Ekonomi

Pukulan Berat Sektor Batu Bara: Setahun Harga Jatuh, Ekspor Terganggu Covid-19, PHK Massal di Depan Mata

person access_time 4 years ago
Pukulan Berat Sektor Batu Bara: Setahun Harga Jatuh, Ekspor Terganggu Covid-19, PHK Massal di Depan Mata

Aktivitas pengangkut batu bara di Sungai Mahakam, Samarinda, sebelum pandemi Covid-19 (foto: dokumentasi kaltimkece.id)

Anjloknya harga dunia menyebabkan sektor batu bara di Kaltim memasuki masa suram. Bayang-bayang krisis 2015-2016 di depan mata. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Jum'at, 05 Juni 2020

kaltimkece.id Sektor pertambangan batu bara melewati masa-masa yang berat. Tren harga komoditas energi ini terjengkang sejak setahun belakangan. Kondisi ini diperkirakan tidak membaik dalam waktu dekat. Selain permintaan yang terus menurun, negara-negara tujuan ekspor tengah mengendurkan konsumsi batu bara lantaran berjibaku dengan pandemi Covid-19.

Kurva harga batu bara internasional memang melorot sejak Juli 2019. Waktu itu, harga emas hitam di bursa internasional masih prima di angka USD 82,40 per ton. Pada pembukaan 5 Juni 2020, harga batu bara di bursa ICE Newcastle tinggal USD 56,25 per ton. Dalam durasi 11 bulan itu, rekor terendah tercatat pada 27 April 2020 yaitu USD 51,60 per ton (Bursa ICE Newcastle Coal/LQQ20).

Tren harga batu bara dunia menyebabkan harga batu bara acuan (HBA) yang dikeluarkan Kementerian ESDM ikut melorot. HBA diperoleh dari rata-rata empat indeks harga batu bara dunia. Sepanjang 2019, rerata HBA adalah USD 77,92 per ton atau jatuh dari rerata HBA pada 2018 yang sebesar USD 98,96 per ton. Sementara itu hingga Mei, sesuai rilis Kementerian ESDM, rerata HBA sepanjang 2020 jatuh menjadi USD 65,35 per ton.

Perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat diikuti melemahnya harga minyak dunia adalah salah dua dari faktor yang menekan performa batu bara. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sibuk meladeni perang dagang AS hanya 6,1 persen sepanjang 2019. Pertumbuhan tersebut adalah yang terendah sejak 1990. Padahal, Tiongkok merupakan pasar utama ekspor batu bara Indonesia, khususnya Kaltim.

Pada Januari 2020, banyak analis memperkirakan, harga batu bara dunia kembali merangkak. Namun demikian, rebound yang diharap-harap itu tidak terjadi. Pandemi Covid-19 yang dimulai sejak Desember 2019 di Tiongkok justru memperburuk keadaan. 

Dalam keterangan resminya, Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) telah memperkirakan dampak pandemi terhadap permintaan batu bara dunia. India sebagai negara tujuan ekspor batu bara utama Indonesia --di luar Tiongkok-- telah mengambil kebijakan lockdown

“Beberapa pelabuhan di India ditutup dan permintaan akan listrik terutama untuk sektor perindustrian turun. Konsumsi listrik di beberapa industri manufaktur di India mengalami penurunan penggunaan daya kurang lebih 30 persen,” tulis rilis APBI. Sampai Maret 2020 saja, permintaan energi dari India telah turun 40 persen (year on year).

Covid-19 juga memengaruhi permintaan dari Korea Selatan yang berencana tidak mengoperasikan sejumlah pembangkit listrik batu bara. Setali tiga uang dengan pasar Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang di-lockdown. Vietnam, contohnya, mengurangi konsumsi batu bara sebesar 20 persen. 

“Gangguan pasokan minyak mentah yang mengakibatkan harga jatuh 30 persen turut melemahkan harga batu bara. Harus dicatat, harga kedua komoditas tersebut bergerak bersamaan,” tutup APBI dalam rilisnya.

Arif Hadianto, Corporate Communications Manager Berau Coal, mengamini situasi tersebut. Menurutnya, kondisi bisnis batu bara saat ini dalam situasi yang berat. Tren harga batu bara dan permintaan yang turun diperburuk dampak pandemi Covid-19. Perlambatan ekonomi dunia diprediksi mengarah kepada resesi global.

“Perusahaan pertambangan batu bara saat ini dituntut lebih efisien dan efektif di setiap operasionalnya supaya mampu melewati situasi sulit ini,” kata Arif, Kamis, 4 Juni 2020.

Ancaman Resesi 2015-2016

Pola penurunan harga batu bara dunia saat ini amat mirip dengan resesi empat tahun silam. Pada 2015-2016, krisis di Kaltim bermula dari harga komoditas yang melorot dengan durasi panjang dan konsisten. Kurva harga batu bara pada masa itu mulai curam sejak 2013. Tiga tahun lamanya, harga batu bara terus terjun hingga level terendah yakni USD 49,90 per ton pada Januari 2016.

Harga komoditas yang melorot dengan durasi panjang pada 2013-2016 memukul Kaltim sangat berat. Pertumbuhan ekonomi Kaltim, untuk pertama kali dalam satu dasawarsa terakhir, di angka negatif. PHK massal berlangsung di banyak perusahaan batu bara. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat, tak kurang dari 10 ribu orang di-PHK di Kaltim, tidak termasuk yang dirumahkan. 

Resesi ini menghantam perusahaan di seluruh level. Sedari kecil dan menengah yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) hingga korporasi raksasa pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Industri ikutan batu bara seperti transportasi, perhotelan, katering, hingga tempat hiburan, turut terdampak.   

Kondisi sekarang ini adalah harga batu bara dunia sudah di level USD 51-56 per ton. Angka sedemikian nyaris mendekati posisi pada 2016. Di samping itu, tren anjloknya harga telah setahun berjalan dan diperkirakan belum membaik dalam waktu dekat. 

Malahan, setahun pertama saja dilewati, pertumbuhan produk bruto dari sektor ini telah negatif. Bank Indonesia Perwakilan Kaltim mencatat, PDRB batu bara pada triwulan I 2020 sebesar–0,48 persen (minus). Produksi batu bara pada triwulan I 2020 juga terkontraksi -6,17 persen (yoy). 

“Padahal, sektor pertambangan menyumbang 44,18 persen PDRB Kaltim di sisi lapangan usaha. Sedikit saja sektor ini terkontraksi, efeknya amat terasa,” jelas Tutuk SH Cahyono, kepala BI Perwakilan Kaltim.

Baca juga:
 

Indikasi bahwa Kaltim dalam ancaman besar resesi seperti pada 2015-2016 adalah jumlah tenaga kerja yang di-PHK. Sampai April 2020, sudah 22.027 orang di-PHK dan 23.193 orang dirumahkan di Kaltim. Angka tersebut dihasilkan BI dari kompilasi data Kemenakertrans dan BPJS Ketenagakerjaan. Yang patut dicatat lagi, angka PHK ini sudah melebihi PHK massal pada 2015-2016.

“Pegawai yang di-PHK dan dirumahkan ini didominasi sektor perhotelan, pertambangan, dan perdagangan,” jelas Tutuk SH Cahyono.

Dinas Ketenagakerjaan Kaltim juga merilis angka PHK dan orang yang dirumahkan. Pada 12 Mei 2020, jumlah tenaga kerja yang di-PHK di Kaltim sebanyak 1.629 orang sementara yang dirumahkan 7.959 orang. Sebanyak 972 orang yang dirumahkan berasal dari sektor pertambangan. 

Mengapa Produksi Terlihat Tinggi?

Ketika pasar luar negeri sangat lesu, kebijakan mengejar produksi untuk ekspor justru bisa merugikan. Salah satu strategi untuk menjaga perusahaan tetap beroperasi ialah memenuhi kuota dalam negeri. Kuota ini merupakan kewajiban setiap produsen yang diatur dalam Domestic Market Obligation (DMO). Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25 persen produksi batu bara harus dijual ke PLN. 

Pada 2020, Kementerian ESDM mematok kuota DMO sebanyak 155 juta ton. Sekitar 70 persen atau 109 juta ton diserap PLN, 11 persen atau 16,52 juta ton untuk industri pengolahan dan pemurnian, serta industri semen sebesar 10 persen atau 14,54 juta ton.

Keadaan ini dapat menjelaskan fenomena berikut. Di tengah situasi pertambangan yang suram, kapal-kapal pengangkut batu bara masih berseliweran seperti di muara Sungai Makaham. Situasi ini diprediksi tidak akan lama. Begitu kuota domestik terpenuhi, kebijakan menggenjot produksi ketika permintaan dunia sedang rendah justru memperburuk keadaan. Pasokan batu bara bisa berlebih atau oversupply. Keadaan itu justru semakin menghancurkan harga komoditas itu sendiri. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar