Terkini

Menyudahi 48 Tahun Penantian Aliran Listrik-1: Sisi Ekonomi Langsung Terasa

person access_time 5 years ago
Menyudahi 48 Tahun Penantian Aliran Listrik-1: Sisi Ekonomi Langsung Terasa

Foto: Fachrizal Muliawan (kaltimkece.id)

Kekayaan provinsi ini sudah tersiar sejak dulu. Tapi warganya menunggu hampir setengah abad hanya untuk teraliri listrik.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Kamis, 22 November 2018

kaltimkece.id November 2018 sudah ditunggu-tunggu warga Kampung Long Pakaq, Long Pakaq Baru, dan Delang Kerohong. Penduduk tiga kampung di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), akhirnya merasakan listrik di rumah-rumah. Aliran energi yang ditunggu-tunggu itu dialirkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS komunal. Pembangkit listrik terpusat tersebut dibangun Pemprov Kaltim.

Long Pakaq adalah yang tertua dari ketiga kampung. Ia berdiri sejak 1970-an. Penduduknya baru merasakan listrik umum setelah menunggu kurang lebih 48 tahun.

Pada 13-16 November 2018, kaltimkece.id berkesempatan mendatangi ketiga kampung bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim. Dinas ESDM adalah organisasi perangkat daerah yang ditunjuk menangani pembangunan proyek. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam menyusuri Sungai Mahakam dari ibu kota kabupaten di Ujoh Bilang, rombongan tiba pukul 18.30 Wita. Kampung-kampung ini berdiri di hulu Sungai Mahakam, sekitar 700 kilometer dari Samarinda.

Tidak ada lagi deru genset yang biasanya meraung-raung sejak petang. Tak ada gulita di jalan desa karena penerangan jalan umum ada di mana-mana. Dua PLTS terpusat sudah mulai bekerja. Pertama di Kampung Long Pakaq Lama, yang kedua di Kampung Long Pakaq Baru. PLTS kedua digunakan menerangi Kampung Long Pakaq Baru dan Delang Kerohong.

Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim, Pancasila Reksa Bantolo, menuturkan, pembangunan dua PLTS tersebut menggunakan dana alokasi khusus atau DAK melalui APBD Kaltim 2018. Proyek tersebut sebenarnya diajukan sejak 2015. Rancangannya pun diajukan setahun kemudian. Namun, realisasinya terkendala badai defisit anggaran pada 2016. “Baru pada 2017 diusulkan, tahun ini (2018) disetujui,” urai dia.

Tiap-tiap PLTS mendapat kucuran Rp 8,4 miliar untuk rumah pembangkit di Long Pakaq Baru. Sementara dana untuk pembangkit di Long Pakaq adalah Rp 7,2 miliar. Perbedaannya tak lain karena rumah pembangkit di Long Pakaq baru menyalurkan listrik untuk dua desa.

Sebagai sumber setrum, rumah pembangkit listrik di Kampung Long Pakaq dilengkapi dari 280 panel surya. Sedangkan di Kampung Long Pakaq Baru sebanyak 320 panel. Dari panel-panel inilah, sinar matahari diserap kemudian diubah menjadi energi listrik. 

PLTS di Long Pakaq menghasilkan tenaga listrik sebesar 56 kWp atau kilowatt-peak. Adapun PLTS Long Pakaq Baru, punya kekuatan 64 kWp. Istilah peak adalah ciri-ciri tenaga listrik yang dihasilkan PLTS. Artinya, bila matahari bersinar penuh, pembangkit bisa menghasilkan tenaga puncak seperti yang tertera di angka tersebut (Grid-connected Solar Electric Systems: The Earthscan Expert Handbook for Planning, Design and Installation, 2012, hlm 229).

Bantolo dari Dinas ESDM Kaltim menguraikan, cahaya dan panas matahari yang diserap panel disimpan ke ratusan baterai. Penyimpan daya ini berjenis valve regulated lead acid atau VRLA. Baterai berkapasitas 1.000 ampere. Energi yang masuk ke baterai lantas diatur sebuah alat bernama solar charger controller atau SCC. Alat inilah yang mengatur listrik yang diserap panel, hendak didistribusikan ke baterai atau langsung disalurkan ke masyarakat.

“Harus diingat, baterai yang terus-menerus diisi bisa menyebabkan kelebihan muatan,” ujarnya. Di samping itu, jelas Bantolo, energi yang diserap panel masih bersifat satu arah atau DC. Sebelum disalurkan ke masyarakat, aliran listrik harus dikonversi menjadi arus bolak-balik atau AC melalui inverter.

Mengingat rumitnya perkakas PLTS, usia komponen tersebut sebagian besar tidak panjang. Panel surya hanya bertahan 20 tahun. Sementara baterai, paling banter lima tahun. Usia SCC dan inverter lebih pendek lagi, hanya bertahan empat tahun. Namun begitu, inilah pembangkit yang paling cocok di hulu Sungai Mahakam. Bukan hal mudah dan murah untuk membangun jaringan seperti tiang listrik hingga Kecamatan Long Pahangai yang berdiri ratusan kilometer dari desa berlistrik terdekat. 

Dari PLTS ini, setiap rumah mendapat jatah daya sebesar 700 watt per hari dimulai setiap pukul 17.00 Wita. Tapi, bukan berarti bila 700 watt yang dikirim hari ini tak terpakai bisa ditimbun untuk esok. "Pokoknya, setiap pukul 17.00 Wita, jatah listrik kembali menjadi 700 Watt,” terang Bantolo. Daya sedemikian cukup menghidupkan peralatan elektronik seperti lampu rumah dan televisi. Warga juga mendapat tiga lampu LED lengkap dengan sakelar dan stop-kontak serta energy limiter

Kini, ratusan rumah sudah dialiri listrik. Di Kampung Long Pakaq sebanyak 145 rumah plus 12 fasilitas umum dan 42 penerangan jalan umum atau PJU. Sementara di Kampung Long Pakaq Baru dan Delang Kerohong sebanyak 150 rumah, 16 fasilitas umum, dan 52 PJU. Di luar formasi tersebut, pemasangan baru bakal dibebankan biaya kepada pemohon.

“Setiap kampung memiliki cadangan 10 sampai 12 sambungan listrik lagi,” jelas Bantolo.

Meski demikian, masih ada kendala. Rumah yang hendak dipasang sambungan listrik baru jaraknya tak bisa lebih 2 kilometer dari rumah pembangkit. Bila mengaliri listrik di luar radius maksimal, mesti ada tambahan trafo agar listrik stabil. Inilah alasan rumah pembangkit dibangun di tengah-tengah kampung.

Lebih Ekonomis

Beberapa hari setelah listrik mengalir, warga tiga desa sudah merasakan manfaat dari sisi ekonomi. Sebelum ada PLTS, warga bergantung dari generator set atau genset. Mesin itu rakus bahan bakar. Dari pukul 18.00 Wita hingga tengah malam, rata-rata menghabiskan tiga liter bensin maupun solar. Bila dipukul rata, harga bahan bakar plus oli yang harus dikeluarkan warga setiap malam mencapai Rp 30 ribu. Dalam sebulan, satu rumah harus mengeluarkan Rp 900 ribu untuk listrik malam hari belaka.

“Belum lagi kalau ada kerusakan genset,” tutur Yakobus Tingang, petinggi kampung (setingkat kepala desa) Long Pakaq.

Masa-masa tanpa pembangkit listrik memang suram di kampung-kampung di hulu Sungai Mahakam. Di Long Pakaq Baru, misalnya, sebelum kebijakan BBM satu harga, satu liter bensin pernah mencapai Rp 50 ribu per liter. Pada 2016 itu, warga bisa merogoh Rp 150 ribu semalam hanya demi menyalakan genset.

“Meski keadaan itu tak berlangsung lama, warga sangat kesusahan,” jelas Frumentius, petinggi Kampung Long Pakaq.

Muslimin Johan, petinggi Kampung Delang Kerohong, satu suara. Dia mengatakan, aliran listrik dari PLTS komunal sudah dirasakan. Sebelum ada PLTS, kantor petinggi kampung harus menyediakan bahan bakar minimal 5 liter. Bahan bakar itu untuk operasional dari pukul 08.00 Wita sampai 16.00 Wita. Belum lagi biaya BBM tambahan bila lembur. Sekarang berbeda. Konsumsi BBM lebih hemat setengah hingga tiga perempat dibanding "zaman kegelapan" dulu. (bersambung)

Editor: Bobby Lolowang

Senarai Kepustakaan
  • Stapleton, Geoff, and Susan Neil, 2012. Grid-connected Solar Electric Systems: The Earthscan Expert Handbook for Planning, Design and Installation, London: Earthscan.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar