Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-6): Kebiasaan

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-6): Kebiasaan

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Ratih yang pekerja keras. Tak pernah mengeluh demi rasa cintanya kepada keluarga.

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Senin, 07 Oktober 2019

HAJI Nanang Yusran Kaya bersyukur saat dilihatnya seorang pemuda duduk di pojok dan memesan nasi sop ayam. Ia sangat kenal pemuda itu karena memang jadi pelanggan setianya selama enam bulan ini. Setiap jam makan siang, pemuda itu selalu makan di warungnya.

Nanang menduga, pemuda ini tak akan makan di warungnya lagi. Sudah lima hari pemuda itu tidak dilihatnya sebagaimana biasa. Akhirnya, Nanang sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa yang menyebabkan baju anak muda ini basah tertumpah gelas minuman di atas mejanya menjadi sumber petaka dan menyebabkan ia jera.

Kesimpulan tersebut nyata adanya. Esok dan esoknya, hingga hari kelima, pemuda itu tidak tampak wajahnya di warung Nanang Kaya. Padahal biasanya, pemuda itu selalu mengambil tempat duduk di pojok.

"Memang pelanggan kita masih banyak. Tapi pemuda yang dulu biasa makan di sini, sudah lima hari tak kulihat. Pasti ia jera, gara-gara Ratih." Nanang mulai mengeluh kepada istrinya.

"Mungkin saja, dia makan di rumah atau tugas keluar kota. Sudahlah, jangan membicarakan itu lagi. Kasihan Ratih."

"Kasihan, katamu?"

"Ya, kasihanlah, Bang. Dia kan masih kuliah. Ayahnya tak punya pekerjaan jelas. Entah bagaimana nasib anak itu."

"Kasihan boleh saja. Tapi kita juga harus ingat bahwa kita juga dulu sengsara. Harus kerja keras. Kerja sungguh-sungguh. Tak ada yang bisa menolong kita kalau bukan kita sendiri. Coba, apakah saudaramu peduli? Tidak, ‘kan? Padahal ada yang mampu."

Purwati tak membalas kata-kata suaminya meski menyakitkan karena menyinggung-nyinggung keluarganya yang tak peduli saat mereka susah dulu. Purwati mengakui itu tapi menurutnya tak perlu diungkit-ungkit.

"Sekarang, siapa yang membantu mereka? Kita, ‘kan? Saat kakakmu terbakar rumahnya, siapa yang membantu membelikan bahan untuk membangun rumahnya kembali? Kita, ‘kan?"

Sakit hati Purwati atas ucapan suaminya itu meskipun memang demikian adanya. Tapi tak perlu diungkit-ungkit. Mengungkit kebaikan berarti tidak ikhlas. Ketidakikhlasan tidak berbuah apa-apa.

"Ya, lah, Bang. Abang baik kepada keluargaku tapi tak perlulah disebut-sebut lagi, biar jadi pahala," sahut Purwati.

Nanang Kaya sebenarnya masih mau menyoal bantuan pada kakak iparnya. Sebab, kakak iparnya di mata Nanang terlalu pasrah dalam hidup dan kurang berusaha. Tapi ia menghentikan percakapan itu karena anak muda yang biasanya menjadi pelanggannya masuk dan seperti biasa duduk di pojok kanan depan warung itu.

"Nasi sop ayam?" Nanang Kaya bertanya kepada anak muda itu. Biasanya, Ratih yang melayani tapi hingga sekarang belum ada gantinya. Seorang karyawan yang biasa melayani tamu tidak masuk hari ini karena melayat keluarganya. Nanang Kaya turun tangan. Ia sudah biasa melayani dan tidak merasa turun derajatnya sebagai pemilik warung yang laris ini.

Pemuda itu mengangguk seraya memesan es teh manis sebagaimana kebiasaannya. Nanang mengingat pesanan itu dan segera beranjak ke dapur. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena pemuda itu memanggilnya.

"Maaf, Pak. Biasanya bapak tidak turun tangan sendiri. Selalu dibantu siapa itu...."

"Ratih, maksudmu?"

"Ya, dia. Ratih, ya, namanya?"

"Oh, dia berhenti karena mau memusatkan perhatiannya kepada kuliah."

"Dia mahasiswa?"

"Ya."

"Kuliah di mana?"

"Tidak tahu saya. Tahunya hanya semester tiga."

Pemuda itu mengangguk-angguk. Ia membiarkan Nanang Kaya meneruskan pekerjaannya.

Jam makan siang. Warung ini selalu ramai. Selain harganya terjangkau, cita rasanya rupanya cocok dengan kebanyakan lidah orang.

Nanang Kaya, dalam beberapa hari ini, sudah beberapa kali mencari pengganti Ratih. Namun belum ada yang cocok, termasuk keponakannya yang minta pekerjaan. Keponakan itu tak cukup syarat. Kurang pendengaran. Tak teliti mencatat. Baru sehari bekerja melayani tamu, disuruh Nanang membantu di dapur saja.

Oh, ya, masih ingat, nama lengkapnya Nanang Yusran. Sudah haji. Tambahan kaya karena dia sudah jauh lebih kaya dibanding saat memulai usaha warungnya. Sekarang warung tersebut sudah besar. Ruko berlantai dua. Lantai bawah untuk usaha. Lantai atas tempat tinggalnya. Sejak kaya, ia lebih dikenal sebagai Nanang Kaya.

Pemuda itu selesai menyantap sop ayam kesukaannya. Saat menemui isteri Nanang Kaya di meja kasir, ia sempat bertanya apakah Bu Purwati --istri Nanang -- tahu alamat tempat tinggal Ratih.

"Ibu tidak tahu rumahnya di mana. Katanya tinggal di Loa Bakung. Loa Bakungnya di mana, ibu tidak tahu. Tidak pernah ke rumahnya. Ibu jarang keluar."

"Terima kasih, Bu." Pemuda itu tidak bertanya lagi. Bu Purwati juga tidak tahu dan tidak pula mencari tahu siapa nama pemuda itu dan mengapa pula bertanya alamat Ratih.

***

Ratih baru saja masuk ke rumah saat melihat ayahnya duduk berselonjor di depan kipas angin. Ratih tidak segera mandi. Ia duduk di depan ayahnya dan memijat-mijat betis ayahnya.

Ia tahu, ayahnya duduk berselonjor seperti pertanda ia kecapaian. Ratih pun tahu, ayahnya akan selalu senang dan berterima kasih kepada Ratih yang tanpa disuruh berinisiatif memijat betisnya. Ini adalah kebiasaan. Kebiasaan ayahnya dan kebiasaan Ratih. Apakah artinya memijat betis ayah dibanding kasih sayang dan pengorbanannya selama ini.

"Kalau kamu lelah, biarlah istirahat dulu. Mandi. Makan. Enak benar sayur santan bercampur labu merah dan nangka muda buatan ibumu."

"Gampang, Yah. Ayah kelihatan lelah sekali. Rupanya hari ini ayah kerja lagi?" Ratih menjawab permintaan ayahnya.

Ratih tak bisa banyak membalas kebaikan ayah dan ibunya. Ia hanya mencoba meringankan dengan kuliah sambil bekerja. Sepulang kerja, jika ia dapatkan ayahnya masih terjaga dan menunggunya, ia segera memijat-mijat betis ayahnya. Untuk meringankan tugas ibunya, ia selalu mencuci pakaiannya sendiri dan menyetrikanya. Ibunya melarang karena ia tahu anaknya sangat lelah setelah kuliah dan bekerja. Ia masih sanggup mencuci dan menyetrika pakaian Ratih. Ratihlah yang tak mengizinkannya.

"Belum, Nak. Tapi ayah memang capek. Ayah mencoba melamar pekerjaan tapi belum ada yang membuka lowongan. Ada seorang teman ayah waktu kuliah dulu yang punya usaha toko besi. Ayah mencoba meminta pekerjaan padanya. Dia bilang, kalau nanti diperlukan, ayah akan dihubungi."

"Sabar, Yah."

"Ya, lah. Ayah juga paham, situasi usaha lagi seret. Daya beli payah. Kucuran dana pemerintah lebih banyak untuk proyek besar sehingga kurang berimbas kepada usaha kecil dan menengah. Kontraktor kecil juga tak banyak dapat proyek seperti empat tahun lalu."

Diam-diam Ratih mengagumi ayahnya yang update dengan situasi kekinian.

"Pemerintah katanya defisit. Proyek baru sedikit. Yang lebih banyak untuk membayar proyek-proyek dengan skema tahun jamak. Itu harus dibayar. Karena proyek sedikit, usaha lain pun ikut-ikutan lesu. Usaha dagang juga begitu. Apalagi usaha perdagangan. Banyak yang mengeluh karena konsumen lebih banyak belanja online. Sebenarnya, jika punya sepeda motor, ayah ingin jadi ojek online saja."

"Jangan, Yah. Mata ayah kan tidak seawas dulu."

"Ya juga, sih. Selain itu, sepeda motornya juga tidak ada. Ya, ya, ya, di tumitnya." Ayah Ratih begitu senang saat tumitnya yang penat dipjat-pijat Ratih.

Perwira tak lagi meneruskan percakapan. Matanya terpejam. Sesaat kemudian tubuhnya melorot. Ratih meletakkan bantal di kepala ayahnya. Suara dengkur ayahnya terdengar. Ratih meneruskan pijatannya sampai dia yakin bahwa ayahnya lelap.

Perlahan-lahan, Ratih berdiri membawa tas kuliahnya. Dipandanginya ayah yang dicintainya sepenuh jiwa itu. Ia bangga kepada ayahnya. Ayah yang sangat sayang kepada ibunya sebagaimana juga kepada dirinya. Ia tahu, ayahnya ingin memberikan kecukupan materi kepada keluarganya, tapi nasib belum berpihak.

Ratih tak pernah tersinggung jika ada sahabatnya bertanya apa pekerjaan ayahnya. Pertanyaan yang menyakitkan saja, seperti, "Benar, ya, ayahmu pernah dipenjara?" Ratih jawab apa adanya.

Ratih melangkah menuju dapur. Ia tak sadar, jika sedari tadi ibunya sudah lama memperhatikan. Ratih segera menemui ibunya dan memeluknya. (bersambung)

Seri selanjutnya, ketuk:

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-7): Senja Burhan Magenta

Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar