Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-39): Tamat

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-39): Tamat

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Akhir dari semuanya. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini). 

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Sabtu, 09 November 2019

SORE ini adalah sore yang tidak biasa. Ratih tampil dengan peg leg pants. Biasanya, dia selalu menggunakan celana bahan atau celana jeans. Celana high-waist yang memiliki panjang ⅞ dengan model pensil hari ini telah membuatnya tampil beda. Apalagi, celana tersebut memiliki hiasan pita yang diikat ke pinggangnya yang ramping. Ia tampil lebih keren dari hari-hari sebelumnya.

Ratih duduk di samping Yusuf Kertanegara. Sebagaimana kebiasaannya, anak pengusaha perhotelan berjaringan ini selalu tampil dengan pakaian kasual. Ia tak suka pakaian resmi kecuali memang pada acara yang mengharuskan dia menggunakan dress code seperti itu.

Yusuf memang lebih senang dengan gaya kasual karena terasa lebih santai, nyaman, dan tidak terlalu ribet. Ia senang simpel dengan warna-warna gelap ala Shawn Mendes.

Dalam berbagai kesempatan, Yusuf memang lebih sering mengusung gaya kasual pria yang sederhana. Mungkin karena usianya yang masih muda, gaya ini membuat ia nyaman saat beraktivitas.

Satu hal yang konsisten dari tampilan kasual Yusuf adalah outfit berwarna gelap yang berkesan macho dan modis. Kaus polosnya seringkali dilengkapi jaket kulit atau cardigan. Untuk bawahan, Yusuf selalu setia dengan jeans warna hitam dan sneakers.

Sore ini juga menjadi sore yang tidak biasa bagi Yusuf. Mobil yang dikendarainya pun sudah berbeda. Tidak lagi Avanza. Hari ini ia mengendarai Honda CR-V Turbo. Sesungguhnya inilah kendaraan yang selalu digunakan Yusuf. Namun, karena tidak ingin dikesankan sebagai orang kaya di hadapan Ratih, ia selalu menggunakan Avanza. Itu dulu, saat gadis di sampingnya ini belum dilamar untuk menjadi pendamping hidupnya.

Sore ini, tujuan mereka adalah meneruskan pengedaran undangan resepsi pernikahan yang harus mereka antar sendiri. Kemarin lusa mereka sudah mengedarkan undangan itu kepada keluarga dan sahabat ayah dan ibunya. Kemarin mereka sudah ke Muara Badak untuk menyampaikan undangan kepada Haji Acok dan keluarga serta karyawan.

Sebagian kawan Ratih yang di luar kota sudah dikirimi undangan via WhatsApp. Smartphone Ratih sudah online seminggu ini. Meskipun resepsi pernikahan masih sepuluh hari lagi, telepon di tangannya selalu bergetar. Sebagian besar berisi ucapan selamat.

Mereka sudah tiba di depan warung makan Haji Nanang Kaya. Sedikit pun tiada disadari oleh Haji Nanang Kaya bahwa yang masuk ke warungnya itu adalah Ratih, mantan pekerjanya, dan Yusuf, pelanggan setianya dulu. Haji Nanang Kaya malah bingung saat kedua pengunjung warungnya ini tidak mencari tempat duduk tetapi justru menyalaminya.

"Masya Allah. Ma, ... Ratih, Ma," seru Nanang Kaya pada istrinya yang masih setia di kursinya di belakang meja kasir. Ratih dan Yusuf mencium kedua tangan Haji Nanang Kaya dan istrinya sebagai bentuk hormat mereka.

Mereka kemudian duduk berhadap-hadapan. Ratih dan Yusuf menyampaikan undangan resepsi pernikahan mereka. Mereka juga berterima kasih kepada Haji Nanang Kaya karena warung ini adalah awal mula bertemunya calon pengantin ini.

"Saya yang harus berterima kasih dan meminta maaf. Terutama kepada Ratih. Saya masih ingat peristiwa itu," kata Haji Nanang Kaya mengenang masa lalu saat ia memberhentikan Ratih bekerja di warungnya. Ratih waktu itu lalai sehingga air minum --meskipun hanya air putih-- telah mengotori baju pelanggan yang sekarang justru menjadi calon suami Ratih.

"Pantas saja Yusuf dulu sering makan ke sini. Ada yang diincarnya," ujar Haji Nanang Kaya bercanda.

"Dia pernah tanya alamat Ratih setelah kejadian itu," timpal istri Nanang Kaya. Mereka pun tertawa-tawa. Apalagi Yusuf secara berterus-terang mengatakan bahwa untuk mengejar Ratih, dia terpaksa jadi 'intel' dan membuntuti Ratih hingga ke rumahnya.

"Terima kasih sekali lagi, Pak Haji. Warung ini bersejarah bagi kami berdua. Makanya, kami harus mengundang pak haji dan istri," kata Yusuf yang tak lama kemudian pamit karena masih ada undangan yang akan dibagikan.

***

Sebenarnya, keluarga Yusuf Kertanegara menawarkan acara resepsi pernikahan itu di ballroom hotel mereka. Namun, ditolak oleh keluarga Perwira, ayah Ratih.

"Hampir semua warga Loa Bakung, terutama yang sudah lama bermukim di sini, mengenal kami. Mereka sudah seperti keluarga sejak orang tua kami pindah di sini saat perjuangan dulu. Biarlah acara itu dilaksanakan di sini. Beberapa sesepuh di sini juga sudah menyarankan hal itu. Alasannya, mereka tidak biasa menghadiri undangan di hotel."

Keluarga Yusuf dan Yusuf sendiri menyetujui hal itu. Ia bahkan menyarankan agar seni tradisi di kampung ini ditampilkan untuk menyambut tamu datang. Yusuf juga meminta agar warga pesantren, baik santri maupun ustaz dan ustazah diundang semua.

Demikianlah resepsi itu berlangsung dengan kemeriahan yang berkesan. Lima kelompok hadrah tak henti-hentinya beratraksi. Pandangan yang tidak biasa ini sangat menarik perhatian undangan. Apalagi lagu-lagu yang dinyanyikan disertai gerakan-gerakan memikat dengan kibaran bendera warna-warni di tangan.

Sebagian besar warga kampung Loa Bakung --meskipun bukan orang Banjar-- mengerti arti syair Madihin yang dibawakan Iyan Banjar. Rupanya, Iyan Banjar selama pulang ke kampung halamannya di Kandangan, telah belajar dan sering tampil di berbagai acara. Karena itu, khusus untuk tampil di acara resepsi Ratih, ia mempersiapkan diri nyaris tujuh hari tujuh malam. Ia ingin tampil habis-habisan.

Selain untuk menghibur kawan-kawannya juga dalam rangka 'memasarkan' dirinya sebagai pemadihin profesional setelah meninggalnya almarhum Jhon Tralala.

John Tralala, yang bernama asli Yusran Effendi, yang lahir di Lampihong, 13 Juni 1959, adalah pelawak; budayawan, dan seniman Madihin terkenal dari Kalimantan Selatan. Ia meninggal di Banjarmasin, 26 Juni 2018, pada umur 59 tahun. Popularitasnya tidak hanya diakui di daerah asalnya Banjarmasin, tetapi sampai ke tanah Jawa, bahkan sampai ke luar negeri.

Iyan Banjar tahu bahwa seniman Banjar itu telah digantikan oleh putranya. Meski demikian, Iyan Banjar juga ingin dikenal sebagai seniman madihin. Usahanya itu membuahkan hasil. Ia sering diminta mengisi acara dan tentu saja dapat honor. Ia sering menerima 200-500 ribu rupiah sekali tampil. Kadang, penghasilannya sebulan bisa sama dengan honornya sebagai pegawai honor di dinas pariwisata kabupaten tempatnya bekerja.

Iyan Banjar belum mampu membuat syair Madihin sendiri. Maka iapun menghapal syair Madihin karya Jhon Tralala yang diubahnya beberapa kata agar cocok dengan suasana.

Salamat bertemu salamat barjumpa
Ulun ucapkan kepada ibu bapa
Para penggemar di mana saja berada
Baik nang dari kota Samarinda
Atau nang dari luar kota
Ulun datang tidak bisa liwat udara
Untuk mengajak ibu lawan bapa
Untuk mengibur sarta bergembira
Madihin Kocak bersama Iyan Banjar ngarannya
 
Sabalum ulun handak manarusakan
Madihin Kocak nang ulun bawa'akan
Mambawa kasanian Kalimantan Selatan
Supaya terhibur kita barataan
Di sini ulun batitip pasan
Lawan panggamar katuju mandangarakan
Lamun tatawa jangan banyanyaringan
Karna di rumah orang sakit bagaringan
Manurut dokter ilmu kasihatan
Tatawa itu memang dianjurakan
Tapi jangan sampai tatawa katarusan
Kaina salah paham dikira lupa ingatan
 
Kali ini ulun handak mambawa
Madihin Kocak nang ulun bari nama
Mudahan pang pian tahibur barsama
Sebuah kisah dua anak manusia
Nang sadang asik ini dimabuk cinta
Mimang cinta mulai dahulu sudah ada
Kapada makhluk nang sadang banyawa
Yang saikung Yusuf matan Jakarta
Jatuh cinta wan Ratih matan Samarinda
Manyuruhku bamadihin menghibur semuanya
Ingati honorku jangan kurang dari 2 juta
 
Iyan Banjar tampil memukau. Apalagi setelah itu syairnya lucu-lucu, membuat penonton tergelak-gelak bahkan ada yang sampai mengeluarkan air mata.

Resepsi itu sangat berkesan. Semua tamu diberi cendera mata oleh keluarga pengantin yang berbahagia dalam hal ini disediakan Yusuf setelah berembug dengan Ratih tentunya. Cendera mata itu adalah kacang atom, amplang, dan sarung Samarinda.

Ihwal mengapa ada kacang atom sebagai cendera mata, itu adalah usul Ratih untuk mengingat masa-masa kuliahnya. Rahman yang datang dengan istrinya (Rahman ternyata sudah menikah dengan gadis sekampungnya dan tidak mengundang temannya karena menikahnya di KUA setelah itu syukuran mengundang keluarganya saja karena keterbatasan biaya).

Rahman lagi-lagi dielu-elukan saat tamu sudah pulang. Tapi sahabat kental Ratih masih bertahan. Mereka terpingkal-pingkal saat tahu bahwa dalam tas kertas itu ada cendera mata kacang atom.

Khusus, untuk sahabat Ratih dari luar kota, rupanya Ratih sudah mewanti-wanti agar jangan tidak datang karena uang transpor pergi-pulang sudah ia siapkan. Kedermawanan Ratih dan Yusuf dipuji para undangan, lebih-lebih sahabatnya.

Yusuf Kertanegara adalah anak pengusaha sukses di bidang perhotelan. Hotelnya tersebar di beberapa kota, antara lain di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Samarinda. Yusuf telah lima tahun ini --setelah meraih sarjana perhotelan di Jakarta dan pendidikan singkat satu tahun bidang manejemen perhotelan di Singapura-- ditugaskan ayahnya untuk mengurusi usaha keluarga ini.

Satu hal yang menarik pada resepsi ini adalah hidangan soto ayam Banjar Haji Nanang Kaya. Soto ayam itu tiada tersisa. Tidak sedikit pujian diberikan undangan kepada Haji Nanang Kaya yang secara khusus mengawal para karyawannya melayani para undangan. Yusuf membayar setiap porsi itu dua kali harga di warung Haji Nanang Kaya.

Yang menggelikan, saat tamu sudah pulang dan tinggal sahabat kental dan keluarga kedua mempelai, tiba-tiba Iyan Banjar menuju tenda khusus stan soto ayam. Sudah dua mangkuk disantapnya usai tampil bermadihin. Rupanya belum puas.

"Tinggal sambalnya," kata Haji Nanang Kaya kepada Iyan Banjar. Kawan-kawannya mendengar jawaban Pak Haji itu. Mereka tertawa saat melihat wajah Iyan Banjar seperti pinang dibelah tiga dengan kapak tumpul.

***

Bulan di atas langit Pangempang memasuki malam keempat belas. Purnama sempurna yang tak terlindung awan. Ratih dan Yusuf memilih berbulan madu di sini. Di depan beranda pondok wisata.

"Pondok ini terlalu sederhana. Aku ingin Abang membangun yang lebih istimewa agar yang menginap berbahagia seperti kita. Namanya juga, ‘kan, Pantai Bahagia," kata Ratih seraya memandang bulan. Ia menyandarkan tubuhnya di dada Yusuf.

"Ini bukan saat yang baik membicarakan usaha. Ayo kita masuk. Udara di luar terlalu dingin. Matikan teleponmu," jawab Yusuf.

Smartphone Ratih offline. Ratih sudah biasa tanpanya. Banyak sekali pesan masuk. Tak bakalan dijawabnya. Malam ini, hingga enam malam ke depan. (tamat)

Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar