Ragam

Sumpitan, Napas Kematian dari Kalimantan

person access_time 1 year ago
Sumpitan, Napas Kematian dari Kalimantan

Daniel Ngo menunjukkan cara memakai sumpitan. Pengrajin senjata tiup ini kian sedikit di Kaltim. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID

Senjata tradisional ini diperkirakan mulai digunakan di Kalimantan pada abad ke-15. Dijuluki napas kematian oleh peneliti Barat.

Ditulis Oleh: Kristantus Lung Ngo
Jum'at, 31 Maret 2023

kaltimkece.id Nyanyian burung dari pepohonan masih terdengar sewaktu Daniel Ngo, 70 tahun, tengah menyiapkan seperangkat sumpitan. Setelah membersihkan kotoran di saluran udara senjata tiup itu, Kakek Ngo—panggilannya—memisahkan anak-anak sumpit. Delapan batang kurus serupa tusuk satai itu ada yang dibubuhi tinta, ada juga yang tidak. Anak sumpit yang ditandai berarti telah diolesi racun. 

Ahad pagi, 25 Maret 2023, Kakek Ngo kemudian beranjak ke gang di depan rumahnya di RT 9, Kelurahan Sungai Siring, Samarinda Utara. Ia menenteng sumpit di bahu. Kakek Ngo menunjukkan cara memakai senjata itu kepada reporter kaltimkece.id

Tangannya yang mulai keriput mengambil sebilah anak sumpit tak beracun dari wadah bambu. Peluru sumpit kemudian dimasukkan ke ujung pipa kayu ulin. Batang sumpit yang lurus itu ujungnya dililit tali rotan yang biasa dipakai untuk mengikat mata tombak. Mata Kakek Ngo tertuju ke sebuah batang pohon sejauh 15 meter. Mulutnya didekatkan ke pangkal sumpit. Setelah mengumpulkan udara di paru-paru, dalam sekali entakkan, ia meniup. Anak sumpit meluncur dan menancap di batang sepesekian detik kemudian. 

Kakek Ngo adalah anggota Lembaga Adat Dayak Bahau di Samarinda. Ia satu dari antara sedikit pengrajin sumpit yang tersisa. Sumpit, katanya, digunakan komunitas Dayak untuk berburu dan bertahan hidup. Seiring perkembangan zaman, senjata itu pernah digunakan dalam pertempuran.

Anak sumpit biasanya dibubuhi racun. Daya bunuh racun ini amat berbahaya. Racun mulai bekerja ketika anak sumpit menembus tubuh binatang. Anak sumpit akan patah sementara ujungnya yang beracun tertinggal di kulit. Racun lantas menyebar melalui aliran darah dan menyumbat sistem saraf dan pernapasan. Anak sumpit yang diolesi racun dosis tinggi hanya memerlukan 10 detik untuk melumpuhkan buruan. Apabila dibiarkan, hewan tersebut akan mati kurang dari setengah jam.

Daniel Ngo memperagakan gerakan menyumpit. Bidikan dan tiupan harus diperhatikan sebelum menyumpit sasaran. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID
 

“Bergantung olesan racunnya. Makin tebal, makin mematikan. Racun ini berbahaya sekali termasuk bagi manusia yang tidak sengaja terkena,” jelas Kakek Ngo. Pengguna senjata sumpit pun harus sangat berhati-hati.

Sumpit memiliki nilai filosofi bagi masyarakat Dayak di Kalimantan. Senjata ini adalah simbol kekuatan dan keberanian. Kakek Ngo menjelaskan, mereka yang membawa senjata sumpit dianggap orang yang punya keberanian yang mampu melindungi diri dan keluarganya. 

Senjata Napas Kematian

Sumpitan atau blowgun diperkirakan mulai digunakan manusia pada abad ke-15. Sebagian sejarawan sepakat, sumpit pertama kali ditemukan di kepulauan Malaya terutama di Kalimantan. Dasarnya adalah catatan sejarah dan peninggalan lukisan. Dari Malaya, senjata ini menyebar ke Filipina, India, Srilanka, Jepang, serta masyarakat Indian di Amerika Selatan. Uniknya, hanya penduduk Benua Afrika yang tidak mengenal sumpitan (Blowguns: The Breath of Death, 1993, hlm 3). 

Penggunaan sumpitan di berbagai belahan dunia rata-rata seragam. Selain berburu, sumpitan dipakai sebagai senjata tempur. Di Jepang, sumpitan merupakan perlengkapan prajurit ninja. Sementara suku Indian di sekitar hutan Amazon, menggunakan racun sumpitan seperti di Kalimantan. Racun sumpit yang mengerikan itu membuat peneliti Barat menjuluki senjata ini dengan sebutan ‘napas kematian’ (hlm 4-6). 

Pemerhati senjata tradisional di Kaltim, Chai Siswandi, memaparkan sumpitan dengan lebih detail. Mengutip Tjilik Riwut, jelas Chai Siswandi, harga sumpit ditentukan menurut hukum adat. Nilainya yaitu jipen ije yaitu dua tempayan atau guci. Harga ini merupakan keputusan bersama suku Dayak di Kalimantan yang terdiri dari 405 subsuku. 

Sumpitan, dalam bahasa Dayak Bahau disebut hemput. Senjata ini tidak boleh dipotong dengan parang maupun diinjak-injak. Bila ada orang, khususnya orang asing, berani berbuat begitu di depan umum, akan dianggap sebagai penghinaan. 

“Pelakunya, baik sengaja maupun tidak sengaja, bisa dituntut dalam suatu rapat adat,” sambung Chai Siswandi yang merupakan anggota Paguyuban Pemerhati Pusaka Nusantara (P3N) Kaltim.

Mengapa penduduk Kalimantan pada masa silam memilih sumpit sebagai senjata jarak jauh? Chai Siswandi memaparkan, sumpit punya banyak manfaat. Batang sumpit yang kuat bisa dijadikan tongkat untuk membantu melintasi hutan maupun mendaki bebatuan. Ujungnya bisa dipakai sebagai tombak. 

“Anak sumpit sangat ringan dan dibawa di wadah tertutup. Jadi, lebih ringkas dibanding panah. Busur panah yang melengkung serta anak panahnya yang panjang gampang tersangkut di ranting. Sumpit lebih cocok di hutan,” tuturnya. 

Teknik Pembuatan Sumpitan

Seperangkat sumpitan terdiri dari empat perkakas. Pertama ialah batang sumpit. Panjangnya 1,5 meter hingga 2 meter. Diameternya sekitar 2,5 sentimeter. Selain kayu ulin, kayu bitung atau kayu balet adalah bahan utama batang sumpit. Akan tetapi, kebanyakan sumpit terbuat dari ulin. Kayu besi itu dipilih karena tidak mudah patah dan tidak licin jika terkena keringat. Sebatang kayu ulin besar dapat menghasilkan 10-15 pipa sumpit. 

Teknik pembuatan batang sumpit cukup rumit. Perlu keahlian khusus, hanya orang-orang tertentu yang dapat membuat sumpit berkualitas bagus. Pembuatan batang sumpit dimulai dari memotong gelondongan kayu ulin memanjang sekitar 3 meter. Batang itu kemudian dibentuk menjadi bulat memanjang. Selanjutnya adalah membuat lubang sumpit. 

“Bagian ini merupakan yang tersulit. Lorong atau lubang sumpit harus dikerjakan dengan hati-hati sekali agar tak bengkok. Harus lurus. Jika tidak, pekerjaan akan sia-sia,” terang Chai Siswandi yang menulis pembuatan sumpit dalam buku Khasanah Seni Tradisi Kalimantan Timur terbitan Dewan Kesenian Daerah Kaltim pada 2020. 

Chai Siswandi, pemerhati senjata tradisional di Kaltim. Memaparkan teknik membuat sumpit dan perlengkapannya. FOTO: ARSIP PRIBADI
 

Pembuatan lubang menggunakan alat yang disebut papen spout. Alat ini berupa enam tongkat kayu setinggi 4 meter. Tongkat disusun berdiri tegak dalam formasi segitiga. Peralatan lainnya adalah besi sepanjang 2 meter yang ujungnya sangat runcing dan tajam. Namanya kerajang savu untuk melubangi balok kayu ulin. Tongkat besi ini dilengkapi pegangan dari kayu dan kain. 

Diperlukan lagi seutas benang yang telah dilumuri oli. Benang ini berfungsi membuat garis lurus sedangkan oli untuk melicinkan besi. Membuat lubang sumpit memerlukan ketekunan, dan kesabaran. Tenaga besar juga diperlukan untuk memilin besi saat menggurdi batang ulin. Setelah dilubangi, batang kayu ulin dibentuk menjadi tongkat bulat kemudian dirawat dengan anak pisau mandau. Bila ukuran dan bentuknya sudah sesuai, batang sumpit diamplas. 

“Teknik pembuatan batang sumpit berbeda-beda di setiap subsuku. Dalam tradisi Tunjung, lubang sumpit dibuat dengan alat bernama kitai. Bentuknya besi bundar sepanjang 1,5 meter hingga 2 meter yang ujungnya bermata menyerupai tombak,” terang Chai Siswandi. “Pelubangan batang sumpit secara tradisional memakan waktu tiga sampai tujuh hari,” sambungnya. 

Perkakas kedua dari perangkat sumpitan adalah anak sumpit atau waloc. Sebagian yang lain menamakannya damek. Anak sumpit kebanyakan terbuat dari teras kayu ulin kering, pelepah enau atau aren, pelepah anaau, serta bambu. Proyektil ini panjangnya 20 sentimeter sampai 30 sentimeter. Pangkalnya dipasangi gabus yang terbuat dari akar kayu gabus yang ringan. Teknik pembuatannya juga bermacam-macam di setiap subsuku Dayak. 

“Gabus berfungsi memaksimalkan daya tolak saat peniupan selain menjaga anak sumpit tidak jatuh bila tidak sedang digunakan,” jelas Chai Siswandi. 

Anak sumpit dilengkapi dengan gabus yang terbuat dari kayu gabus. Fungsinya sebagai penampang untuk menerima aliran udara. FOTO: KRITANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID 
 

Dikenal tiga jenis anak sumpit di hulu Sungai Mahakam. Ada anak sumpit biasa tanpa racun (langaq lan), anak sumpit yang ujungnya diolesi racun sepanjang 1 sentimeter (langaq salo), dan anak sumpit yang ujungnya dipasangi besi tipis dan tajam serta diolesi racun (langaq irang). Anak sumpit jenis yang terakhir ini sudah jarang dibuat. 

Lazimnya, ujung anak sumpit yang tidak ditempeli besi, dikerat dan dibuat bercelah untuk dilumuri racun. Ketika ujung anak sumpit mengenai sasaran, anak sumpit yang menancap di tubuh binatang dicabut. Bagian yang dilumuri racun akan patah dan tertinggal di tubuh binatang buruan.

Perlengkapan Berikutnya

Perlengkapan ketiga adalah wadah untuk anak sumpit atau selooq. Tempat ini terbuat dari bambu jenis tertentu yang sering disebut lutuq. Wadah dibuat dari potongan dua buku bambu yang sudah tua. Tabung bambu kemudian dipotong sehingga hanya mempunyai ruas atau buku di bawahnya. Ruas yang lain digunakan sebagai penutup. 

Selooq dipasangi pengait yang terbuat dari cabang kayu atau potongan kayu yang dibentuk sebagai kaitan. Saat berburu, selooq disangkutkan atau dikaitkan di belitan cawat pemburu sementara sumpit disandang di bahu. 

“Orang Bahau biasa menyimpan anak sumpit di wadah yang disebut tebuluh langaq. Diameter bambunya antara 8 hingga 10 sentimeter. Penutupnya terbuat dari tempurung kelapa. Wadah ini sangat penting menyimpan anak sumpit yang beracun,” terang Chai Siswandi. 

Tempat anak sumpit yang terbuat dari bambu dan ikatan rotan. FOTO: KRITANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID
 

Perlengkapan keempat dan yang terakhir adalah racun. Bahan berbahaya ini terbuat dari ramuan akar dan batang kayu tertentu. Cara membuatnya yaitu memasak getah pohon racun sampai mengental. Cairan ini harus dibungkus dengan daun tertentu. Tujuannya supaya tanaman sekitar tidak rusak karena asap atau aroma dari pemasakan racun. Selain itu, pembungkusan daun untuk menjaga daya bunuh racun tetap tinggi.

“Itu sebabnya, racun anak sumpit harus dibuat di luar kampung atau di dalam hutan,” jelas Chai Siswandi yang tinggal di Kota Bangun, Kutai Kartanegara. 

Peramu juga bisa meningkatkan daya bunuh racun. Biasanya racun dicampur dengan air tembakau atau liur bisa dari ular kobra cokelat dan hitam. Ramuan ini bisa menyebabkan binatang mati tidak lebih dari 10 menit setelah terkena anak sumpit. Apabila manusia tidak sengaja terkena racunnya, bisa mengalami kematian jika dalam tempo 10 sampai 20 menit tidak segera diberi penangkalnya. 

“Orang Dayak memiliki teknik untuk membuat penangkal racun sumpit dari ramuan akar dan daun tumbuhan tertentu,” sambung Chai Siswandi.

DESAIN GRAFIK: M IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Warisan yang Mesti Dilestarikan

Sumpitan kini menghadapi ancaman kepunahan. Material untuk membuat batang, anak sumpit, serta racun makin sukar ditemui seturut deforestasi di Kalimantan. Pengrajin sumpit juga makin sedikit. 

Sastrawan, budayawan, sekaligus aktivis masyarakat adat di Kaltim, Roedy Haryo Widjono, membenarkan kondisi tersebut. Romo Roedy, panggilannya, mengatakan bahwa sumpit bersama mandau dan tombak merupakan alat pertahanan komunitas Dayak sejak dahulu. Alat untuk sistem persenjataan itu sangat berharga. Sumpit, misalnya, sering diperjualbelikan dalam tata kehidupan orang Dayak. 

“Sekarang, sumpit hanya dijadikan kontes atau event tahunan. Sudah jarang anggapan bahwa sumpit adalah warisan keaslian budaya,” jelas Romo Roedy kepada kaltimkece.id

Roedy Haryo Widjono, budayawan yang tinggal di Samarinda. Puluhan tahun hidup bersama komunitas Dayak di Kaltim. FOTO: ARSIP PRIBADI
 

Sumpit dan mandau disebut mengalami kemunduran atau degradasi dalam kehidupan berbudaya dan adat. Inilah yang menimbulkan kesulitan dalam pewarisan budaya dan adat kepada generasi mendatang. Keadaan ini memang tidak lepas dari perkembangan senjata modern. Meskipun, sebutnya, masih ada beberapa orang yang mempertahankan senjata sumpit. Mereka berusaha melestarikan dengan mengajarkan pembuatan senjata sumpit kepada generasi muda.

Romo Roedy melanjutkan bahwa sumpit, anak panah, berikut racunnya memuat nilai sejarah dan filosofi masing-masing. Oleh karena itu, sudah seharusnya sumpit tetap menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Kaltim yang harus dilestarikan. (*)

Senarai Kepustakaan

  • Janich, Michael D. 1993. Blowguns: The Breath of Death. Paladin Pers: Colorado, USA. 
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar