikannya.

Ratih dan Ipeth jatuh di sebelah kiri sepeda motor. Ipeth segera berdiri menolong Ratih. Dasar, Ratihnya malah cengengesan dan balas memeriksa tubuh Ipeth.

Ratih melompat ke arah sepeda motor dan menghentikan mesin sepeda motor itu. Berdua mereka mendorong sepeda motor itu kembali ke jalan raya.

"Kamu itu pintar tapi ceroboh," sungut Ipeth sambil merapikan baju dan membersihkan rumput yang masih melekat di tubuhnya.

"Banyak orang berhasil karena belajar dari kesalahan. Jadi, ambil hikmahnya saja."

"Bukannya meminta maaf, malah mencari dalih," kata Ipeth lagi tanpa bisa menutupi kekesalannya kepada Ratih yang sudah diingatkan jangan terlalu laju memacu sepeda motornya.

"Ya, ya. Aku minta maaf. Tapi kita juga harus bersyukur."

"Bah."

"Ya, dong. Coba seandainya saat aku gugup tadi, sepeda motornya lari ke kanan."

"Nauudzubillah."

"Bisa tinggal nama."

"Hiiiiii."

"Jadi, aku ini telah menyelamatkanmu sehingga kamu tidak mati muda. Masih bujangan. Perawan. Kasihan."

"Hussst."

"Benar, kan? Sini, cium tanganku!" Perintah Ratih seraya menyodorkan tangannya kepada Ipeth. Ipeth menepis tangan itu. Ratih meringis

"Sakit, oi."

"Sakit mana dibanding terjun ke jurang."

"Doanya jelek."

"Aku tidak mendoakanmu. Ini peringatan. Peringatan keras, tahu?"

"Allah masih menyayangi kita."

"Juga mengingatkan agar jangan ceroboh!"

"Hahahaha...."

Ipeth meninju bahu Ratih.

"Sakit, tahu?"

"Masa bodoh."

"Ini masa sulit. Sulit dapat jodoh."

"Jangan bercanda, ah. Kalau tidak tertahan semak dan anakan pohon halaban, entah bagaimana nasib kita," kata Ipeth yang masih trauma dengan peristiwa tadi.

"Iya ya. Jadi semak di pinggir jalan itu banyak manfaatnya. Aku jadi ingat sama ahlinya ahli, core of the core, Pak Akhyar Khay.”

"Siapa itu?"

"Dasar pelupa. Makanya IP-mu tidak pernah di atas tiga. Pak Akhyar itu yang ceramah soal lingkungan kemarin waktu kita berkemah di Pantai Panrita Lopi."

"Oh, ya, ya."

"Beliau mengingatkan kita agar tidak mudah membakar ilalang atau membabat semak lalu menanami semak itu dengan pohon asing akasia. Menghijaukan lahan dengan menanam anakan akasia adalah tindakan ceroboh. Untuk apa menanam pohon impor itu. Dia mematikan kehidupan. Hamparan tanah tidak perlu ditanami apa-apa. Biarkan dia ditumbuhi semak bahkan ilalang."

Ipeth mengingat-ingat ceramah Pak Akhyar. Sayangnya, tak banyak isi ceramah itu yang diingatnya. Ingatannya malah keindahan pantai, makan mi rebus, dan lagu-lagu indah saat malam terakhir.

Sebaliknya, Ratih membuka kembali kesadarannya akan ceramah Pak Akhyar. Andai tidak ada ilalang, rumput dan semak di pinggir jalan, mungkin tubuhnya penuh luka.

"Kau ingat, ‘kan, kata Pak Akhyar kita tidak perlu membasmi ilalang apalagi membakar atau menyemprot ilalang itu dengan pestisida. Biarkan saja karena akar ilalang itu akan menjadi pelindung biji-bijian yang ditabur oleh burung pergam, punai dan burung lainnya. Bijian itulah yang kemudian melahirkan anakan pohon-pohon itu. Anakan pohon itulah kelak yang akan menjadi pohon halaban, sirih-sirihan, atau ekor tikus, jenis-jenis beringin, kujajing dan puspa yang hidup harmoni dan saling memberi bersama semak paku-pakuan."

Ipeth pura-pura memerhatikan. Sesungguhnya pikirannya lebih tertuju pada Rudi Perdana. Petikan gitar RP telah menghipnotisnya. Kalau boleh jujur, diam-diam sebenarnya Ipeth jatuh hati kepada RP alias Riwayat Pintar. Karena itu, Ipeth juga tak nyaman rasa saat melihat RP mengiringi Ratih bernyanyi. Selain itu, ia juga khawatir merusak persahabatannya dengan Ratih. Mana tahu, diam-diam Ratih ada hubungan spesial dengan RP, pikirnya.

"Jadi, membasmi ilalang dengan semprotan pestisida, membakar ilalang, dan atau menanaminya dengan akasia adalah tindakan ceroboh, sia-sia dan menghamburkan uang saja, kata Pak Akhyar," ujar Ratih pada Ipeth.

"Kau dengar tidak apa yang kukatakan?" Ratih bertanya.

"Dengar. Aku mengerti."

"Seperti kau bilang tadi, kalau tidak ada ilalang, tidak ada rumput, tidak ada semak dan anakan pohon halaban, sirih-sirihan, habis tubuh kita luka-luka. Ya, ‘kan?"

"Ya. Sirih."

"Bah. Sirih saja yang kau ingat."

"Juga leban."

"Halaban. Bukan leban. Makanya kalau kamu nanti punya anak laki-laki, beri dia nama Salim Rintang Halaban."

"Hahahaha... Ngarut."

"Salim itu artinya selamat. Rintang artinya merintangi. Halaban, nama kayu yang berjasa menahan sepeda motor kita," kata Ratih seraya menjalankan sepeda motornya dan seakan menganggap bahwa Ipeth sudah duduk di belakang.

Ipeth membiarkan saja Ratih meninggalkannya. Ia tidak memanggil Ratih. Ia tahu, Ratih tak mungkin meninggalkannya di tepi jalan. Sendirian. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.

 

Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar