Ragam

Lika-Liku Kehidupan Pemenang Sayembara Manuskrip Puisi

person access_time 1 year ago
Lika-Liku Kehidupan Pemenang Sayembara Manuskrip Puisi

Dadang Ari Murtono, sastrawan di Samarinda. Karyanya bertajuk Sapi dan Hantu menang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2021. FOTO: ISTIMEWA

Sastrawan di Samarinda ini pernah membatalkan bekerja di bank demi bisa menulis. Ia lantas membuat tato agar tak ada perusahaan yang mau menerimanya.

Ditulis Oleh: Muhammad Al Fatih
Kamis, 18 Mei 2023

kaltimkece.id Suatu hari pada 2009, Dadang Ari Murtono diterima kerja di sebuah bank. Akan tetapi, tak tampak raut ceria di wajah pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, itu. Pikirannya terus melayang ke cerita pendek yang ia kirim ke sejumlah media massa. Hingga ia diterima kerja, cerpen yang dibuatnya itu tak kunjung berbalas kabar baik.

Dadang lantas membuat nazar. Apabila hari itu berakhir tanpa kejelasan mengenai nasib cerpennya, ia memutuskan melanjutkan karier di bank tersebut. “Nazar itu adalah yang pertama saya buat dalam hidup saya,” kenang Dadang kepada kaltimkece.id di kediamannya di Samarinda, Jumat, 12 Mei 2023.

Nasib baik memang tak ada yang tahu kapan datangnya. Sore pada hari itu, ponsel milik Dadang berdering. Di balik sambungan telepon tersebut, seseorang mengabarkan, cerpen buatan Dadang dimuat di Radar Surabaya. Ia pun mendapat honor Rp 200 ribu atas penerbitan cerpen tersebut. Dadang tercenung mendengarnya. Baginya, bayaran tersebut terlampau besar.

“Waktu itu, harga sebungkus rokok saja masih Rp 6 ribu,” sebutnya.

Dadang Ari Murtono saat membacakan puisi. FOTO: ISTIMEWA

Kabar tersebut tak hanya memberikan asa tapi juga menentukan nasib Dadang selanjutnya. Setelah menutup telepon, ia memutuskan tak melanjutkan bekerja di bank melainkan menjadi penulis. Jalan inilah yang ia inginkan sejak lama.

Keputusan berani yang dibuat Dadang itu bukan tanpa dasar. Ia mengaku, takut tidak betah jika bekerja di perusahaan. Masalah ini pernah terjadi saat dirinya bekerja di sebuah perusahaan provider. Ia keluar dari perusahaan tersebut karena tidak kerasan dengan pekerjaan yang ditugaskan. Ia hanya merasa nyaman bila menulis sesuatu.

“Beberapa hari kemudian, saya membuat tato pertama saya,” ucapnya. Ia menjelaskan, tujuannya membuat tato sebagai bentuk komitmen tidak akan pernah bekerja di kantoran lagi. Mengingat, hampir semua perusahaan, terutama kantor-kantor pemerintah, tidak menerima pegawai yang bertato.

Sejak saat itu, Dadang terus menulis. Runtintasnya ini ia jadikan pekerjaan tetap. Walau ia sadari menulis bukanlah profesi yang menjanjikan di Indonesia. Cobaannya pun banyak. Pada 2013, Dadang pernah kehilangan laptop akibat dicuri orang.

“Padahal, saat itu, saya enggak punya uang sama sekali. Saya sempat enggak makan dua hari,” ucapnya. Meski demikian, ia pantang menoleh ke belakang. Seperti Thariq bin Zayed yang membakar kapal tempurnya ketika tiba di Andalusia, Dadang menyatakan, tak akan lari dari dunia tulis-menulis.

Alam seperti merestui Dadang menjadi penulis. Di tengah kekalutan kehilangan laptop, seorang teman berbaik hati menawarkan pinjaman laptop dan modem internet kepada Dadang. Syaratnya, ia diminta membuat artikel tentang promosi jamu peningkat gairah perempuan. Jamu tersebut adalah usaha milik temannya.

Artikel tersebut dibuat sebanyak lima hingga sepuluh artikel dalam sehari. Tak hanya meminjamkan laptop dan modem internet, si teman juga menjanjikan membayar karya Dadang sebesar Rp 7 ribu per artikel. Sempat terdiam beberapa detik, Dadang kemudian menyambut tawaran tersebut. Tak peduli tulisan apa yang dibuat, baginya saat itu adalah bisa terus menulis cerpan dan puisi untuk dikirim ke koran.

Pendapatan dari semua usaha tersebut, sebagian disisihkan Dadang untuk ditabung. Beberapa bulan kemudian, ia membeli laptop. Laptop milik temannya pun dikembalikan. Pria berambut panjang itu mengatakan, menjadi seorang penulis harus memiliki kreativitas dan kesabaran. “Penulis yang baik juga harus memiliki modal sosial,” ujarnya.

Modal sosial, sambung dia, dapat dimanfaatkan saat penulis menjadi narasumber dalam sebuah acara. Ia mengatakan, acara-acara bertemakan kepenulisan sangat banyak. Dari kegiatan tersebut, penulis juga bisa mendapatkan imbalan. Selain itu, penulis juga bisa mendirikan kelas menulis.

Dadang mengaku, mendapatkan modal sosial setelah tulisan-tulisannya berupa puisi dan cerpen terbit di sejumlah media nasional seperti Detik, Jawa Pos, hingga Kompas. Pada 2021, karyanya yang bertajuk Sapi dan Hantu menang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta.

Peran Kopi Bagi Sastrawan

Dadang pindah ke Samarinda pada 2021. Langkah ini ia pilih untuk mengikuti istrinya yang pindah bekerja di Kota Tepian. Sebelumnya, Dadang banyak menghabiskan waktu di Yogyakarta. Di ibu kota Kaltim, Dadang mengaku kaget dengan beberapa hal. Salah satunya mengenai harga kopi.

“Harga kopi di sini bisa untuk ngopi tiga hari di Jogja,” sebutnya sambil tertawa.

Dadang Ari Murtono (pegang mikrofon) menjadi narasumber dalam acara kepenulisan di Perpustakaan Kota Samarinda pada Maret 2023. FOTO: ISTIMEWA

Dadang menjelaskan, keberadaan kedai kopi dapat mendukung pertumbuhan komunitas penulis. Pasalnya, kebanyakan sastrawan seperti dirinya amat menyukai kopi dan rokok. Pada 1920-an, cerita dia, banyak sastrawan, seniman, hingga filsuf terkenal di Eropa kerap berkumpul di kedai-kedai kopi di Paris, Prancis. Mereka antara lain Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, Pablo Picasso, hingga Jean Paul Sartre.

Tak sekedar menyeruput kopi, di kedai-kedai tersebut, mereka juga berdiskusi. Pada masa itu, Paris terkenal dengan penginapan dan kedai kopinya yang murah. Hal ini tertulis dalam buku The Theatre of Absurd karya Martin Esslin.

“Itulah yang terjadi di Jogja sekarang. Jogja merupakan kota yang ideal di Indonesia bagi penulis dan komunitasnya bertahan hidup,” cerita Dadang.

Dadang menilai, pertumbuhan kesusastraan di Samarinda cenderung bergerak lambat. Ia membandingkannya dengan Yogyakarta. Di Kota Gudeg, tidak susah menemui penulis. Penulis Agus Noor hingga Joko Pinurbo, kata dia, sering melintasi warung-warung kopi di kota tersebut.

Menurutnya, lambatnya pertumbuhan kesusastraan di sebuah daerah karena minim diskusi tentang buku. Ia menyebutkan, terdapat 30 komunitas kepenulisan terdaftar di Kantor Bahasa Kaltim. Ia mempertanyakan keaktifan semua komunitas tersebut .

“Kalau saja tiap komunitas ini membuat diskusi tiap bulan, maka tiap minggu kita selalu mempunyai kegiatan diskusi buku,” ujarnya.

Dadang turut berupaya mengembangkan kesusastraan di kota ini. Salah satu upayanya adalah menulis cerpen berjudul Sepasang Orang Mati. Cerpen tersebut dimuat di koran Kaltim Post pada akhir 2022. Selain itu, ia juga kerap mengisi acara kepenulisan. Pada Maret 2023, ia bersama sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, mengikuti acara tersebut di Perpustakaan Kota Samarinda.

“Semoga, semakin banyak masyarakat Kaltim yang gemar membaca,” tutupnya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar