Lingkungan

Merawat Benteng Kehidupan di Pesisir Sendang Biru

person access_time 1 year ago
Merawat Benteng Kehidupan di Pesisir Sendang Biru

Pantai Clungup di Dusun Sendang Biru, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Panorama indah berkat ekosistem mangrove yang terjaga di kawasan tersebut. FOTO: TOURDE JAVA UNTUK KALTIMKECE.ID

Ikan tuna tidak begitu saja bergerombol di laut selatan Jawa. Nun jauh di pesisir Dusun Sendang Biru, ada hutan mangrove yang memberikan restunya. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Kamis, 24 November 2022

GELADAK kapal yang setengah kusam itu masih berayun dibuai ombak sewaktu Darmono beranjak dari ruang mesin. Nelayan berusia 37 tahun itu lantas memutar beberapa penutup drum untuk melihat persediaan bahan bakar. Ia mengangguk puas. Perahu berdaya tampung 12 gross tonnage (GT) itu sepenuhnya siap menaklukkan keganasan Lautan Hindia. 

Selasa siang, 22 November 2022, Darmono membersihkan kedua tangannya yang berlumuran minyak pelumas. Ia masih di atas kapal bercat merah-biru yang bertambat di Pelabuhan Pondokdadap, dekat Pantai Clungup, Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. 

Darmono bergabung dengan keempat rekannya yang asyik menyesap rokok di buritan. Mereka melaporkan pekerjaan masing-masing. Pada siang yang berawan itu, seluruh awak kapal berbagi tugas untuk persiapan melaut selama 10 hari. Darmono mengecek mesin dan bahan bakar. Mesin diesel berjenama Mitsubishi dengan kapasitas 7.500 cc, setara mesin truk tronton, dalam kondisi prima. Persediaan bahan bakar aman. Solar sebanyak 1.227 liter atau seberat 1 ton sudah di wadahnya. 

Ada pula 15 lampu sorot dengan total daya 7.000 watt yang kondisinya apik. Penerangan itu wajib dimiliki untuk menarik perhatian ikan supaya berkumpul sehingga memudahkan nelayan memancing. 

Rekan Darmono yang lain melaporkan bahwa peralatan pancing sudah beres. Mata-mata kail telah disimpul di senar nilon merek Daiwa berdiameter 1,8 milimeter. Es batu untuk mengawetkan ikan sebentar lagi juga datang. Kapal itu memesan 100 balok es batu dengan berat 1 ton. Dua karung beras berukuran 25 kilogram telah disiapkan di dapur. Itulah sumber karbohidrat mereka selama 10 hari ke depan.

“Jika dihitung-hitung, modal untuk sekali melaut seperti ini sekitar Rp20 juta,” urai Darmono ketika ditemui reporter kaltimkece.id di tepi dermaga. 

Darmono (ketiga dari kanan) bersama para awak kapal. Bersiap-siap pergi ke laut selama 10 hari. FOTO: FELANANS MUSTARI-KALTIMKECE.ID.
 

Kapal Darmono akan bepergian sejauh 15 mil laut atau sekitar 27 kilometer dari pantai selatan Pulau Jawa. Pada musim angin barat seperti bulan November ini, laut kurang bersahabat. Hasil tangkapan tidak terlalu besar. Darmono dan kawan-kawan biasanya hanya mengumpulkan 1 ton ikan layur. 

“Satu kilogram ikan layur harganya sekitar Rp60.000. Kalau tangkapan 1 ton, bisa dapat Rp60 juta,” hitung Darmono seraya mereguk kopi hitamnya yang sudah dingin sedari tadi. Pendapatan itu akan dipotong modal Rp20 juta. Setelah itu, dibagi antara pemilik kapal, nakhoda, dan para awak. Darmono bersama awak yang lain biasanya menerima Rp 2 juta untuk bekerja selama 10 hari di laut. 

“Berbeda saat musim tuna. Kami bisa dapat Rp15 jutaan per orang dalam sebulan,” imbuh nelayan yang merantau dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tersebut. Rekan-rekan Darmono mengangguk membenarkan penjelasannya. 

Kapal nelayan bertambat di Pelabuhan Pondokdadap. Tempat pelelangan ikan juga berdiri di situ. FOTO: FELANANS MUSTARI-KALTIMKECE.ID
 

Nelayan di Dusun Sendang Biru seperti Darmono dikenal sebagai penangkap ikan tuna yang ulung. Dusun itu dihuni 2.000 kepala keluarga. Hampir setengah penduduknya adalah nelayan. Sebelum pelaut-pelaut dari Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, datang ke Sendang Biru pada 1995, nelayan setempat menangkap ikan dengan jala. Teknik tersebut bersalin menjadi pancing ulur dan rumpon yang diperkenalkan orang-orang Sinjai sejak 2005. 

Perairan Sendang Biru berkembang pesat karena dukungan pelabuhan alami. Pulau Sempu yang memunggungi Samudra Hindia menyebabkan perairan di Pelabuhan Pondokdadap teduh. Selat kecil di antara Pulau Jawa dan Pulau Sempu itu memiliki kedalaman 35 meter. Kapal besar sekalipun bisa masuk ke sana. 

Pelabuhan dikelola Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap Malang. UPT tersebut bernaung di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur. UPT memiliki kewenangan di tempat pelelangan ikan di Pondokdadap yang diklaim sebagai satu-satunya lokasi lelang ikan di Jawa Timur. 

Tuna adalah tangkapan nelayan dengan nilai ekonomi terbesar. Menukil catatan UPT, hasil tangkapan tuna pada 2021 adalah 11.251 ton atau senilai Rp180 miliar. Tahun ini, sampai November 2022, tangkapan tuna mencapai 10.599 ton atau setara Rp226 miliar. 

“Produksi tersebut diperoleh dari 808 kapal dari berbagai jenis dan ukuran,” terang Mufid Supriyanto, kepala UPT Pelabuhan Perikanan Pondokdadap Malang. 

Mufid Supriyanto, kepala UPT Pelabuhan Perikanan Pondokdadap Malang. FOTO: FELANANS MUSTARI-KALTIMKECE.ID
 

Ikan tuna dari selatan Malang diekspor ke Uni Eropa. Harganya bisa menembus Rp75 ribu per kilogram. Seekor tuna dewasa dengan berat 20 kilogram pun bisa dihargai Rp1,5 juta dalam lelang. 

“Nelayan Dusun Sendang Biru sangat bergantung dari hasil laut. Kehidupan kami akan baik-baik saja selama ikan-ikan masih tersedia di laut,” tutur Sekretaris Koperasi Unit Desa Mina Jaya, Budi Ismiyanto. Koperasi tersebut menaungi 177 nelayan dan petani di Dusun Sendang Biru. 

“Kami sadar bahwa hasil ikan yang melimpah itu tidak lepas dari keadaan lingkungan di pesisir,” imbuh Budi. Pernyataan itu sepenuhnya tak keliru. Lingkungan pesisir yang Budi maksud ialah tiga benteng ekosistem yang menjaga kehidupan berbagai makhluk di lautan. 

Tiga Benteng di Pesisir 

Berlimpahnya ikan tuna, tongkol, dan cakalang di perairan Sendang Biru tidak turun begitu saja dari langit. Ia lahir dari sebuah orkestra alam yang amat panjang. Nada pertama dalam orkestra tersebut adalah ekosistem mangrove di pesisir Sendang Biru. 

“Di pantai tropis, kondisi ekosistem pesisir sangat memengaruhi jumlah tangkapan ikan. Kata kuncinya adalah rantai makanan,” demikian Esti Handayani Hardi, guru besar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur. 

Profesor perempuan itu menyebutkan tiga ekosistem utama sebagai benteng penjaga di pesisir. Ketiganya yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Esti bertamsil bahwa ketiga ekosistem itu merupakan fondasi dari sebuah bangunan bernama piramida rantai makanan. Kerusakan satu ekosistem akan menyebabkan piramida goyah. Manakala ketiga ekosistem rusak bersamaan, sebagaimana sebuah rumah, piramida akan runtuh. 

“Dengan kata lain, kiamat bagi kehidupan di laut,” sambungnya. 

Benteng pertama adalah ekosistem mangrove. Hutan bakau merupakan tempat bertemunya kehidupan di daratan dan lautan. Daun bakau yang berguguran dan membusuk kaya akan nutrisi bagi plankton hewani (zooplankton). Akar-akar mangrove menghasilkan oksigen terlarut yang berguna bagi fotosintesis plankton nabati (fitoplankton). Kedua jenis plankton itu adalah penghuni lantai terbawah piramida rantai makanan sebagaimana ditulis Yonavin Maryon Titaley dkk dalam Keragaman dan Kelimpahan Plankton di Perairan Mangrove (2021, hlm 2-5). 

Plankton yang tumbuh subur di hutan mangrove menjadi surga bagi penghuni lantai di atas mereka. Ikan yang baru menetas, udang, maupun kepiting, akan memangsa plankton. Berkat mangrove pula, ikan-ikan kecil tumbuh dengan aman. Pokok bakau dan akarnya melindungi mereka dari predator maupun empasan ombak. Pepohonan itu juga menyaring air di sekitar hutan mangrove sehingga jernih.

“Atas peran itu, para ahli menyebut ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan bagi ikan,” papar Esti.

Esti Handayani Hardi, guru besar Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. Peneliti di kawasan mangrove Delta Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID
 

Sebagian jenis ikan yang beranjak dewasa akan bermigrasi dari hutan mangrove. Mereka datang ke ekosistem padang lamun, benteng kedua yang membentuk fondasi piramida rantai makanan di laut. 

Padang lamun terdapat di perairan dangkal, tidak jauh dari ekosistem mangrove. Lamun adalah bunga laut yang mirip sekali dengan tumbuhan di darat. Ia memiliki akar, daun, bunga, dan buah. Meskipun tak sepopuler ekosistem mangrove dan terumbu karang, ekosistem lamun memikul peranan yang sama penting.

Permukiman bunga laut ini mampu menjernihkan air. Sebagian ikan juga bertelur di sini. Padang ini kaya nutrisi dari pembusukan daun lamun. Ikan dan udang yang datang dari ekosistem mangrove ikut mencari makan di taman bunga laut tersebut. 

Berdiri di antara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang, padang lamun berfungsi sebagai penyeimbang. Padang ini mampu mengurangi zat hara. Ketika zat hara di dalam air berlebihan, ledakan fitoplankton bisa terjadi. Makhluk alga yang tak kasat mata itu akan menghabiskan oksigen. Akibatnya adalah bencana. Oksigen yang rendah bisa menimbulkan kematian massal bagi ikan (Manfaat Padang Lamun sebagai Penyeimbang Ekosistem Laut di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 2020, hlm 3).

Benteng terakhir dari fondasi piramida rantai makanan adalah ekosistem terumbu karang. Lain cerita dengan mangrove dan padang lamun, terumbu karang paling dekat dengan lautan lepas. Ekosistem ini merupakan tempat pertemuan ikan yang baru dewasa dengan ikan-ikan besar dari samudra. Itulah sebabnya, terumbu karang adalah ekosistem dengan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia.

“Ketiga ekosistem yaitu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang merupakan dasar, fondasi, yang menjaga kehidupan di lautan,” sebut Profesor Esti dari Universitas Mulawarman mengambil kesimpulan.  

Antara Mangrove dan Tuna

Atas restu ekosistem mangrove, nelayan Sendang Biru bisa menangkap tuna yang bernilai ekonomi tinggi. Semua itu bisa dijelaskan lewat piramida rantai makanan yang panjang. 

Rantai makanan yang pertama adalah plankton yang dimangsa udang, kepiting, dan ikan-ikan kecil di bawah pohon bakau. Udang dan ikan yang beranjak dewasa lantas menuju padang lamun untuk mencari makanan. Mereka kemudian disantap ikan yang lebih besar seperti teri dan baronang. 

Ikan teri kemudian pergi ke ekosistem terumbu karang. Mereka menjadi mangsa bagi tongkol-tongkol muda. Tongkol yang sudah dewasa kemudian pergi mencari makanan di laut yang lebih dalam. Tongkol dewasa itu menjadi santapan utama ikan tuna yang sudah menanti di lautan lepas.

“Jadi, bisa dibayangkan apabila ekosistem mangrove itu tidak berfungsi. Runtuhnya piramida makanan berarti tidak akan ada tuna yang bisa ditangkap,” jelas Esti Handayani. 

Infografik piramida rantai makanan di lautan. DESAIN GRAFIK: MUHAMMAD IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Bencana itu pernah menerjang Dusun Sendang Biru pada 24 tahun lampau. Satu dari tiga benteng tadi, yakni ekosistem mangrove, hancur dalam sekejap. Kawasan mangrove di garis Pantai Clungup itu sebenarnya berstatus hutan lindung. Sewaktu Orde Baru tumbang pada 1998, terjadi anarki atau kekosongan pemerintahan dan penegakan hukum. Sebagian masyarakat menebangi kayu-kayu bakau di pesisir Sendang Biru. 

Dari sekitar 100 hektare hutan mangrove, hanya 5 hektare yang tersisa. Pesisir berubah menjadi gersang. Ikan-ikan berkurang. Beberapa nelayan memilih menggunakan racun untuk mencari ikan. Padang lamun dan ekosistem terumbu karang ikut rusak. 

Populasi plankton di hutan bakau segera menurun. Udang dan kepiting kehilangan sumber makanan. Ikan tidak memiliki tempat bertelur dan tumbuh dewasa. Penurunan populasi ikan kecil, kepiting, dan udang, menyebabkan kelompok ikan teri dan biji nangka kehilangan sumber makanan. 

Begitulah seterusnya. Tongkol tidak lagi mendekati perairan Sendang Biru karena tidak ada teri untuk dimangsa. Mereka pergi ke tempat lain yang menyediakan makanan. Tuna-tuna yang sebelumnya menunggu mereka di 20 mil laut perairan Sendang Biru, boyongan pergi mengikuti migrasi tongkol. Tangkapan tuna para nelayan akhirnya turun drastis.

Saptoyo, kini 53 tahun, adalah penduduk yang tumbuh dan besar di pesisir mangrove Sendang Biru. Ia adalah orang pertama di Dusun Sendang Biru yang menyadari dampak kerusakan mangrove. Bersama sedikit warga yang masih peduli, Saptoyo mulai menanami pohon bakau pada 2005. Mereka bekerja secara mandiri selama enam tahun. 

Saptoyo menjadi ketua kelompok masyarakat pengawas pada 2012. Ia juga membentuk Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru supaya bisa mengelola hutan lindung. Putrinya, Lia Putrinda Anggawa Mukti, sekarang 29 tahun, turut membantu. Mereka menanam mangrove bersama puluhan anak muda dan warga setempat. 

“Ketika menanami mangrove pada 2015, saya sempat dibawa ke kantor polisi di Malang selama beberapa hari. Tuduhannya yaitu perbuatan ilegal berupa aktivitas di hutan lindung. Undang-undang di bidang kehutanan dan kawasan pesisir masih tumpang tindih waktu itu,” kenang Saptoyo kepada kaltimkece.id.

Saptoyo (kiri), tokoh dan aktivis yang peduli lingkungan. Berhasil mengembalikan 77 hektare hutan mangrove yang rusak. FOTO: FELANANS MUSTARI-KALTIMKECE.ID
 

Upaya menanam mangrove selama 17 tahun mulai nampak hasilnya. Sebanyak 77,7 hektare lahan berhasil ditanami. Seluas 46,3 hektare di antaranya adalah pohon bakau yang sudah besar dan memiliki kanopi. Ekosistem mangrove di Pantai Clungup pun perlahan-lahan kembali. Ikan tuna yang dulu sempat menghilang, satu per satu kembali menyantap umpan di kail-kail yang dijulur nelayan. 

Keberadaan mangrove memang memiliki hubungan yang erat dengan hasil tangkapan ikan. Hasil penelitian Jero Ketut dkk pada 2017 menunjukkan korelasi itu. Penelitian ini mengambil dua lokasi di Bali. Tempat pertama adalah pesisir yang memiliki mangrove seluas 2.397 hektare. Hasil tangkapan nelayan di lokasi tersebut sebesar 1,42 kilogram per hari per nelayan. Di tempat penelitian kedua, lahan bakaunya lebih sempit. Luasnya 1.968 hektare. Produksi ikan hasil tangkapan nelayan hanya 0,8 kilogram per hari (hlm 75). 

“Dalam penelitian lain (Nugraha dkk, 2021), korelasi antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap adalah 0,7257 atau korelasi positif. Bahasa sederhananya, apabila setengah dari luas mangrove di suatu pesisir rusak, tangkapan seorang nelayan berkurang hampir setengah dari biasanya,” terang Esti Handayani Hardi dari Universitas Mulawarman.

Anugerah bagi Penjaga Benteng 

Kabut kelam yang merundung Dusun Sendang Biru perlahan-lahan sirna. Pokok-pokok bakau kembali berdiri lewat upaya Saptoyo bersama warga desa. Padang lamun dan terumbu karang yang tersisa berhasil diselamatkan. Pantai Clungup yang dulu tandus kini jernih dan asri. 

Pantai Tiga Warna adalah satu di antaranya. Pantai itu berdiri di dekat Pelabuhan Pondokdadap di Dusun Sendang Biru. Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru yang dibentuk Saptoyo mengelola pantai dengan gradasi warna karena perbedaan kedalaman. Lokasi itu dijadikan ekowisata yang ramai dikunjungi pelancong.

Sepanjang tahun ini, sampai Agustus 2022, sudah 31.343 wisatawan yang datang. Kebanyakan pengunjung berasal dari Malang, Surabaya, Sidoarjo, hingga Mojokerto. Tiket masuk ke Pantai Tiga Warna adalah Rp10.000 per pengunjung. Sementara itu, biaya jasa pemandu sebesar Rp150.000 untuk setiap lima wisatawan. Apabila dihitung kasar, pendapatan pengelola sepanjang Januari hingga Agustus 2022 menyentuh Rp1,24 miliar. 

“Pendapatan tersebut kami bagi untuk beberapa urusan. Operasional lembaga dapat 30 persen; pengembangan SDM, sarana-prasarana, dan atraksi sebesar 40 persen; sedangkan 30 persen lagi untuk konservasi,” jelas Lia Putrinda. Putri Saptoyo itu menjadi aktivis lingkungan sejak masih belia. 

Keindahan Pantai Tiga Warna. Dikelola menjadi ekowisata. FOTO: INSTAGRAM PANTAI TIGA WARNA
 

Tangkapan tuna yang mulai melimpah turut membawa rezeki bagi industri rumah tangga. Beberapa warga Dusun Sendang Biru mengolah ikan tuna menjadi abon. Harganya Rp20 ribu untuk 100 gram. 

“Memang masih sukar memasarkannya. Harganya kalah dengan abon daging sapi. Tapi kami yakin, kualitas abon tuna segera dikenal luas. Produk ini menjanjikan,” tutur Budi Ismiyanto, sekretaris KUD Mina Jaya di dusun tersebut. 

Embusan angin menimang-nimang perahu nelayan dengan lembut di Pelabuhan Pondokdadap. Darmono, seorang nelayan di dermaga itu, sudah bersiap mengarungi laut selatan. Gerombolan ikan menanti mata kail mereka di sana. 

Darmono mengaku tahu bahwa keberadaan mangrove dan terumbu karang amat penting bagi nelayan. “Kami sudah pernah merasakannya ketika mangrove rusak,” kata Darmono seraya melanjutkan, “Tapi kini, keadaannya sudah jauh lebih baik.”

Segaris senyum tersiar dari bibirnya. Darmono tiba-tiba rindu dengan musim tuna pada bulan April. Pada bulan-bulan seperti itu, ia bisa memperoleh Rp15 juta dalam sebulan. 

“Sudah enggak sabar menunggu musim tuna,” tutur Darmono seraya memutar kunci kontak untuk menyalakan mesin kapal.

Penduduk Dusun Sendang Biru memperoleh begitu banyak anugerah dari lautan. Semua itu bisa mereka rasakan karena benteng-benteng lingkungan di pesisir berhasil dijaga dan dipulihkan. Demikianlah nyanyian orkestra alam. Alam selalu memiliki cara tersendiri untuk berterima kasih kepada mereka yang telah menjaganya. (*)

Senarai Kepustakaan

Dudi, Rikan, dkk. 2016. Keragaman Mangrove terhadap Sumber Saya Ikan pada Ekosistem Mangrove Teluk Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(4): 367-375. 

Ketut, Jero, dkk. 2018. Daya Dukung Ekosistem Mangrove terhadap Hasil Tangkap Nelayan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences 4(1), 67-77 (2018). 

Muzani dkk. 2020. Manfaat Padang Lamun sebagai Penyeimbang Ekosistem Laut di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jurnal Geografi,  Geografi dan Pengajarannya, ISSN 1412-6982 Volume XVIII Nomor 1 Juni 2020. 

Nugraha, YA, dkk. Mangrove ecosystem related to fisheries productivity in the coastal area of Karawang Regency, West Java, Indonesia. OP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 800 012016

Titaley, Yonavin Maryon, dkk. 2021. Keragaman dan Kelimpahan Plankton di Perairan Mangrove. Musamus Fisheries and Marine Journal 2021 Vol.3 (No.2).

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar