Ekonomi

Harga Minyak Dunia Tiba-Tiba Terjun Bebas, APBD Kaltim Bisa Celaka Dua Belas

person access_time 4 years ago
Harga Minyak Dunia Tiba-Tiba Terjun Bebas, APBD Kaltim Bisa Celaka Dua Belas

Fasilitas eksploitasi minyak di Delta Mahakam, Kaltim (dokumentasi kaltimkece.id)

Harga minyak dunia turun bebas hanya dalam hitungan hari. Dampaknya segera dihadapi Kaltim. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 10 Maret 2020

kaltimkece.id Kaltim adalah provinsi dengan kebergantungan tinggi terhadap produksi minyak bumi. Jika 'perang harga' minyak bumi antara Rusia dan Arab Saudi tidak segera mereda, dampaknya akan sampai ke Kaltim. Produk domestik regional bruto akan terpangkas, perlambatan ekonomi terjadi, dan anggaran pemerintah daerah tergerus.

Perang minyak antara Rusia dan Arab Saudi bermula dari pertemuan OPEC+ (negara-negara produsen minyak ditambah non-produsen) di Wina, Austria, pada 5-6 Maret 2020. Agenda pertemuan sebenarnya membahas pasokan global di tengah penyebaran virus corona.

Kepada negara anggota aliansi non-OPEC yang dipimpin Rusia, OPEC meminta pemangkasan produksi sebesar 500.000 barel per hari. Rusia menolak usulan tersebut. Penolakan ini direspons dari Arab Saudi dengan langkah mengejutkan. Produsen minyak terbesar di dunia itu memilih mendiskon harga minyak mentah ekspor sebesar 10 persen. 

Arab Saudi juga berencana memproduksi minyak di kapasitas maksimal mereka yakni 12,5 juta barel per hari. Langkah tersebut membuat harga minyak anjlok. Sejumlah ekonom dunia memperkirakan, harga minyak bisa menuju USD 25 per barel.

Perang harga yang ditabuh Arab Saudi terhadap Rusia akhirnya menenggelamkan harga minyak dunia ke titik terendah dalam empat tahun terakhir. Pada Selasa, 10 Maret 2020, minyak mentah berjangka Brent anjlok 24,1 persen ke posisi USD 34,36 per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate jatuh 24,6 persen menjadi USD 31,13 per barel, seperti dikutip dari Antara. Ini adalah level terendah bagi keduanya sejak 12 Februari 2016. 

Pengamat ekonomi lokal dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, menganalisis perkembangan global tersebut bagi Kaltim. Ada dua sisi yang harus diperhatikan. Pertama adalah sisi produksi. Kedua, sisi konsumsi.

Kejatuhan Harga Minyak dari Sisi Produksi  

Perusahaan yang bergerak di industri hulu migas di Tanah Air kemungkinan bisa merasakan dampaknya beberapa bulan ke depan. Hal ini disebabkan biaya produksi minyak mentah di Indonesia lebih mahal dibanding Arab Saudi. Sumur minyak di Indonesia lebih banyak di tengah laut sehingga beban operasionalnya lebih tinggi. Untuk setiap barel, biaya produksi di Indonesia bisa mencapai USD 30. 

Jika harga minyak dunia tinggal USD 25 atau di bawah biaya produksi, kerugian sudah di depan mata. Keadaan ini berbeda dengan Arab Saudi karena biaya produksi minyak per barelnya hanya USD 20. Dengan harga USD 25 per barel, negara itu masih meraup devisa dengan memperbesar produksinya. 

"Masalahnya adalah tidak mungkin perusahaan minyak di Indonesia menghentikan produksi walaupun harga minyak jatuh," jelas Codi, panggilan pendek Hairul Anwar. Menurutnya, minyak bumi yang diproduksi Indonesia saat ini sudah terikat kontrak pembelian. Harga jualnya sesuai pada saat kontrak dibuat. 

"Perlu diingat, minyak bumi bersifat commodity trading; diperdagangkan sebelum proses produksi dimulai. Jadi, harga hari ini minimal untuk pengiriman 3-6 bulan ke depan," terangnya. Kecuali bila kelesuan harga minyak ini bertahan lama, dampaknya baru terasa beberapa bulan ke depan.  

Langkah mengimpor minyak --karena harganya lebih murah alih-alih produksi tetapi merugi-- juga bukan pilihan bagus. Impor hanya memperburuk balance of payment dan neraca perdagangan sehingga menggerus cadangan devisa negara. 

"Lebih dari itu, jika produksi dihentikan karena harganya tidak masuk akal, hanya membahayakan ketahanan energi dalam negeri," terangnya. 

Meskipun demikian, keadaan ini sangat membahayakan ekonomi dalam negeri. Masalahnya, jatuhnya harga minyak otomatis mengurangi pendapatan negara dari sektor migas. Kaltim, sebagai provinsi produsen minyak, pasti terdampak. Paling pertama adalah turunnya penerimaan dana bagi hasil migas. 

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, dana bagi hasil (DBH) SDA untuk Kaltim pada 2018 adalah yang terbesar se-Indonesia. Totalnya mencapai Rp 10,21 triliun yang dibagikan kepada 10 kabupaten/kota. Di tubuh APBD Kaltim pada tahun yang sama, dana perimbangan yang terdiri dari DBH, dana alokasi umum, dan lain-lain, nyaris menyentuh Rp 5 triliun. Nominal ini bertahan dalam APBD 2019 dan APBD 2020. 

Apabila DBH Kaltim berkurang secara selaras dengan harga minyak dunia, yakni turun 30 persen, APBD Kaltim bisa terpangkas Rp 1,5 triliun tahun depan. Besaran yang hilang ini, sesuai asumsi di atas, mencapai 13 persen dari total APBD 2020 sebesar Rp 11,7 triliun. Keadaan yang sama dapat berlaku kepada kabupaten/kota dengan porsi DBH besar seperti Kutai Kartanegara.

Penurunan harga minyak dunia juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi Kaltim. Kebergantungan ekspor Kaltim kepada sektor migas dalam membentuk produk domestik regional bruto (PDRB) memang besar. Menurut statistik ekspor pada 2018 yang dilansir Badan Pusat Statistik Kaltim, ekspor migas Benua Etam sebesar Rp 46 triliun. Nominal itu setara 18 persen dari ekspor seluruh komoditas dari provinsi ini. Secara langsung, pelemahan harga minyak dunia berdampak kepada ekspor Kaltim. Yang berarti, mengancam pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal.  

"Alternatif yang bisa Kaltim ambil adalah menggenjot ekspor nonmigas dan meningkatkan perdagangan antar-pulau," jelas Codi. 

Memang, langkah seperti itu, tidak secara langsung menambah pundi pendapatan APBD. Namun demikian, pendapatan masyarakat akan meningkat sehingga menambah penerimaan pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi.

"Jika tidak segera direspons dari sekarang, APBD Kaltim bisa celaka dua belas," lanjut Codi.

Jatuhnya Harga Minyak dari Sisi Konsumsi 

Secara logika, turunnya harga minyak dunia ikut menurunkan biaya bahan baku BBM. Kemungkinan harga BBM nonsubsidi untuk ikut turun memang sangat besar. Namun untuk komoditas subsidi seperti premium dan solar, belum tentu menyesuaikan. Masalahnya adalah subsidi negara terhadap dua komoditas tersebut masih cukup besar.  

"Selain itu, perkembangan global menimbulkan pelemahan rupiah. Pemerintah akan sangat berhati-hati menurunkan harga BBM," jelas Codi. Pelemahan nilai mata uang masih disebabkan imbas perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat yang belum selesai, invasi virus corona yang membuat negara-negara besar menurunkan volume produksi, hingga perang harga minyak ini.

"Jika penurunan harga BBM tidak signifikan, harga komoditas di pasaran tidak berubah. Harga minyak dunia yang terkoreksi begitu dalam belum tentu melahirkan deflasi. Kesimpulannya, keadaan ini justru memperburuk perekonomian kita," tutup Codi. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar