Politik

Empat Peminat Kursi Wali Kota Adu Gagasan Atasi Banjir Samarinda

person access_time 5 years ago
Empat Peminat Kursi Wali Kota Adu Gagasan Atasi Banjir Samarinda

Apri Gunawan diwawancara awak media selepas diskusi publik. (istimewa)

Masalah Samarinda memang bukan hanya banjir. Tapi persoalan ini selalu jadi objek menarik didiskusikan setiap jelang pemilihan wali kota.

Ditulis Oleh: Bobby Lolowang
Senin, 29 Juli 2019

kaltimkece.id Pemilihan wali kota Samarinda dihelat tahun depan. Satu per satu sosok mulai tampil. Ada yang baru sinyalemen, ada yang sudah terang-terangan. Empat nama ini sudah secara terbuka menyatakan kesiapan. Bahkan telah memiliki sejumlah program yang bakal diusung.

Satu per satu gagasan para peminat kursi wali kota Samarinda dikemukakan dalam ajang diskusi di sebuah kedai Jalan Juanda, Samarinda Ulu, Sabtu malam, 27 Juli 2019. Event ini bertajuk Membaca Samarinda Melalui Momentum Politik Lima Tahunan. Diikuti Ridwan Tasa, Parawansa Assoniwora, Viktor Yuan, dan Apri Gunawan.

Keempat nama tersebut merupakan sosok yang sudah secara terbuka menyatakan niat bertarung di Pilwali Samarinda 2020 mendatang. Keempatnya pun sudah tidak asing di kalangan publik. Ridwan Tasa adalah pejabat senior di Pemkot Samarinda. Sedangkan Parawansa, Viktor Yuan, dan Apri Gunawan berasal dari kalangan aktivis pemuda.

Keempatnya punya pandangan masing-masing dalam mebangun Samarinda. Namun yang paling disorot dalam duskusi malam itu, adalah persoalan banjir.

Pompa dan Pintu Air

Menurut Tasa, jika dianalogikan sebagai orang sakit, Samarinda sudah membutuhkan perawatan level intensive care unit atau ICU. Maka, bukan lagi wacana yang dibutuhkan untuk berbenah. Langkah konkret menjadi solusi terbaik menyelamatkan Ibu Kota Kaltim.

“Masalah banjir semakin besar. Padahal program terus ada. Maka yang diperlukan adalah langkah konkret,” sebut Tasa dalam diskusi tersebut.

Dari kacamatanya, duduk perkara masalah banjir sudah jelas. Tak lain dan tak bukan adalah membereskan Sungai Karang Mumus. Daerah aliran sungai tersebut kian hari semakin kritis.

“Setelah Sungai Karang Mumus dibereskan, selanjutnya memberi perhatian ke anak sungai Karang Asam Besar dan Karang Asam Kecil. Dibuatkan pintu air hingga Jembatan Satu. Saya kira dengan begitu bakal aman. Ditambah dengan pompa air seperti di Surabaya yang selalu stand by setiap mendung,” urai Tasa.

Meski demikian, Tasa menyadari konsep tersebut masih sebatas teori. Yang terpenting adalah eksekusi. Terutama di sepanjang jalur SKM. Realisasi wacana begini perlu keberanian. Maka kemampuan pemimpin tak sebatas urusan konsep. Tapi juga kegigihan dalam melobi. Dari urusan penganggaran hingga menjangkau semua elemen untuk mendukung langkah perbaikan.

Libatkan Warga

Langkah berani juga yang diusung Parawansa dalam pencalonannya menjadi wali kota Samarinda kelak. Ia memberanikan diri mendobrak segala penghambat yang menjadi problematika selama ini. Termasuk dalam urusan pengendalian banjir.

 “Dari jalan berlubang sampai parit yang tersumbat dan lain-lain, di sana ada kekuasaan yang tak menginginkan persoalan-persoalan tersebut selesai,” ucapnya tanpa merincikan kekuasaan yang dimaksud. “Masalahnya adalah mereka yang sebenarnya punya kekuatan mengeluarkan anggaran, punya kebijakan, mampu mengeluarkan aturan untuk penyelesaian masalah tersebut. Tapi ada kepentingan yang ingin mempertahankan persoalan,” tambahnya.

Soal banjir, Parawansa menyorot kebijakan yang disebutnya cenderung berpokok kepada urusan hilir. Padahal, lanjutnya, kondisi resapan air di Samarinda sudah sangat buruk. Mengutip kajian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, kemampuan resapan air Samarinda hanya 30 persen. Dipicu kota yang jadi tempat bermukim banyak orang, menjadi kawasan yang didominasi industri ekstraktif. “Inilah hulu masalahnya,” sebut Parawansa.

Parawansa menyatakan komitmen membereskan persoalan dari hulu masalah. Dengan program efektif, penganggaran semakin optimal. Tak terbuang ke urusan yang tak perlu. Mengalir ke banyak sektor lain yang butuh asupan modal. Dalam praktiknya kelak, Parawansa bakal melibatkan publik dalam setiap kebijakan sebagaimana tertuang dalam sistem political parcitipatory.

Sumur Biopori

Bicara soal banjir, Viktor Yuan memiliki strategi khusus yang diadopsinya dari sejumlah keberhasilan daerah lain. Gagasannya ini muncul dari keresahan pribadi. Secara personal, Viktor juga korban terdampak banjir di Samarinda. Terutama pada banjir besar di Samarinda awal Juni lalu.

“Setelah banjir, kami seluruh warga Bumi Sempaja melakukan rekonsiliasi. Saya mendapat ide dan langsung mempraktikkan.  Sumur biopori adalah salah satu solusi banjir,” jelas Viktor di hadapan ratusan audience.

Menurutnya, membangun sumur biopori bisa jadi langkah efektif menanggulangi banjir. Dimulai dari rumah-rumah penduduk. Langkah ini juga solusi akan kondisi Samarinda yang minim daerah resapan. Bahkan dari segi penganggaran, praktiknya bisa lebih efisien. Satu perumahan tak sampai Rp 200-300 juta, katanya. Maka alokasinya kelak tak perlu melewati proses lelang. Cukup dikelola Ketua RT dan warga. Satu sumur untuk satu rumah. “Sumur resapan biopori yang saya maksud ini adalah temuan ITB (Institut Teknologi Bandung) dan bisa menjadi solusi yang sederhana,” ungkapnya.

Banjir dan Pariwisata

Atas banyaknya program mengemuka dari tiga narasumber lainnya, Apri Gunawan punya pandangan berbeda untuk mengatasi banjir. Menurutnya, Pemkot Samarinda selama ini telah bekerja keras mencari solusi banjir Kota Tepian. Maka, langkah baginya jika kelak terpilih menjadi wali kota, adalah merincikan program yang selama ini mengemuka. Kuncinya, kata dia, adalah keberanian dalam pelaksanaan.

“Kami sebagai kaum muda harus mengapresiasi dengan meneruskan program pemerintah. Yang dilakukan selama 10-20 tahun ini jangan sampai malah mubazir,” sebut Apri Gunawan.

Apri menyorot kondisi geografis Samarinda sebagai dataran rendah. Praktis, tak sekadar ide brilian yang diperlukan untuk menghindari bencana tersebut. 

“Pemerintah sebelumnya sudah melakukan banyak kajian. Bahkan sampai study ke Belanda. Maka tinggal pelaksanaannya saja. Saya akan lihat apa saja yang sudah dilakukan. Jika sudah baik, pasti diteruskan. Jangan sampai banyak orang pintar dan ahli yang terlibat selama ini malah jadi mubazir,” urai Apri.

Dalam pandangannya, secara teknis, menyalahkan alam atas bencana banjir bukanlah sikap yang bijak. Maka kelak, kesadaran warga juga menjadi unsur penting. Bahkan bisa begitu dominan dalam pengendalian banjir. Misalnya dengan tertib dalam membuang sampah. “Pemerintah telah mengeluarkan peraturan daerah tentang sampah. Langtas bagaimana aplikasinya? Demikian juga perda larangan penggunaan plastik,” sebutnya.

Langkah bijak mengatasi banjir adalah kerinduan warga yang tiap tahun menanggung bencana ini. Tapi, sebut Apri, Samarinda tak melulu soal banjir. Sepuluh kecamatan punya polemik masing-masing. Maka yang juga penting untuk dipikirkan, adalah wajah Samarinda setelah 10 tahun ke depan. Mengantisipasi ketika kekuatan sumber daya alam sudah tak bisa lagi diandalkan.

“Ide kami adalah meningkatkan sektor pariwisata yang selama ini stagnan. Citra Niaga dulu skala internasional. Sekarang bagaimana? Saya lihat ini bisa menjadi icon yang kembali diangkat,” terang Apri.

“Demikian juga dengan Sungai Mahakam. Perlu langkah konkret dan keberanian untuk mengolah Sungai Mahakam menjadi citra yang layak bagi Samarinda,” pungkasnya. (*)

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar