Ekonomi

Mantan Gubernur NTT Tertarik Kembangkan Kedelai di Kukar, Lirik Lahan 47.000 Ha Eks HTI

person access_time 4 years ago
Mantan Gubernur NTT Tertarik Kembangkan Kedelai di Kukar, Lirik Lahan 47.000 Ha Eks HTI

Frans Lebu Raya di antara jajaran direksi kaltimkece.id. (istimewa)

Makanan berbahan dasar kedelai adalah favorit di Indonesia. Tapi bahan baku tersebut masih banyak didatangkan dari luar negeri.

Ditulis Oleh: Robithoh Johan Palupi
Selasa, 17 Maret 2020

kaltimkece.id Kebutuhan masyarakat akan kedelai di Indonesia cenderung terus naik. Celakanya, kebutuhan itu sebagian besar dipenuhi dari kegiatan impor. Prihatin akan hal ini, investor pun mulai melirik untuk mengembangkan komoditas kedelai di Kalimantan Timur.

Adalah Frans Lebu Raya, mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mulai melakukannya. Jika selama ini tanaman kedelai hanya dibudidayakan sebagai tanaman pelengkap, tidak demikian yang akan dilakukan gubernur yang memimpin NTT dua periode itu.

Akhir pekan lalu, Frans Lebu Raya bercerita kepada kaltimkece.id saat ditemui di salah satu hotel di bilangan Jalan P Hidayatullah, Samarinda. Ia datang ke Kaltim sejak pertengahan minggu lalu, dan sempat mengunjungi Desa Hambau, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara. Di lokasi tersebut, Frans Lebu Raya berencana membuka perkebunan kedelai skala besar. Lahan yang tersedia mencapai 47.000 hektare. Konsesi milik salah satu perusahan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang sejauh ini tak lagi produktif.

Awal ketertarikannya pada komoditas kedelai setelah melihat tren impor kedelai yang cenderung naik. Menurut data Badan Pusat Statistik, yang ditampilkan pada laman bps.go.id, pada 2018, impor mencapai 2,585 juta ton. Sebenarnya angka itu turun jika dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 2,671 juta ton. Namun pada lima tahun terakhir, sejak 2014, tren impor kedelai cenderung naik. Pada 2014 impor kedelai mencapai 1,965 juta ton. Kemudian naik pada 2015 mencapai 2,256 juta ton, dan 2016 mencapai 2,261 juta ton.

Impor kedelai Indonesia masih didominasi dari Amerika Serikat, yang persentasenya mencapai lebih 95 persen. Namun ada fakta yang menggelitik Frans Lebu Raya saat mencermati angka impor itu. Ternyata ada sebagian kecil importir mendatangkan bahan baku tempe dan tahu itu dari negara jiran, Malaysia.

Angka impor dari Malaysia memang tidak signifikan jika dibandingkan dengan angka impor dari Amerika Serikat. Pada 2018, angkanya hanya 10.413,1 ton. Namun ada peningkatan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Pada 2017 hanya 9.505 ton, dan 2016 hanya mencapai 5.647,3 ton. Tapi impor dari Malaysia sempat mencapai puncaknya pada 2011 yang mencapai 120.000 ton. Kala itu, Malaysia menjadi eksportir kedua untuk komoditas kedelai ke Indonesia. Kini volume impor kedelai dari Malaysia adalah yang terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Kanada.

“Pertanyaan besar saya, kalau Malaysia bisa mengembangkan komoditas kedelai, kenapa Indonesia tidak bisa?” ujar Frans Lebu Raya.

Dari catatan yang dibuatnya, setiap tahun konsumsi kedelai di Indonesia “memakan” anggaran mencapai Rp45 triliun. Nilai besar itu selama ini hanya dinikmati oleh importir. Sementara dengan luasan yang dimiliki Indonesia, banyak wilayah yang dianggap Frans Lebu Raya akan mampu menopang salah satu komoditas idola masyarakat Indonesia itu.

Keseriusan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu juga dibuktikan dengan menggandeng para ahli. Di antaranya adalah akademisi dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin, Makassar, Universitas Sam Ratulangi, Manado, dan Institut Pertanian Jogjakarta.

Dr Samuel Runtunuwu, ahli agronomi dari Universitas Sam Ratulangi memaparkan, kebiasaan masyarakat Indonesia lebih senang dengan kedelai yang bijinya besar. Dan itu cenderung kedelai impor. Sementara kedelai yang banyak dibudidayakan di Indonesia, ukurannya cenderung lebih kecil.

“Ini soal kebiasaan. Tantangan kita adalah bagaimana mengembangkan kedelai yang ukurannya besar-besar. Seperti yang didatangkan dari luar,” ujarnya.

Perkara ini ternyata sudah bisa diatasi oleh para ahli pertanian Indonesia. Benih unggul berjenis biosoy ternyata mampu membuahkan hasil serupa dengan kedelai impor. “Masalah lain adalah pengembangan kedelai di Indonesia belum dilakukan dalam skala besar. Jadi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri masih harus dilakukan dengan impor,” lanjutnya.

Sementara itu, Dr Dedy Tooy, yang merupakan ahli pada bidang teknologi pertanian Universitas Sam Ratulangi, menyebut jika dirinya sedang berupaya mencari formula yang tepat pada alat-alat pertanian yang akan digunakan. Apalagi kondisi tanah di Kalimantan Timur juga masih akan diuji kecocokannya untuk tanaman kedelai. “Kita harus teliti dengan benar, soal kimia tanah, cuaca, curah hujan, juga peralatan yang tepat. Apalagi ini juga program yang dibuka dalam skala besar,” ungkapnya.

Hanya saja, untuk program ini, Frans Lebu Raya dan tim belum ada yang bersedia membuka data berapa dana yang disiapkan. Hanya saja, Frans Lebu Raya juga akan menggandeng investor dalam hal permodalan. “Jangan dilihat besaran rupiah yang kami siapkan, yang jelas ini akan kami seriusi dan saya yakin dampaknya akan sangat besar pada perekonomian lokal dan nasional,” tuturnya.

Sebelum memulai program ini, Frans Lebu Raya juga sempat silaturahmi dengan pemangku kepentingan di Kaltim. Di antaranya ia menemui Gubernur Kaltim, dan Bupati Kutai Kartanegara. “Respons dari pemerintah sangat bagus. Kami berharap apa yang kami upayakan bisa mendapat kemudahan baik dari sisi perizinan dan juga kelancaran saat menjalankan rencana ini,” tuturnya. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar