Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-18): Kamu Ratih, Kan?

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-18): Kamu Ratih, Kan?

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Kerja keras kerap membuahkan hasil. Apalagi ditambah kerja cerdas dan ikhlas.
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini). 

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Sabtu, 19 Oktober 2019

WAKTU terus berputar. Ratih sudah memasuki semester enam. Itu artinya, jika pada semester ini tak ada halangan berarti maka ia akan menamatkan kuliahnya. Ia berhak diwisuda karena telah lulus diploma 3 dari program studi manajemen pengembangan destinasi pariwisata.

Beriringan dengan waktu yang beredar, aktivitas Ratih tak juga surut. Jika ada sela waktu, ia menyempatkan meninjau pengembangan destinasi wisata Pantai Bahagia.

Pintu gerbang megah dengan kapal pinisi yang bertengger di dua pilar dari bambu telah menjadi buah bibir. Banyak yang bertanya-tanya, sesungguhnya lapangan parkir ini mau dibangun apa. Tidak mungkin sekadar tempat parkir para wisatawan yang semakin hari semakin meningkat. Para turis itu di Pantai Bahagia yang akan memancing, snorkeling, dan diving.

Haji Acok tak henti-hentinya memuji kemampuan Ratih dalam mengembangkan usaha pariwisata miliknya. Tempat parkir itu senantiasa mengalirkan duit yang sama sekali tidak diduga Haji Acok sebelumnya. Bahkan, ketika tarif parkir mobil dinaikkan dari Rp 5 ribu menjadi Rp 10 ribu dengan durasi maksimal satu hari penuh, tak yang protes apalagi keberatan. Tarif sepeda motor pun sudah naik dari Rp 2 ribu menjadi Rp 5 ribu. Jika ada pengguna parkir bermalam, tarif itu tinggal dikali dua.

Mungkin karena pengguna parkir merasa aman dan nyaman. Aman, karena parkir luas dan indah itu dilengkapi berbagai fasilitas. Ada warung makan dengan bangunan khas. Bangunan warung itu bukan bergaya Bugis, sebagaimana perahu pinisi di gapura depan, melainkan gaya Melayu. Bangunan itu sekitar 30 meter dari tepi Pantai Teluk Pangempang. Di samping warung dibangun pelataran yang luas dan berdempet dengan jalan dan jembatan menuju dermaga.

Di atas pelataran atau beranda samping yang luas itu terdapat meja-meja dan kursi. Semuanya berwarna putih. Lantai yang terbuat dari kayu ulin dicat dengan warna oranye. Sangat kontras. Di tengah-tengah meja berdiri tiang kukuh yang menopang payung-payung putih dengan kualitas bahan baik. Payung itu tidak mudah robek diterpa angin. Banyak wisatawan yang mengisi perutnya di sini sebelum berlibur ke Pantai Bahagia, memancing, snorkeling, dan diving.

Selain warung makan yang resik berkeliling taman indah di sisi darat, ada pelataran yang luas di sisi laut. Tempat parkir ini menyediakan musala dan toilet. Cita rasa Ratih luar biasa. Toilet enam buah, tiga untuk pria dan tiga untuk wanita. Toilet itu sangat bersih dengan closed jongkok. Ada pula kamar mandi. Jumlahnya enam buah. Bangunan untuk kamar mandi di bagian belakang toilet.

Mungkin sulit mendapatkan tempat parkir dengan fasilitas semegah ini di tempat wisata yang lain. Ratih sengaja membuat toilet seperti di hotel berbintang. Haji Acok semula sempat bertanya, mengapa toilet dan kamar mandi harus dibangun seperti itu.

"Toiletku di rumah saja tidak sebagus ini," kata Haji Acok.

"Itulah yang mau kita sajikan kepada pengunjung. Biarkan mata mereka terbelalak dan mulutnya berdecak kagum. Kekaguman mereka itu akan diceritakan kepada orang lain. Itulah sebaik-baiknya promosi," kata Ratih menjelaskan.

Haji Acok tak bisa membantah keputusan Ratih. Apa yang dilakukan Ratih telah berhasil meningkatkan pendapatan berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. Semua biaya pembangunan warung makan, musala, toilet, dan kamar mandi, berasal dari pendapatan parkir, jasa masuk Pantai Bahagia, transportasi perahu motor pulang pergi bagi pengunjung, dan keuntungan warung makan.

Ratih pun mendapat imbalan Rp 3 juta per bulan. Imbalan itu dua kali lipat dari upahnya sebagai pekerja di warung makan Haji Nanang Kaya. Padahal, Ratih tidak setiap hari ke Muara Badak. Hanya Sabtu-Minggu dan hari libur nasional atau tanggal merah. Ratih tidak menolak imbalan yang diberikan Haji Acok. Dia juga tahu rata-rata pendapatan usaha ini. Haji Acok selalu terbuka dan melaporkan pendapatan, biaya operasional, dan biaya pembangunan. Pengelolaan keuangan, meski bukan menjadi wewenang Ratih, ia selalu mengingatkan Haji Acok. Belanja pendapatan tidak untuk barang-barang konsumtif terutama keperluan pribadi.

"Kita masih memerlukan banyak biaya untuk kepentingan pengembangan usaha ini, Pak Haji. Ini adalah saatnya kita menanam. Belum memanen," ingat Ratih.

Ratih hanya sedih, sahabatnya Ipeth, tidak sempat menyaksikan usaha ini. Padahal, saat usaha ini dirintis, Ipeth turut serta. Ipeth tidak melanjutkan kuliahnya karena keburu dipinang seorang pemuda dari Sangatta. Ipeth menerimanya.

Seingat Ratih, sudah setahun ia berpisah dengan Ipeth. Sahabatnya itu ia dengar pindah ke Sangatta turut suaminya yang bekerja di perusahaan batu bara. Ratih juga sudah jarang ke kampus karena di semester akhir ini tersisa empat mata kuliah. Keempatnya hanya menyita hari Selasa dan Rabu.

Ia juga sering tidak bisa hadir bila ada ajakan "ngumpul-ngumpul" bersama sahabatnya. Ia lebih memilih ke Muara Badak daripada menghadiri acara yang tidak bisa menjadi jalan keluar bagi persoalan keluarga dan masa depannya. Bukan karena ia tidak rindu pada teman-temannya, apalagi kepada sahabat kental seperti Iyan Banjar, Rahman, Ulis Harat, Murni Murai, Rudi Perdana, Anita, dan Burhan Magenta. Ratih sangat rindu untuk 'ngobrol bersama' seperti masa-masa semester satu hingga semester tiga.

"Mereka itu tidak tahu perasaanku. Mereka tidak tahu jika aku tak nyaman hati setiap kali melihat Anita selalu duduk tak jauh dari Burhan Magenta. Mereka tidak tahu, termasuk Anita dan Burhan Magenta," bisik batin Ratih.

Jadi, kalaupun waktu kosong ia tak sempat ke Muara Badak, Ratih lebih memilih mengisi waktunya bepergian ke tempat-tempat yang menarik perhatiannya. Ia pergi ke taman-taman kota sendirian. Melihat taman-taman cantik di kompleks perumahan. Pergi ke toko penyedia bahan bangunan. Ke toko keramik, toko bunga, dan pusat perbelanjaan. Tapi bukan ke gerai-gerai busana. Ia selalu masuk teman-teman besar penyedia kebutuhan rumah dan pertamanan.

Seperti hari ini, ia pergi sendiri ke sebuah pusat penyedia keperluan bangunan di lantai dua dan tiga pusat perbelanjaan. Samarinda Square namanya. Lebih dua jam ia berputar-putar di sini. Mulai dari area penyedia outdoor hingga indoor.

Ratih meminta maaf kepada customer service karena hanya bertanya dan mencatat harga-harganya.

"Tidak ada masalah. Santai saja. Ini memang tugas kami," kata customer service itu.

Saat ia membalikkan tubuh untuk keluar dari pusat penyedia keperluan rumah itu, ia terhalang sesosok tubuh. Ia tahu, itu tubuh lelaki. Ratih pun menengadahkan wajahnya dengan perasaan tak nyaman karena merasa dirintangi. Namun, jantungnya berdegup kencang, karena lelaki gagah itu sangat dikenalinya. Baju lelaki itu pernah basah oleh air putih yang tumpah dari meja karena tersenggol Ratih saat bekerja di Warung Haji Nanang Kaya.

"Aku tidak salah lihat. Dari tadi aku mengawasimu. Kamu Ratih, kan?" (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim. 
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar