Terkini

Penjelasan Ilmiah dari Fenomena Seorang Ibu yang Berusaha Mencekik Bayinya yang Baru Sembilan Hari

person access_time 4 years ago
Penjelasan Ilmiah dari Fenomena Seorang Ibu yang Berusaha Mencekik Bayinya yang Baru Sembilan Hari

EF (kiri) ketika menjalani pendampingan dari UPTD PPA Samarinda.

Tidak ada asap tanpa api. Tiada mungkin tanpa sebab, seorang ibu tega menyiksa anaknya sendiri.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Kamis, 11 Juni 2020

kaltimkece.id Perempuan itu berinsial EF. Seorang ibu yang lahir di Samarinda pada 1996. Usianya sekarang 24 tahun. Pada usia 20 tahun, EF menikah dan melahirkan seorang anak perempuan.  

Biduk rumah tangga EF, yang tinggal di Jalan Pelita IV, Sambutan, Samarinda, kandas di kala mengarungi lautan kehidupan. Ia pun menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan. Pada 2019, EF yang berstatus janda menjalin asmara dengan seorang lelaki. EF hamil di luar pernikahan. Pada Selasa, 2 Juni 2020, bayi laki-laki dengan berat kurang dari 3 kilogram pun lahir dari rahimnya.

Pada saat-saat EF memerlukan perhatian dan kasih sayang, dia mengetahui kekasihnya menyukai perempuan lain. Sembari terisak-isak, EF berupaya menganiaya bayinya yang baru berusia sembilan hari dengan mencekik dan memukul. EF merekam perbuatan tersebut dan menempelkannya di status WhatsApp, Rabu, 10 Juni 2020. Itulah wujud kekesalan kepada kekasihnya. Ia diamankan kepolisian pada hari itu. Besoknya, Kamis, 11 Juni 2020, kondisi kejiwaannya diperiksa. 

Baca juga:
 

Adalah Ayunda Ramadhani, koordinator Tim Psikolog Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Samarinda, psikolog yang mendampingi EF. Dari pemeriksaan awal, kata Ayunda, psikologis EF terguncang karena kelelahan fisik. EF menderita stres sehingga memunculkan sifat ageresif dalam dirinya. 

"Sembilan hari selepas (EF) melahirkan, kelelahan fisik masih tersisa. Kondisi bayi juga belum begitu baik,” jelas Ayunda kepada kaltimkece.id. Kondisi psikis EF diperburuk oleh tidak adanya perhatian dan dukungan dari ayah biologis anak tersebut. 

“(Perbuatan EF) lebih didorong kondisi psikologis yang tidak stabil. Ini wajar sekali. Bisa dialami siapapun dan rentan menimpa siapapun. Dia mengaku, melakukan hal itu spontan,” terang Ayunda. 

Ayunda memaparkan kondisi EF lebih jauh. Secara fisik, perempuan tersebut sangat lelah karena merawat anaknya sendirian. EF begadang terus-menerus sehingga kurang istirahat. Dia pun dilanda gelisah dan amarah yang tidak bisa dilampiaskan kepada ayah si bayi. Pada akhirnya, anaknya yang menjadi pelampiasan. 

“Dalam kondisi kalut dan amarah yang sangat tinggi, seseorang amat rentan menjadi agresif. Itulah sebabnya, peran keluarga sangat diperlukan,” imbuh Ayunda. Rekomendasi dari pemeriksaan ini adalah EF mendapatkan pendampingan secara psikologi. EF sebaiknya tidak ditahan karena dapat memperburuk kondisinya mengingat ia baru saja melahirkan.

Sementara itu, Kepala Unit Reskrim Kepolisian Sektor Kota Samarinda Kota, Inspektur Satu Abdillah Dalimunthe, mengatakan kepolisian masih menunggu hasil visum et repertum bayi EF. 

"Kalaupun tidak ada tanda-tanda kekerasan nantinya, kami tetap berkoordinasi dengan UPTD PPA Samarinda untuk pendampingan," terang Iptu Abdillah Dalimunthe. 

Gejala Babby Blues

Koordinator Tim Psikolog UPTD PPA Samarinda, Ayunda Ramadhani, sempat menjelaskan sindrom babby blues yang mungkin menimpa EF. Gejala dari sindrom ini meliputi kelelahan, kesulitan tidur, mudah marah, hingga sukar berkonsentrasi. Kondisi ini biasanya berlangsung dua pekan setelah melahirkan. 

“Jika tidak ditangani dengan baik, sindrom ini dapat mengarah kepada depresi pasca-persalinan yang lebih berat,” terangnya. 

Perilaku EF yang berupaya menyiksa bayinya memang mirip dengan gejala postpartum depression atau gangguan emosional pasca-persalinan seperti yang disebut Ayunda. Depresi ini menimpa ibu yang baru melahirkan dan bisa berlangsung beberapa bulan atau bahkan setahun. 

Asosiasi Psikiater Amerika pada 1994 menyebutkan gejala depresi ini. Beberapa di antaranya adalah ibu yang kurang tertarik kepada bayi, pikiran untuk membunuh dan menganiaya anak, halusinasi, atau perilaku aneh yang lain. Dalam sebuah penelitian di tiga rumah sakit di Surabaya pada 2003, gangguan depresi seperti ini muncul sebanyak 22 persen dari 400 sampel.  

Peristiwa paling tragis menimpa Felicia Boots, seorang desainer perhiasan di London berusia 35 tahun. Ia mencekik anak laki-lakinya yang berusia 10 minggu dan anak perempuannya yang berusia 14 bulan. Setelah itu, Felicia mencoba bunuh diri meskipun tidak berhasil. Felecia didiagnosis menderita postpartum depression karena berkhayal kedua anaknya diambil pelayanan sosial (Depresi Usai Melahirkan, Ibu Muda Cekik Dua Balitanya, tayangan Liputan 6 SCTV, 2012).

Depresi pasca-melahirkan dapat disebabkan faktor biologis, psikologis, sosial, maupun budaya. Para ahli meyakini, faktor penyebab paling utama adalah kurangnya dukungan sosial. Sumber dukungan sosial tersebut berasal dari orang terdekat, terutama suami, yang diberikan pada masa kehamilan, persalinan, hingga setelah melahirkan.

Dukungan dari suami akan menghindarkan seorang ibu yang baru melahirkan dari rasa tidak berharga dan tidak bahagia. Dalam kasus EF, dukungan seperti inilah yang tidak ia dapatkan. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar