Terkini

Menantang Mati Demi Eksistensi

person access_time 5 years ago
Menantang Mati Demi Eksistensi

Foto remaja yang bergelantung di Jembatan Mahkota II (sumber: akun Facebook Muhammad Darwis).

Bergelayut di jembatan.

Berpose tanpa beban.

Berharap seonggok perhatian?

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Kamis, 02 Agustus 2018

kaltimkece.id Sepotong gambar mendadak menyebar di media sosial dan membuat riuh Samarinda pada Selasa, 31 Juli 2018. Seorang pemuda tanggung bergelantung di tepi Jembatan Mahkota II. Mengenakan kaus putih, celana panjang hitam, dan sepatu sneakers, ia bergelayut tanpa alat pengaman. Tangan kanannya memegang pipa jembatan, tangan kirinya mencengkeram erat lantai beton. Rekan si pemuda kemudian mengambil gambar dari jarak beberapa meter. 

Pemuda itu “berpose” di ketinggian 25 meter sesuai jarak ruang vertikal atau vertical clearance menurut data teknis jembatan. Ketinggian sedemikian setara gedung lantai delapan. Segera saja, perbuatan menantang maut itu dibanjiri komentar warganet. Mayoritas pemberi komentar menyampaikan respons negatif. 

Aksi ekstrem seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Pada masa swafoto sedang tren-trennya, Wu Yongning adalah pemuda asal Tiongkok yang berbuat nekat. Dia telah berkali-kali menantang maut dengan tongkat selfie-nya di puncak gedung pencakar langit. Wu akhirnya menemui ajal pada 8 November 2017. Dia terjatuh dari gedung setinggi 62 lantai di Changsha, ibu kota provinsi Hunan, seperti ditulis artikel BBC berjudul Wu Yongning: Who is to Blame for A Daredevil's Death? (2017). Jauh sebelum Wu, aksi menantang maut juga sudah dijalani Alain Robert. Pria berjuluk French Spiderman itu memanjat menara Eiffel hingga Burj Khalifa. 

Baca juga: Malapetaka ketika Rem Truk Tak Bekerja

Motif dan Gangguan

Beragam pola melatarbelakangi seseorang berbuat ekstrem. Dalam kasus pemuda yang bergelayut di Jembatan Mahkota II, kemungkinan besar adalah untuk kepentingan koleksi. Bukan koleksi pribadi, melainkan buat dibagikan di media sosial. Salah satu petunjuk yang menguatkan dugaan itu adalah pemilihan sudut pengambilan foto. 

Selain menggunakan bantuan orang lain, foto diambil dengan sudut cukup baik. Gambar itu berlatar depan (foreground) jejeran pagar jembatan. Sebagian rangka jembatan termasuk cahaya langit tertangkap kamera sehingga menegaskan lokasi dan waktu pengambilan gambar. Tubuh yang sedang bergelantung sebagai objek utama direkam utuh dari ujung kepala ke kaki. Adapun gambaran ketinggian, jelas terlihat dari pelindung pilar jembatan di sungai. Perahu kecil yang sedang melintas, nampaknya momen kebetulan, makin menambah dramatis ketinggian gelantung si pemuda. 

Jika foto memang disiapkan untuk dipamerkan, mengapa ada orang yang rela menantang mati demi eksistensi? Tanpa bermaksud memvonis pemuda itu adalah bural, budak viral, kecenderungan mengejar popularitas di dunia maya tengah mewabah di kalangan remaja. Bukan hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Fenomena itu tidak lepas dari semakin mudahnya interaksi pada era media sosial. 

Remaja adalah tahap kehidupan manusia untuk mencari jati diri. Sebagian di antara pencari jati diri kemudian tergila-gila dengan popularitas. Bergelantungan di jembatan boleh jadi hanya satu contoh. Demi mencari perhatian pula, tak sedikit remaja putri berani buka-bukaan lewat video-video aplikasi. Bagi mereka, ukuran popularitas ditentukan jumlah like, comment, dan share

Fenomena tersebut telah diteliti tim dari University of Essex, Inggris, sejak era kekinian dimulai. Pada 2011, tim yang diketuai psikolog Dr Andy Przybylski mengadakan studi pertama. Hasil penelitian mereka diumumkan dalam jurnal Computers in Human Behavior (2013)

Tim menamakan fenomena itu sebagai FoMO, Fear of Missing Out. FoMO didefinisikan sebagai ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan orang-orang terbuang dari komunitas. Biasanya, perasaan itu muncul karena yang bersangkutan ketinggalan suatu acara, perjalanan, maupun pembicaraan yang sedang hangat di lingkaran sosialnya (Permanently Online, Permanently Connected: Living and Communicating in a POPC World, 2017).

Baca juga: Yang Terjadi di Tiga Detik Mematikan saat Atraksi Maut

Mereka yang terkena FoMO tak akan bisa lepas dari notifikasi media sosial. Setiap beberapa menit sekali, mereka memeriksa telepon pintar untuk mengecek pemberitahuan Facebook, Instagram, Twitter, hingga grup WhatsApp dan Line. Orang-orang demikian terus-menerus mengecek akun media sosial untuk mengetahui yang teman-teman mereka lakukan. Pada akhirnya, mereka mengabaikan aktivitasnya sendiri.

Di dunia remaja, kebiasaan itu menimbulkan rasa tak ingin ketinggalan satu pun kegiatan atau obrolan yang sedang hangat. Gejala lain yang turut mengiringi FoMO adalah obsesi berlebihan terhadap like, love, dan komentar di akun media sosial masing-masing. Banyaknya respons publik di media sosial adalah prestasi dan prestise. Mereka bahkan bisa “sakau” ketika tak membuat status ataupun mengunggah foto dalam kurun waktu tertentu. 

Pada tahap yang lebih tinggi, obsesi terhadap perhatian publik adalah gangguan kepribadian. Di dalam ilmu psikologi, gangguan itu disebut histrionik. Mereka yang terkena sindrom ini terus-menerus mencari perhatian. Diikuti pula emosi yang berlebihan, cenderung mendramatisasi situasi, bahkan menyebabkan depresi. Asosiasi Psikiater Amerika telah memasukkan histrionik sebagai gangguan kepribadian (Histrionic Personality Disorder, 2012).

Orang dengan gangguan ini merasa tidak nyaman atau tidak dihargai ketika mereka tidak menjadi pusat perhatian. Namun, tidak semua orang yang mencari perhatian menderita histrionik. Sebab, pada dasarnya, ingin diperhatikan adalah sifat dasar manusia. Hanya mereka yang berlebihan dan memunculkan berbagai gejala yang masuk kategori histrionik. Satu di antara gejala itu adalah menggoda lawan jenis secara seksual demi seonggok perhatian. 

Lagu Lama Kaset Baru

Pemuda yang bergelantung di Jembatan Mahkota II kemungkinan besar memang mengejar like, love, dan komentar di media sosial. Hal itu diakui psikolog klinis Rumah Sakit Khusus Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda, Ayunda Ramadhani. Meskipun motif si pemuda harus dipastikan, kata dia, tak dimungkiri bahwa era media sosial telah membuat sebagian orang haus eksistensi. Pada masa kini, pengguna media sosial terus tertantang membuat sebuah konten yang viral. 

Ayunda mengatakan, aksi ekstrem di Jembatan Mahkota II sebenarnya bukan hal baru di Samarinda. Satu dekade silam, tak sedikit remaja yang gemar tawuran atau balap liar di jalan. “Sebenarnya ini lagu lama kaset baru. Perilaku sama-sama ekstrem, balutannya yang berbeda,” terang Ayunda kepada kaltimkece.id. Perbedaan yang utama adalah eksistensi pada masa lalu hanya di kalangan teman-teman. “Sekarang, karena ada media sosial, golnya adalah viral,” lanjutnya.

Namun demikian, Ayunda meminta tidak memukul rata semua orang yang berkegiatan ekstrem hanya mencari eksistensi. Pada dasarnya, ada manusia yang menyukai kegiatan ekstrem. Ayunda menjelaskan, manusia secara alamiah sebenarnya memiliki mekanisme menghindari bahaya. Namun, sisi lain, otak manusia juga mempunyai mekanisme sensasi kepuasan setelah menjalani pengalaman ekstrem terutama yang memacu adrenalin. 

Penjelasannya adalah ketika seseorang berkegiatan ekstrem, otak akan melepaskan hormon dopamine. Hormon ini menciptakan perasaan optimistis dan bahagia. Dalam konteks ini, contohnya, adalah penggiat olahraga ekstrem. “Karena sebuah olahraga, pasti ada standar keselamatan,” terangnya. Berbeda dengan mereka yang menantang mati hanya demi eksistensi. (*)

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • BBC, 2017. Wu Yongning: Who is to Blame for A Daredevil's Death?, artikel daring.
  • Przybylskia, Andrew K, 2013. Computers in Human Behavior. Amsterdam: Elsevier
  • Russell, Jesse, dan Cohn, Ronald, 2012. Histrionic Personality Disorder, VSD.
  • Vorderer, Peter, 2017. Permanently Online, Permanently Connected: Living and Communicating in a POPC World. Oxford shire: Routledge.

 

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar