Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-4): Mana Pahlawan Itu?

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-4): Mana Pahlawan Itu?

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Segala cobaan datang silih berganti. Manusia yang tabah pastilah bisa melewatinya. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Minggu, 06 Oktober 2019

ITA, sebenarnya namanya Anita, tak tega membiarkan Ratih larut dalam kegalauan. Ia tahu Ratih dalam posisi yang tidak nyaman.

"Kita tidak bisa menyesali dan larut atas suatu peristiwa yang terjadi. Itu takdir, Ratih."

Ita mencoba menguatkan Ratih agar keluar dari persoalannya dan berpikir untuk mencari jalan lain. Ratih beruntung masih punya sahabat yang selalu menguatkan di saat posisinya lemah tak berdaya. Ia belum sepenuhnya bisa melupakan peristiwa pemberhentiannya dari pekerjaan oleh Pak Nanang Kaya. Namun karena sahabat yang mendampinginya di saat seperti inilah yang sedikit bisa mengalihkan perhatiannya.

"Aku tak ingin menjadi beban. Aku merasa sudah dewasa. Inilah saatnya aku membantu orangtua. Aku mungkin masih bisa bertahan sampai akhir semester ini. Bila aku tidak dapat pekerjaan sore hingga malam seperti dulu, mungkin aku harus berhenti kuliah."

"Jangan buru-buru."

"Setidaknya cuti. Aku akan cari kerja pagi. Sepertinya, lebih terbuka kesempatannya."

"Masih ada waktu. Kalau Allah berkehendak, bisa saja besok sudah ada gantinya. Bisa lebih baik."

"Ya, bisa begitu. Bisa juga lebih buruk, meskipun bukan itu yang diharapkan."

"Kamu itu pemberani. Kamu itu kuat. Kamu itu sabar. Jadi, jangan cepat-cepat mengambil keputusan berhenti atau cuti."

Ratih tak mau berdebat dengan sahabatnya. Ia mengangguk pelan. Matanya menyapu bibir tepian Sungai Mahakam yang mulai redup ditelan senja.

Sepulang kuliah tadi, Ita mengajaknya untuk duduk-duduk di tepian Mahakam. Persis di depan Masjid Islamic Center. Di bawah pohon-pohon angsana berdaun rindang itu, tersedia bangku-bangku taman. Di situlah mereka menikmati sore menjelang senja.

"Kamu juga pemberani."

"Aku berani apa? Berani teriak-teriak diajak demo dulu itu? Itu kulakukan hanya untuk tes kemampuan vokalku dan kepercayaan diri."

"Aku tak sanggup melakukan itu. Aku tak punya keberanian seperti kamu. Waktu demo bulan lalu, kamu malah jadi bintang. Pusat perhatian. Gadis secantik kamu berdiri di atas pagar. Berorasi. Kamu lebih dari calon anggota DPR yang belepotan bila berhadapan dengan banyak orang."

"Hahahaha... Kamu tidak tahu yang sebenarnya."

"Lah, aku nonton saat kau berorasi seperti calon presiden. Suaramu lantang. Kalimat-kalimatnya tegas. Kata-katanya pilihan. Bahkan, kutipan kalimat bahasa Inggrisnya itu fasih kau ucapkan."

"Kamu tidak tahu, kataku. Itu prosesnya panjang. Latihannya melelahkan. Aku dibentak-bentak Kak Hamdani, pelatih teater kampus. Dibilangnya suaraku cempreng. Mimik dan gesturku tak sesuai dengan isi kalimat. Tahu tidak, aku latihan vokal itu hampir sebulan. Setiap hari, kecuali Jumat."

"Oh ya?"

"Napasku sengal-sengal. Seperti orang habis berlari maraton. Putus-putus. Kak Hamdani bilang, aku tak pantas jadi orator. Hanya karena Kak Arafat memilih dan memaksaku untuk orasi saat demo nanti, maka aku berlatih keras."

"Tapi kamu sangat pantas. Kalimat-kalimatnya berisi."

"Itu bukan spontan. Kalimat-kalimat itu sudah disiapkan. Teks itu kuhapalkan seperti menghapal naskah drama."

"Oh, begitu. Pantas."

"Andai bukan karena Kak Arafat, aku tak mau melakukannya "

"Ya, sih. Aku tahu itu. Kamu ‘kan takut kehilangan dia."

"Hahahaha"

"Cinta itu memang energi."

"Hahahaha."

"Energinya memang luar biasa. Aku iri."

"Aku tidak tahu juga. Kok, aku bisa jatuh cinta sama anak Handil itu, ya?"

"Hahaha... Kalau cinta sudah jatuh, ta*k kucing rasa coklat."

"Seratus!"

Ratih masih tertawa. Sebaliknya Ita tiba-tiba terdiam. Obrolan itu menyeretnya ke masa silam. Arafat yang dicintainya setengah hidup setengah mati tak memilih dia. Arafat memilih Lastri, anak Muara Muntai yang pendiam namun anggun. Di mata Arafat, Ita tak lebih dari anggota teater yang pantas untuk berorasi menuntut penutupan lubang galian bekas tambang.

"Hei...," seru Ratih kepada Ita yang dilihatnya termenung. Padahal, baru saja tertawa-tawa oleh ceritanya sendiri.

"Masa lalu!"

"Ya, dan kau sudah melewatinya dengan baik."

"Alhamdulillah. Kau juga harus bisa melewati masa sekarang. Sekarang, lupakan Pak Nanang Kaya."

"Masalahnya, berhubungan dengan kuliah. Itu berat."

"Saat ayahmu bermasalah, kau tampil jadi pahlawan. Mana pahlawan itu?"

Giliran Ratih kembali termangu. Ia ingat penderitaan lahir batin dirinya, ibunya, saat ayahnya terlilit perkara penyelewengan uang kantor. Ayahnya terpaksa mendekam dalam penjara selama enam bulan. Padahal, saat itu, ia masih kelas 3 SMA. Enam bulan lagi ujian nasional.

Pada situasi itulah, kabar buruk datang bertubi-tubi. Kekhawatiran ibunya terbukti. Dokter memvonis ibunya mengidap kanker payudara. Gejala penyakit ini memang sudah dirasakan ibunya berupa benjolan yang tidak nyeri di payudara. Benjolan itu mula-mula kecil. Semakin lama semakin besar, lalu melekat di kulit atau menimbulkan perubahan kulit payudara atau di puting susu.

Atas gejala itu, ayah dan ibunya sepakat memeriksakan ke dokter. Terutama saat ibunya melihat ada perubahan kulit puting susu tertarik ke dalam. Berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan dan mulai menimbulkan rasa sakit.

Ibunya kemudian menjalani pengobatan. Inilah awal mula penderitaan. Pengobatan itu berakibat pada pembiayaan yang tidak sedikit.

Perwira telah bersumpah mendampingi istrinya dalam suka dan duka. Keindahan masa-masa awal pernikahan telah ia jalani bersama Maryati. Kebahagiaan itu kemudian berubah menjadi kegalauan. Sudah empat tahun mereka menikah, belum juga diberi momongan. Perwira tetap merawat cintanya sebagaimana Maryati tampil sebagai sosok istri yang sangat setia kepada suaminya. Meskipun, hati Maryati kadang diliputi perasaan khawatir karena belum pernah hamil.

Maryati takut, suaminya yang dicintainya, yang dibanggakannya, tempatnya berlindung, berubah cintanya karena menikahi wanita yang tak bisa memberikan buah hati. Perwira tak pernah berpikir sebagaimana pikiran Maryati. Cintanya bagai ombak pantai selatan yang tak pernah henti. Cintanya bagai angin pegunungan yang selalu menyejukkan hati.

Pada tahun kelima pernikahan, Maryati hamil. Betapa bahagia Maryati. Perwira apalagi. Setiap hari, Perwira merasa sore terlalu lama tiba. Ia ingin segera pulang dan mengusap-usap perut Maryati. Ia tahu, di balik perut itu ada buah hatinya yang akan menghiasi kehidupan mereka. Buah hati yang ditunggu itupun lahir ke dunia. Bayi perempuan mungil itu kemudian diberi nama Ratih.

Ratih sudah dewasa. Sudah duduk di kelas 3 SMA. Saat itulah kebahagiaan mereka mulai terusik karena Maryati sakit. Kanker payudara telah divoniskan kepada wanita yang amat dicintai suaminya, pun dicintai Ratih sepenuh jiwa.

Apakah lagi yang harus dilakukan untuk mengenyahkan penderitaan itu kalau bukan ikhtiar?

Perwira telah menjual perhiasan Maryati walau dengan berat hati. Maryati tulus. Ia kuat menahan sakit tapi tak kuat melihat suaminya dan anaknya menderita. Perhiasan yang sedikit itu tak cukup. Pinjaman di kantor pun tak cukup. Kantor juga tidak menanggung semua pembiayaan kepada istri dan anak karyawan. Apalagi karyawan rendahan seperti Perwira.

Gelap mata menimpa Perwira. Uang setoran dari pelanggan ia ambil untuk pengobatan istrinya. Untuk menutupi perbuatannya, ia menunggu cicilan dari pelanggan yang lain. Perusahaan tempat Perwira bekerja belum tahu penyimpangan yang dilakukan Perwira. Penyimpangan baru diketahui setelah ada audit internal dari kantor pusat Jakarta. Perwira tidak mampu mempertanggungjawabkan 4 juta 8 ratus ribu rupiah.

Perwira meminta maaf dan menyatakan bersedia gajinya dipotong separuh setiap bulan. Perusahaan berbaik hati, masih mau menerima Perwira bekerja asal bisa mengembalikan uang itu sepenuhnya dalam waktu seminggu. Perusahaan memahami tindakan penyelewengan itu karena terpaksa dan untuk biaya pengobatan istrinya. Tapi, batas waktu pengembalian tidak bisa ditawar. Perusahaan menganggap uang itu bukan utang. Uang yang digunakan Perwira adalah tindakan penyelewengan. Bisa berakibat hukum.

Sedaya upaya Perwira mencari pinjaman pada keluarga. Uang yang terkumpul hanya 400 ribu rupiah. Pemimpin cabang tidak bisa membantu Perwira lagi karena kantor pusat memutuskan perkara itu ke jalur hukum. Perwira diberhentikan dan menjalani sidang di pengadilan yang sangat melelahkan dan membuat anak-bininya menderita.

Vonis dijatuhkan enam bulan penjara. Vonis itu menimpanya saat Maryati baru saja pulih dari sakit. Kini, Maryati sakit lagi. Sakit atas penderitaan suaminya. Sakit atas masa depan anaknya.

"Kau sudah melewati masa paling berat. Kukira, masalahmu sekarang sangat ringan dibanding penderitaan ayah dan ibumu, juga penderitaanmu pada masa lalu," kata Ita mengusik Ratih yang terperangkap masa lalu keluarganya yang sangat berat.

"Waktu masih panjang. Sekarang kita salat dulu. Berdoalah. Allah tahu masalahmu," kata Ita lagi seraya meraih tangan Ratih dan menggandengnya menuju Masjid Islamic Center.

Azan berkumandang. Senja mulai berubah. Remang-remang malam mulai menutupi keindahan tepian Mahakam ketika dua sahabat sejati itu melangkah untuk menghadap Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (bersambung)

Baca seri berikutnya:
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar