Lingkungan

Pemerintah Sudah Empat Kali Diingatkan sebelum Longsor Sangasanga Terjadi

person access_time 5 years ago
Pemerintah Sudah Empat Kali Diingatkan sebelum Longsor Sangasanga Terjadi

Foto: Ika Prida Rahmi (kaltimkece.id)

Longsor di Sangasanga mestinya bisa dicegah. Jauh sebelum bencana terjadi, warga telah mengingatkan pemerintah. Bukan hanya sekali dua kali.

Ditulis Oleh: Ika Prida Rahmi
Selasa, 04 Desember 2018

kaltimkece.id Bencana longsor di Sangasanga pada 29 November 2018 lalu sudah diprediksi. Sejak pertama alat berat menginvasi kawasan sekitar RT 09 di Kelurahan Jawa itu, penduduk mulai khawatir. Kala itu medio Februari 2018.

Hitung-hitungan warga, aktivitas tambang Pit 1 West PT Adimitra Baratama Nusantara atau ABN, hanya berkisar 178 hingga 300 meter dari permukiman. Warga mengklaim lokasi tambang semula kawasan bukit. Eksplorasi emas hitam membuatnya menjadi lubang.

Yang terjadi berikutnya, pengerukan terus mendekati permukiman. Jarak tambang dengan rumah warga lama-lama sisa 125 meter. Perasaan datangnya bahaya memicu reaksi.

Penduduk membentuk Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Sangasanga Peduli Lingkungan atau FKPMSPL. Dari situ aduan dikemukakan. Surat dikirim ke berbagai pihak. Isinya penolakan terhadap aktivitas PT ABN di RT 09 Kelurahan Jawa.

Tertanggal 24 Agustus 2018, surat ditujukan kepada Gubernur Kaltim, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM Kaltim, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Selain itu, Kepala Bappeda Kaltim maupun Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kaltim. Perwakilan PT Pertamina EP Sangasanga tak ketinggalan disurati, termasuk kelompok aktivis lingkungan Jaringan Advokasi Tambang alias Jatam Kaltim.

"Kami sudah berkali-kali memperingati. Lisan maupun unjuk rasa. Mulai Febuari hingga April. Tapi perusahaan tetap bergerak,” sesal Adi Prayetno, perwakilan warga.

“Kemudian bulan Agustus, kami menyurati pemerintah kabupaten, provinsi, dinas terkait, hingga kecamatan. Tidak ada respons," ungkapnya kepada kaltimkece.id, 3 Desember 2018.

Surat ditembuskan kepada Camat Sangasanga dan Lurah Jawa. Ditandatangani seluruh warga di 9 RT lingkungan tersebut. Tak satupun menggubris hingga bencana longsor menyerang. "Jadi, Camat bohong kalau bilang tidak tahu ada aktivitas tambang di sana.”

Warga merasa PT ABN dan mitranya dalam menambang sudah menabrak regulasi. Termasuk Rencana Kerja Tahunan (TKT) maupun Amdal.

Undang-Undang atau UU 4/2009 tentang Minerba, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah ketentuan yang diduga dilanggar. Termasuk Peraturan Pemerintah 27/2012 tentang Izin Lingkungan Hidup serta aturan teknis penambangan batu bara dari Ditjend Minerba.

"Komplain kami sudah empat kali ke perusahaan. Ya, memang tanggapan perusahaan sudah mendapat izin pemerintah dan Pertamina. Karena yang mereka gali itu zona merah," kata Adi.

Merasa tak digubris, warga melakukan demonstrasi. Namun, aksi mereka diredam aparat kepolisian. Warga dinilai menghambat kinerja PT ABN. "Ditegur kepolisian, jangan melakukan unjuk rasa karena mengganggu aktivitas tambang. Ada dasar hukumnya, mereka bilang begitu," tambah Adi.

Empat kali melapor dan bersurat, harapan warga meminta perlindungan pupus. Tak ada jalan kecuali pasrah. Hanya menunggu bahaya datang.

"Lelah tidak ada tanggapan. Bantuan dan fasilitas untuk kami dari pemerintah tidak ada. Sampai akhirnya terjadi longsor. Kami menyurati tidak terlambat. Pemerintah yang tidak tanggap," ungkapnya.

Kamis 29 November 2018, pukul 14.00 Wita, bencana yang dikhawatirkan terjadi. Tanah longsor yang tidak pernah dirasakan, tiba-tiba menyerang.

Enam rumah tergerus. Jalan poros penghubung Sangasanga dan Muara Jawa terputus. Belasan rumah lain berpotensi hancur. Mereka yang harus mengungsi makin banyak.

"Dampak kami masyarakat kecil sangat besar sekali. Perekonomian di sekitar lokasi mati total. Pendapatan kami banyak hilang. Kerugian materi tidak terhitung. Entah sampai kapan seperti ini,” ungkapnya.

“Tuntutan kami hanya kembalikan kehidupan dan perekonomian kami seperti semula."

Warga makin sesak karena pembelaan pemerintah dirasa minim. Sebaliknya, para korban malah merasa disudutkan. Termasuk oleh penilaian awal Gubernur Kaltim Isran Noor.

"Untuk Bapak Gubernur, sebelumnya saya minta maaf. Menurut kami Anda salah besar dan tidak benar. Jarak tambang dengan kampung hanya sekitar 125 meter. Itu sangat dekat dengan rumah warga," ungkap Adi.

Isran Noor ketika diwawancara Jumat siang, 30 November 2018, menyebut laporan yang diterimanya tak menyatakan lokasi longsor dekat pertambangan. Ia belum sepenuhnya menerima dugaan bencana disebabkan aktivitas perusahaan tambang batu bara.

"Saya sampaikan kepada Bapak Gubernur, tidak ada warga kami mendekati lokasi tambang. Tambang lah yang mendekati kami. Menurut kami sebenarnya ini bisa dicegah, kalau ada tanggapan kemarin," tambahnya.

Baca juga:

 

Pemprov masih dengan pendiriannya. Meski menetapkan PT ABN salah, lokasi longsor tetap diklaim daerah cekungan. Status permukiman sekitar pun dipertanyakan. "Karena ini masuk wilayah kerjanya Pertamina, lalu apakah rumah milik warga itu legal? Yang jelas penanganan darurat sudah dilakukan secara baik dan dibiayai perusahaan," sebut Kepala ESDM Kaltim Wahyu Widhi Heranata, di Kegubernuran Kaltim, Jl Gajah Mada, Samarinda, Senin 3 Desember 2018.

Ditetapkannya PT ABN sebagai penyebab longsor adalah berdasar hasil investigasi inspektur tambang yang diturunkan. Pemprov Kaltim melalui Dinas ESDM memberi sanksi berupa penutupan Pit 1 West PT ABN.

Pit 1 West PT ABN didapati menyalahi aturan. Letaknya tak sampai 500 meter dari jarak aman permukiman dan fasilitas umum. Dari investigasi, diketahui jaraknya dengan permukiman hanya 178 meter. Padahal, jarak buffer zone yang ditentukan minimal 500 meter.

Meski begitu, aktivitas pertambangan diklaim hanya berdampak tidak langsung terhadap bencana. Menurut Wahyu, peran kontur tanah dan permukaan dataran terhadap longsor lebih besar. "Penyebab langsung karena terjadi di daerah lembah dan tidak ada tanah liatnya. Saat curah hujan tinggi, tanah turun," kata Kepala Dinas ESDM Kaltim itu.

Wahyu menyadari insiden tersebut menjadi evaluasi penting. Ke depan, inspektur tambang diturunkan memantau Izin Usaha Pertambangan atau IUP seluruh perusahaan batu bara di Kaltim. Pengecekan dilakukan per bulan.

"Arahan dari Wagub (Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi), semua inspektur tambang 38 orang itu dibagi ke 160 IUP. Satu inspektur tambang harus tahu performance empat sampai lima IUP. Mereka secara berkala presentasi di depan Wagub dan saya," ungkap Wahyu.

Dinas ESDM juga ditunjuk mengoordinasi pengusaha tambang memagari kolam bekas galian masing-masing. Pemberitahuan larangan untuk dimasuki publik, terutama anak-anak, mesti terpasang. “Anak tenggelam di kolam bekas tambang sampai 32 orang sangat memalukan Kaltim,” kata Wahyu menirukan pernyataan Hadi Mulyadi.

Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang berharap peristiwa ini menjadi momentum Pemprov. Pit perusahaan tambang tak sesuai ketentuan buffer zone harus dievaluasi. "Jangan separuh-separuh. Berapa banyak pit di sana harus dicek kembali. Terutama pit di bawah buffer zone. Jadi jangan sekadar berkomentar," ungkap Rupang.

Sanksi tegas diharap berlaku. Termasuk kepada PT ABN yang telah melakukan upaya ganti rugi kepada warga terdampak. "Mengganti kerugian tidak akan mengganti sanksi. Itu kewajiban. Intinya Pemprov harus memastikan keselamatan rakyat Kaltim," tutupnya. (*)

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar