Pendidikan

Ikhtiar Unmul Membasmi Penjahat Seksual

person access_time 1 year ago
Ikhtiar Unmul Membasmi Penjahat Seksual

Sejumlah orang berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 10 Februari 2020. Mereka menuntut terwujudnya kampus yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan. FOTO: AFP

Penanganan kasus kekerasan seksual menjadi program prioritas kampus di Samarinda ini. Dipicu dari kelakukan nakal oknum dosennya.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Jum'at, 02 Juni 2023

kaltimkece.id Universitas Mulawarman pernah diterpa isu miring mengenai kekerasan seksual. Isu itu mencuat setelah salah seorang oknum dosen Fakultas Kehutanan dipolisikan karena diduga melakukan tindakan amoral kepada tiga mahasiswinya. Peristiwa ini terjadi pada April 2022. Kini, dosen tersebut tengah diproses hukum.

Penanganan kasus tersebut disebut sempat menemui banyak kendala. Salah satu masalahnya adalah tidak ada satuan tugas khusus penanganan kasus kekerasan seksual. Padahal, satuan tersebut merupakan amanat dalam Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Unmul akhirnya membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS pada September 2022. Satgas tersebut dipimpin Haris Retno, dosen Fakultas Hukum (FH). Retno juga menjadi advokat di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Unmul. Ia pun memberikan pendampingan hukum kepada ketiga korban kekerasan seksual tadi.

Kepada kaltimkece.id pada Rabu, 31 Mei 2023, Retno memaparkan upaya-upaya Satgas PPKS menangani kasus kekerasan seksual di Unmul. Kerjanya berlandaskan Undang-Undang 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Salah satu tugasnya adalah memastikan mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual melanjutkan pendidikan.

“Kami memiliki kewenangan untuk memastikan keberlanjutan studi korban,” katanya.

Satgas PPKS juga bisa merekomendasikan penghentian tugas terduga pelaku kekerasan seksual di Unmul. Rekomendasi tersebut disampaikan kepada rektor Unmul melalui surat. Upaya ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan jabatan yang dapat menghalang-halangi penangan kasus. Kepastian kerja terduga pelaku diperoleh setelah penyelidikannya rampung. Jika terbukti melakukan kekerasan seksual, pelaku dapat diberhentikan selamanya.

Retno menyebutkan, kasus kekerasan seksual di kampus mayoritas terjadi saat bimbingan skripsi. Pasalnya, pada momen ini, dosen pembimbing kerap merasa berkuasa atas kelulusan mahasiswa. Oleh karena itu, Permendikbud 30/2021 memberikan arahan tentang tata kelola khusus terkait bimbingan skripsi.

“Bimbingan skripsi tidak boleh dilakukan di luar jam dan area kampus. Kecuali untuk situasi-situasi tertentu,” jelasnya. Senat Unmul tengah membentuk regulasi turunan mengenai peraturan tersebut. Jika sudah rampung, regulasi tersebut diemplementasikan dalam bentuk peraturan akademik.

Retno menilai, Permendikbud 30/2021 dan UU TPKS sudah cukup bagus. Kedua regulasi ini disebut memiliki terobosan-terobosan baru dalam menangani kasus kekerasan seksual. Salah satu terobosannya yaitu mengenai definisi kekerasan seksual. Dalam peraturan lama yakni pasal 285 KUHPidana, kekerasan seksual diartikan sebagai pemaksaan penetrasi alat kelamin pelaku terhadap korban. Pendefinisian ini dinilai tidak spesifik dan turut menjadi penyebab penanganan kasus di Fakultas Kehutanan berjalan sulit. Masalahnya, terduga pelaku hanya menyentuh fisik korban.

Sedangkan dalam peraturan yang baru, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi empat jenis. Keempatnya yakni kekerasan seksual fisik, non-fisik, verbal, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Keempat jenis itu dibagi lagi menjadi 21 bentuk kekerasan seksual yang dapat dikasuskan.

Satgas PPKS saat menyosialisasikan pencegahan kekerasan seksual kepada sejumlah mahasiswa Unmul. FOTO: MUHAMMAD AL FATIH

Terobosan lainnya adalah alat bukti. Dalam Permendikbud 30/2021 dan UU TPKS, status hukum kasus kekerasan seksual dapat naik ke penyidikan apabila memiliki minimal satu alat bukti saja. Alat bukti tersebut bisa berupa keterangan korban. Sedangkan dalam peraturan yang lama, penyidikan dapat dilakukan jika memiliki minimal dua alat bukti. Padahal, kata Retno, alat bukti kasus kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan kasus pidana yang lain.

“Masalahnya, kasus kekerasan seksual cenderung terjadi di ruang tertutup sehingga minim alat bukti,” katanya. Ia pun memastikan, timnya tidak menangani kasus secara serampangan. Setelah menerima keterangan korban, terduga pelaku dan orang-orang di sekitarnya juga akan dimintai keterangan. Ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang komprehensif.

Keberadaan pakar juga dilibatkan di Satgas PPKS. Lisda Sofia adalah psikolog forensik sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unmul, yang masuk satgas tersebut. Ia kerap dimintai keterangannya oleh pihak kepolisian sebagai saksi ahli. Dalam Satgas PPKS Unmul, Lisda berperan melakukan pemeriksaan. Selain itu, ia bertugas memulihkan kondisi mental para korban.

“Korban sering mengalami syok atau tertekan,” jelas Retno.

Pemulihan korban dipastikan menjadi prioritas Satgas PPKS Unmul. Retno menjamin, timnya menangani kasus dengan menyesuaikan kepentingan korban. Ini untuk melaksanakan amanat pasal 3 Permendikbud 30/2021. Salah satu upayanya adalah menindaklanjuti permintaan korban mengenai penyelesaian kasus.

“Misalnya, korban mau lulus tanpa pelakunya dihukum. Itu akan kami jalankan,” paparnya. Korban pun dapat meminta pendampingan dari Satgas PPKS Unmul dalam bimbingan maupun seminar skripsi. Saat ini, beber Retno, Satgas PPKS Unmul tengah menangani empat kasus.

Untuk mencegah kekerasan seksual, Satgas PPKS Unmul punya program memberikan sosialisasi dan edukasi. Dalam program tersebut, satgas memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang cara menghadapi kekerasan seksual, termasuk melakukan proses hukum.

Retno menyerukan, seluruh warga Unmul yang merasa menjadi korban atau melihat kekerasan seksual, untuk tidak ragu melapor ke Satgas PPKS. Satuan tersebut telah menandatangani surat pernyataan bermaterai untuk menjaga kerahasiaan identitas korban. Para saksi mata pun diharapkan dapat membantu korban dalam menyelesaikan masalahnya.

“Pembiaran kasus kekerasan seksual juga bagian dari kekerasan seksual,” tegas Retno.

Kelompok Perempuan Mahardhika aktif menyuarakan pembelaan terhadap hak-hak kaum perempuan. FOTO: ISTIMEWA

Bukan Sekedar Persoalan Hasrat Seksual

Retyaningtyas adalah aktivis perempuan dari Perempuan Mahardhika. Ia memberikan apresiasi atas terbentuknya Satgas PPKS Unmul. Menurutnya, Satgas PPKS merupakan ikhtiar dalam mewujudkan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Ia berharap, Satgas PPKS Unmul dapat melibatkan civitas akademik Unmul dengan maksimal. Independensi Satgas PPKS Unmul juga perlu dipertahankan.

“Prinsip keadilan bagi korban tidak boleh kalah dengan kepentingan pelaku,” ujar perempuan tersebut.

Tyas—panggilan pendeknya–turut memberikan pandangan ihwal penanganan kasus kekerasan seksual. Ia mengatakan, kasus tersebut kerap dianggap sebagian masyarakat sebagai persoalan hasrat seksual yang tidak terkontrol. Pandangan ini dinilai salah kaprah. Dalam banyak kasus, kata Tyas, para korban tidak hanya dilecehkan tapi juga diintimidasi. “Karena kasus ini erat kaitannya dengan relasi kuasa,” sebutnya.

Ia menambahkan, para korban kekerasan seksual juga sering kali mendapatkan stigma buruk. Tidak sedikit, sebutnya, muncul anggapan bahwa kasus kekerasan seksual muncul karena dipicu dari sikap dan atau penampilan korban. Stigma ini jelas-jelas tidak berpihak kepada korban. “Padahal, kasus kekerasan seksual itu 100 persen adalah kesalahan pelaku,” ucapnya.

Pendapat Tyas tersebut selaras dengan hasil survei pelecehan seksual yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman. Dari 62.224 korban yang menjadi responden, 80 persen korban memakai pakaian yang tergolong sopan saat mendapatkan pelecehan. Sisanya bahkan memakai hijab. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar