Ekonomi

Membedah Tubuh Ekonomi Kaltim pada 2019, Cantik di Luar, Rentan Penyakit di Dalam

person access_time 4 years ago
Membedah Tubuh Ekonomi Kaltim pada 2019, Cantik di Luar, Rentan Penyakit di Dalam

Geliat aktivitas pertambangan batu bara di Sungai Mahakam. Ekonomi Kaltim masih bergantung komoditas ini. (foto: wahyumusyifa/kaltimkece.id)

Wajah perekonomian Kaltim pada 2019 menampilkan angka-angka yang segar dan cantik. Sayang, di balik itu, beragam penyakit ekonomi terus mengintai.

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 17 Desember 2019

kaltimkece.id Andaikata Provinsi Kaltim adalah sesosok manusia, ia amatlah rupawan. Sayangnya, itu hanya tampak dari luar karena cantik saja belum tentu sehat sentosa. Di dalam tubuh tersebut, masalah kesehatan ekonomi terus mengintai. Tubuh Kaltim saat ini sangat tidak kebal dan amat rentan terpapar penyakit.

Ditengok dari luar, kerupawanan ekonomi Kaltim jelas terlihat dari tanda-tanda vital yang disebut indikator makro-ekonomi. Indikator pertama adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur dari produk domestik regional bruto (PDRB) tahun berjalan dibanding PDRB tahun sebelumnya. Pada triwulan III 2019, menurut Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, pertumbuhan ekonomi provinsi mencapai 6,89 persen (year on year). Sebagai informasi, PDRB 2018 Kaltim sebesar Rp 464,82 triliun.

“Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di tengah lesunya perekonomian global yang memengaruhi perekonomian nasional,” jelas Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia Kaltim di Samarinda, Senin, 16 Desember 2019. Pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan III ini melebihi angka nasional yang hanya 5,02 persen.

Indikator kedua yang menunjukkan cantiknya wajah perekonomian Kaltim adalah inflasi. Sepanjang 2019, masih menurut catatan bank sentral, inflasi Kaltim terjaga di angka 3,5 persen (plus minus 1 persen). Dua daerah di Kaltim yakni Samarinda dan Mahakam Ulu, bahkan menjadi kota dan kabupaten terbaik di dalam menjaga inflasi untuk regional Kalimantan.

Adapun tanda-tanda makro-ekonomi yang ketiga adalah tingkat pengangguran terbuka. Seturut perekonomian Kaltim yang bertumbuh, pengangguran semakin menurun. Badan Pusat Statistik Kaltim merilis, tingkat pengangguran terbuka Kaltim pada Agustus 2019 adalah 6,09 persen atau sebanyak 110.574 orang. Angka ini menurun dibanding Agustus 2018 sebanyak 114.313 orang atau 6,60 persen.

Jika terlihat cantik dan segar dari tanda-tanda di atas, mengapa Kaltim masih amat rawan terserang penyakit? Jawabannya sederhana. Sumber kerupawanan dan kesehatan tubuh Kaltim itu hanya berasal dari satu jenis makanan. Sudah begitu, makanan tersebut diperoleh secara instan; ekspor batu bara mentah.

Bahwa asupan gizi terbesar dari tubuh perekonomian Kaltim adalah pertambangan batu bara adalah benar belaka. Ibarat manusia, Kaltim tak akan senantiasa sehat jika hanya terus-menerus mendapat asupan gizi dari satu jenis makanan, ambil contoh susu. Bahkan kecantikan pun tak bertahan lama jika seseorang setiap hari mandi susu. Manakala sumber susu itu habis, atau karena masalah distribusi menjadi langka, tubuh otomatis kekurangan asupan makanan. Bagi Kaltim, hal itu disebabkan karena provinsi ini belum memiliki “makanan” pengganti seperti telur, daging, dan sebagainya.

Demikianlah arti batu bara bagi Kaltim. Selama lebih dari 10 tahun, asupan gizi ekonomi Kaltim yang terutama adalah produksi emas hitam. Pada 2008, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 44,18 persen PDRB Kaltim. Tahun lalu, pada 2018, produksi emas hitam menyumbang 46,35 persen PDRB. Amat jelas bahwa Kaltim begitu bergantung terhadap batu bara sebagai sumber asupan perekonomian.

Baca juga:
 

Masalah yang datang kemudian adalah batu bara merupakan komoditas yang amat rentan terganggu. Sewaktu-waktu, tanpa angin dan hujan, harganya di pasar dunia bisa melorot. Jika sudah demikian, sebagaimana tubuh manusia pula, perekonomian Kaltim yang kekurangan asupan gizi membuat kekebalan tubuh berkurang. Kaltim mudah terserang penyakit. Mulai pertumbuhan ekonomi minus, pemutusan hubungan kerja massal, hingga inflasi yang tak terkendali.

Menilik riwayat kesehatan Kaltim, ancaman penyakit tersebut bukan omong kosong. Pada 2015 dan 2016, Kaltim pernah terserang wabah ini. Harga batu bara pada saat itu melorot. Pertumbuhan ekonomi Kaltim minus 1,2 persen pada 2015 dan 0,38 persen pada 2016. Keadaan itu membawa komplikasi. Jumlah PHK pada 2015 mencapai 48.843 kasus sehingga tingkat pengangguran terbuka naik tajam. Indikator merah seperti itulah yang membuat wajah Kaltim yang cantik menjadi hancur karena penyakit.

Mencari Pengganti

Andaikata Kaltim adalah manusia, provinsi ini seperti bayi yang hanya mendapat asupan gizi dari susu (baca: batu bara). Kaltim belum bisa mengunyah telur, daging, atau buah-buahan sebagai pengganti susu tersebut.

Mengapa begitu? Organ-organ tubuh Kaltim memang belum cukup untuk mengonsumsi makanan yang lain. Organ-organ tubuh Kaltim inilah yang disebut infrastruktur. Kondisinya belum sedewasa seperti Pulau Jawa yang memiliki kelengkapan infrastruktur. Mulai jaringan jalan yang memadai, pusat-pusat industri, hingga ketersediaan energi.

Sejak bertahun-tahun silam, Bank Indonesia telah mengingatkan akan ringkihnya tubuh Kaltim karena hanya bergantung satu komoditas. Kaltim disarankan segera mengembangkan organ-organ tubuhnya dengan membangun infrastruktur. Ketersediaan jaringan transportasi, hadirnya pusat industri, hingga ketersediaan energi, diyakini membuat Kaltim lepas dari kebergantungan emas hitam. Suatu saat nanti, Kaltim mampu mengekspor produk hilir batu bara maupun minyak sawit mentah. Inilah komoditas yang kelak menjadi substitusi “susu” tadi.  

“Kami menyebutnya transformasi. Secara nasional, transformasi telah menjadi kebijakan ekonomi bersama-sama dengan sinergi dan inovasi,” jelas Tutuk dari Bank Indonesia Perwakilan Kaltim. Ia membenarkan, transformasi ekonomi tak akan terwujud tanpa membangun infrastruktur.

Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi satu suara dengan saran BI tersebut. Walaupun dalam setahun pertama kepemimpinannya bersama Isran Noor, Hadi mengakui wujud transformasi itu belum tampak. Namun, bukan berarti tanpa persiapan. Saat ini, Kaltim sedang menyelesaikan pembangunan empat kawasan industri (KI) khusus. Keempatnya adalah KI Buluminung di Penajam Paser Utara, KI Kariangau di Balikpapan, KI Bontang, dan KI Maloy di Kutai Timur.

“Sudah banyak investor yang menemui Pemprov Kaltim untuk membuka usaha di kawasan-kawasan tersebut. Di Bontang, rencananya dibuka pabrik minyak goreng. Di Maloy, ada industri hilir batu bara dan CPO,” jelasnya, Senin, 16 Desember 2019.

Wagub menambahkan, kehadiran ibu kota negara di Kaltim juga berpeluang menambah investasi. Sejumlah kedutaan besar seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, hingga Malaysia, juga telah bertemu dengan pemprov. Berbagai peluang investasi mulai dibicarakan sehubungan dengan pemindahan ibu kota negara. Walaupun demikian, Hadi menyatakan, realisasinya belum terlihat pada 2020.

“Ibu kota negara juga pembangunannya dimulai pada akhir 2020,” jelasnya.

Atas kondisi tubuh perekonomian Kaltim yang sedemikian, Bank Indonesia mengambil prediksi realistis. BI memperkirakan, Kaltim masih bergantung kepada batu bara di sepanjang tahun depan. Pertumbuhan ekonomi Kaltim pada 2020 pun diprediksi hanya sekitar 2,8 persen sampai 3,2 persen (year on year). Adapun inflasi, tidak berbeda jauh dari 2019 yakni 3 persen (plus-minus 1 persen).

Itu berarti, asupan gizi ekonomi Kaltim setahun ke depan masih bergantung susu yang bernama batu bara. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar