Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-16): Bah!

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-16): Bah!

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Tiada usaha yang sia-sia. Selalu ada jalan bagi yang berkemauan.
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Kamis, 17 Oktober 2019

HAJI Acok menyambut baik paparan Ratih tentang peluang bisnis pariwisata di Muara Badak. Paparan Ratih menguatkan yang selama ini dilakukannya dan sempat dicibir sebagai bermimpi di siang bolong.

Haji Acok, sejak tiga tahun lalu, membersihkan semak belukar di sebuah tanjung di kecamatan Muara Badak. Tanjung itu adalah daerah tidak berpenghuni karena teluk yang jauh cekung ke dalam. Karena tanjung itu di tepi laut, maka tanjung tersebut menyerupai pulau.

Untuk mencapainya melalui pantai desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, diperlukan waktu sekira 10 menit menggunakan perahu bermotor. Akan lebih baik menggunakan kapal daripada perahu bermotor. Teluk yang memisahkan tanjung terhubung dengan laut dan gelombangnya cukup besar bila laut bergelora.

Tanjung itu menyerupai pantai yang landai. Jika musim pasang, sebagian kawasan tanjung terendam air laut. Sisi dalam tanjung itu berhadapan dengan desa Tanjung Limau. Sebelah luar berhadapan dengan Selat Makassar.

Tanjung itu sekarang lebih dikenal sebagai pantai. Dalam tiga tahun terakhir, tanjung ini kerap dikunjungi wisatawan dari Samarinda dan Bontang. Jarak dari Samarinda hanya sekira 40 km. Sementara dari arah Bontang sekira 80 km.

Luas lahan di tanjung yang telah dibersihkan dan ditata Haji Acok sekira 5 hektare. Lahan itu ditanami pohon cemara pantai yang tumbuh dengan baik. Di Desa Tanjung Limau, ia menguasai lahan seluas 10 hektare. Oleh Haji Acok, sebagian lahan dijadikan tempat untuk bercocok tanam.

Lahan berpasir itu memang tandus, kering, dan miskin usur hara. Karena itu, tidak banyak warga yang mau membuka lahan tak bertuan tersebut untuk pertanian karena dianggap tidak produktif. Akan tetapi, anggapan tersebut tidak berlaku bagi Haji Acok, perantauan asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sebagai perantau, tidak ada pilihan lain. Ia harus bisa hidup di desa yang relatif masih terisolasi, sunyi, dan miskin infrastruktur.

Saat tiba dari Bulukumba, 20 tahun lalu, Tanjung Limau hanyalah sebuah desa sunyi. Bila malam hari, tak ada kehidupan karena tidak ada listrik. Jalan ke ibu kota kecamatan, Muara Badak, hanyalah jalan setapak yang kiri-kanannya semak. Saat itu, pasir pantai yang menghampar luas ini dibiarkan begitu saja. Tak ada yang berminat memanfaatkannya. Didorong kebutuhan hidup, Haji Acok mencoba memanfaatkan lahan ini. Ia pun menanaminya dengan tanaman pangan dan hortikultura.

Haji Acok tidak tahu dan tidak peduli kepada iklim pantai yang sangat panas. Begitu pula seringnya badai garam, unsur hara yang minim, dan pasir pantai yang terendam air garam selama jutaan tahun. Ia sudah terbiasa bekerja keras yang tidak membawa hasil. Baginya, pantai sunyi ini harus dimanfaatkan karena ia tidak perlu menyewa. Tanah ini tidak bertuan. Lahan pantai, di mata Haji Acok, mudah dan murah untuk diolah dan disiangi.

Alhamdulillah, meski tidak sesubur lahan di kaki pegunungan, lahan pantai ini berhasil ditanami dengan tanaman hortikultura, tanaman buah tahunan. Sebagian lagi, ditanami kelapa, pepohonan cemara laut, akar wangi, dan mangrove. Tanaman-tanaman itu bisa menahan angin yang kadang merusak kebun dan pondoknya.

Sekarang, setelah lebih 15 tahun, pantai tandus itu lebih asri. Pepohonan penahan angin laut yang membawa uap air mengandung garam sudah tumbuh, membesar, dan melindungi tanaman budi daya. Ekosistem baru di kawasan pantai yang semula tidak terpikirkan oleh Haji Acok telah terbentuk. Ekosistem baru itu melahirkan hewan penyubur lahan seperti kutu dan ulat serta aneka satwa lain seperti berbagai jenis burung.

Lahan pertanian di Desa Tanjung Limau ini telah menginspirasi warga sekitar. Seorang demi seorang mengikuti jejak Haji Acok. Sekarang, nyaris tak ada lagi lahan tak bertuan. Semua ada patok-patok tanah sebagai tanda ada yang menguasai lahan tersebut. Sebagian lahan di Desa Tanjung Limau telah mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat pesisir pantai yang umumnya nelayan.

"Tidak cukup kuat tenagaku bercocok tanam di lahan yang luas ini. Kalau ada jalan untuk usaha lain, tentu aku setuju. Tapi, aku tidak punya modal," kata Haji Acok kepada Ratih.

"Lahan ini adalah modal besar. Sekarang, sudah kita lihat banyaknya warga Samarinda yang datang ke desa ini untuk berlibur di pantai-pantai tanjung ini. Seperti Pantai Jingga, Mutiara, Panrita Lopi, dan Pantai Bahagia yang Pak Haji kuasai," kata Ratih.

Pantai Bahagia adalah nama yang diberikan Haji Acok untuk lahan yang dikuasainya di tanjung itu. Pantai Bahagia adalah salah satu nama pantai yang sekarang sudah jadi tempat wisata dan dikelola perorangan.

"Kita juga sudah lihat banyak warga luar yang mengisi hari libur dengan memancing di perairan sini. Ini peluang. Masih banyak daya tarik wisata yang bisa dikembangkan," sambung Ratih lagi.

Yustinus Sapto Hardjanto, sahabat Haji Acok yang hadir di pertemuan itu, menguatkan paparan Ratih. Menurut Yustinus, selain memancing, kegiatan wisata yang bisa dikembangkan adalah wisata bahari. Sebagai contoh,  susur teluk dan laut dengan perahu layar, susur sungai, bahkan susur sumur gas tertua. Usul Yustinus mengenai susur sumur gas tertua mencengangkan Haji Acok, Ratih, juga Ipeth. Usul itu rada aneh. Adakah sumur gas tua itu? Kalau pun ada, di mana daya tariknya?

Yustinus tersenyum melihat perubahan wajah ketiga orang itu. Yustinus tahu bahwa usul susur sumur gas tua itu mungkin dianggap sebagai usulan aneh bin lucu. Ia juga tak berkehendak menjelaskan latar belakang usulnya. Yustinus selalu seperti itu. Ia sering punya pikiran berbeda. Mungkin karena latar pendidikannya di Sekolah Tinggi Filsafat.

"Saya pikir, kalau ada sentra kuliner laut di pinggir pantai dengan ikan segar, kepiting dan udang, tentu lebih keren. Kalau mau eksklusif, bisa ada boat housing dengan kapal dari kayu akan menjadi lebih unik dan menarik karena berbeda dengan daya tarik wisata daerah lain," kata Yustinus lagi.

Haji Acok mengerutkan keningnya saat Yustinus mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Sebenarnya ia ingin bertanya namun ia urungkan. Ia sungkan.

"Yang tidak kalah menarik adalah penjelasan Pak Muchlis Efendi saat saya belajar menyelam dulu. Menurut Pak Muchlis, di perairan Muara Badak ini terdapat spot-spot untuk snorkeling dan diving. Ada 12 spot terumbu karang di kawasan ini. Ini juga menjadi magnet Muara Badak, bukan hanya warga Bontang dan Samarinda, tapi wisatawan seluruh Indonesia dan tak mustahil mancanegara," jelas Ratih.

Ratih pun akhirnya bersepakat dengan Pak Haji Acok mengembangkan kawasan ini. Haji Acok mempercayakan Ratih untuk merencanakan, menjajaki kerja sama dengan pihak luar, dan membicarakan bagi hasil usaha. Haji Acok berterima kasih kepada Ratih dan berharap rencana besar ini dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan memberikan lapangan usaha kepada warga sekitar. Haji Acok juga menyanggupi merapikan lahan terbuka yang selama ini sering dijadikan lahan parkir bagi para pemancing dan pelancong ke Pantai Bahagia.

"Untuk tahap awal, kita perlu tenaga banyak. Lahan parkir itu tolong diperluas kalau bisa seukuran lapangan sepakbola. Lalu, di arah jalan masuk, bisakah dibuat pintu gerbang dari bahan bambu dan di kiri kanan ada pilar besar untuk menopang perahu pinisi di atasnya?" Ratih bertanya kepada Haji Acok seraya menyerahkan gambar kasar hasil coretannya.

Haji Acok terkejut oleh gambar itu. Meskipun bukan foto, namun gambar itu sangat menarik dan indah.

"Kalau ini, bisa aku kerjakan. Banyak anggota yang bisa kumintai bantuan. Bambu banyak di sini," jawab Haji Acok bersemangat.

Menjelang siang, Ratih dan Ipeth pamit pulang ke Samarinda. Ia berterima kasih telah diberi tumpangan tidur tadi malam.

Ratih memacu motornya. Ipeth mengingatkan lagi akan kejadian kemarin. Ratih pun akhirnya mengurangi kecepatan. Padahal, ia ingin sekali segera tiba di rumah. Ia khawatir ayah dan ibunya ke kantor polisi lalu melaporkan anak mereka hilang. Anak itu, Ratih namanya.

Ratih juga sudah kangen kampus. Kangen kepada kawan-kawannya. Sudah dua hari ia tak ke kampus. Sabtu dan Minggu. Ratih ingin mendengarkan kabar, cerita, dan canda kawan-kawannya. Batin Ratih pun dipenuhi pertanyaan macam-macam.

"Burhan Magenta apa kabarnya? Oalah, mengapa aku jadi teringat Burhan Magenta, ya? Jangan-jangan dia justru menghabiskan akhir pekannya dengan Anita. Makan, nonton, mancing bersama? Bah!" (*)

Serial selanjutnya, ketuk
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar