Peristiwa

Tegasnya Kadrie Oening saat Becak ”Menjajah” Samarinda

person access_time 5 years ago
Tegasnya Kadrie Oening saat Becak ”Menjajah” Samarinda

Penarik becak di Samarinda pada era 1970-an (ilustrasi: danoo/kaltimkece.id).

Kebanjiran roda tiga
Semrawut di mana-mana
Lenyap lewat ketegasan wali kota

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Selasa, 21 Agustus 2018

kaltimkece.id Samarinda adalah kota yang hening dari deru kendaraan ketika The Beatles berkuasa atas telinga penikmat musik di seluruh dunia. Pada 1960 hingga 1970-an, pemilik mobil dan sepeda motor di Samarinda masih bisa dihitung dengan jari. Haji Masroen Rusli adalah seorang di antara pemilik kendaraan roda empat yang sedikit itu. Pemilik Hotel Mesra dan Mal Mesra Indah itu mempunyai sebuah Datsun, jenama mobil dari Jepang, yang sering dikendarainya berkeliling kota. 

“Pada masa itu, jalan-jalan kota yang tak seberapa justru dipenuhi becak,” terang Haji Rusli, mengenang panorama Samarinda 43 tahun silam, kepada kaltimkece.id. Hampir di sepenjuru kota, denting-denting bel becak mengudara. 

Becak memang pernah menguasai jalan-jalan Samarinda. Kendaraan roda tiga tak bermesin itu merupakan alat transportasi favorit warga. Operasi becak bisa menjangkau seluruh wilayah Samarinda. Mulai kawasan kota di Pasar Pagi sampai Jalan Kesuma Bangsa, hingga rumah sakit umum di Jalan Gurami, sekarang Rumah Sakit Islam.  

“Kekuasaan” becak pada masa lalu tak ubahnya dengan ojek online masa kini. Becak tidak memiliki trayek sehingga leluasa ke mana saja, bahkan ke gang-gang kecil. Tarif becak diukur berdasarkan jauh dekat mengantar penumpang atau barang.

“Ongkos becak antara Rp 25 sampai Rp 50,” tutur Syafruddin Pernyata, warga Samarinda yang lahir di Loa Tebu, Tenggarong, 28 Agustus 1958. Pada masa keemasan becak, lelaki yang kini menjabat sebagai kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kaltim itu telah berusia 17 tahun. 

Becak makin menjadi pilihan utama karena pesaingnya sesama angkutan umum tak bisa sedemikian luwes. Moda transportasi yang juga beroperasi saat itu adalah taksi jamban. Angkutan umum ini menggunakan Jeep Willys yang dimodifikasi sebagai angkutan umum. Namun, tidak seperti becak, taksi jamban melayani dengan sistem trayek. Taksi itu beroperasi dari Pasar Pagi ke Jembatan III atau sekarang Jalan KH Ahmad Dahlan, Pasar Pagi ke Pasar Segiri, dan Pasar Pagi ke Karang Asam.

Becak yang lebih murah dan bisa ke mana saja akhirnya menjadi pilihan utama. Ia serupa seperti ojek online yang lebih dipilih ketimbang angkot, pada masa sekarang. Keunggulan itu menyebabkan populasi becak meledak hebat di Samarinda. Pada 1970 saja, jumlah becak mencapai lebih dari 2.000 unit. Untuk ukuran Samarinda pada masa itu, jumlah becak yang beroperasi sangatlah banyak. Sebagai gambaran, pada 1970-an, Jalan Kesuma Bangsa adalah titik terjauh kota. Jalan Ir H Juanda masih belantara. 

Baca juga: Jembatan Mahakam: Teknologi Belanda, Kebanggaan Soeharto

Becak yang membanjiri Samarinda sebagian besar dikirim dari Sulawesi Selatan, berikut pengemudinya. Di Samarinda, mereka biasa mangkal dan menginap di Jalan Kesuma Bangsa. Becak dijejer pada malam hari di tanah lapang tanpa dirantai. 

“Saya dan teman-teman pernah mencoba mengemudikan becak ketika yang punya sedang tidur. Ternyata sukar juga, terutama ketika berbelok. Akhirnya kami masuk parit dan kami kabur,” terang Syafruddin menceritakan masa mudanya yang agak bandel. 

Penghapusan Becak

Di tengah membanjirnya becak di Kota Tepian, sejumlah masalah muncul. Ruas jalan kota yang tak seberapa tak sanggup lagi menampung kendaraan. Jalan-jalan menjadi macet, kumuh, dan lalu lintas semrawut. 

Wali Kota Samarinda Kadrie Oening yang melihat permasalahan itu segera mengambil langkah fenomenal. Kadrie Oening memutuskan mengurangi jumlah becak ketika masyarakat sedang cinta-cintanya. Pengumuman penting itu keluar pada 30 Juni 1973 sebagai lanjutan dari surat keputusan wali kota yang terbit setahun sebelumnya. Pada 1972, Kadrie Oening menandatangani SK Wali Kota Samarinda Nomor 77 yang mengatur jumlah becak di Samarinda.

Menurut salinan SK Wali Kota yang diterima kaltimkece.id, Kadrie Oening hendak membatasi becak penumpang hanya seribu buah. Adapun becak barang, cukup 250 unit. Pengumuman juga memuat larangan memproduksi dan mendatangkan becak baru ke Samarinda.

Untuk mengurangi kejenuhan kendaraan di jalan, Kadrie Oening juga mengatur waktu operasi becak. Caranya dengan membagi waktu operasi menjadi dua; siang dan malam. Becak-becak pun dicat dengan dua warna sebagai penunjuk waktu operasi. Becak bercat biru beroperasi siang, becak kuning untuk malam. “Sebelum aturan itu terbit, becak berwarna-warni sesuka hati juragannya,” jelas Syafruddin Pernyata. Langkah Kadrie Oening mengatur waktu operasi becak mirip kebijakan ganjil-genap. Aturan ganjil-genap diberlakukan di DKI Jakarta, 35 tahun setelah masa Kadrie Oening. 

Jurus Kadrie Oening berhasil. Namun, mengurangi becak hanyalah permulaan. Setahun kemudian, sang Wali Kota mengambil langkah yang lebih tegas. Dia menghapuskan becak dari Samarinda terhitung mulai 1 Januari 1975. Keputusan itu sesuai SK Wali Kota Samarinda Nomor 157 Tahun 1974. 

Langkah Kadrie Oening mendapat tentangan. Pengusaha dan pengemudi becak sempat berdemonstrasi. Namun, Kadrie Oening adalah Kadrie Oening. Ia adalah wali kota berlatar belakang sipil yang dikenal dengan ketegasan. Kadrie Oening bersiteguh dengan keputusannya. Para pengemudi becak yang berasal dari luar pulau dipulangkan ke kota asal. Ongkos kepulangan ke Sulawesi Selatan ditanggung Pemerintah Kotamadya Samarinda. 

Sementara itu, pekerjaan baru disiapkan bagi penarik becak yang merupakan warga lokal. Mereka diminta mengemudikan angkutan kota, pada saat itu dikenal sebagai taksi colt --karena menggunakan Mitsubishi Colt. “Dengan begitu, demonstrasi yang panas itu tak menjadi kerusuhan,” kata Syafruddin Pernyata, menceritakan akhir kisah becak di Samarinda. 

Setahun setelah penghapusan, Samarinda sudah bersih dari becak pada 1976.  Denting bel dan helaan berat dari napas tukang becak berganti deru mesin Mitsubishi Colt T-120 Minibus. Sebuah kisah menarik terunggah pada permulaan transisi angkutan umum. Sebagian masyarakat rupanya takut naik minibus. Pada awal beroperasi, banyak taksi colt kecelakaan. Penyebabnya sederhana, sopir taksi colt belum mahir mengemudikan mobil yang waktu itu tergolong kendaraan besar.

Di luar kisah itu, langkah Kadrie Oening menghapus becak disebut sebagai contoh paling sukses di Indonesia. DKI Jakarta saja, baru mampu menghapus becak pada 2015. 

Sejarah Becak

Becak pertama kali digunakan di Jepang pada 1869. Di negeri Matahari Terbit, becak disebut jinrikisha, artinya, kendaraan dengan kekuatan manusia (Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa, 2013, hlm 338).

Baca juga: Sejarah yang Tergusur Taman Samarendah: Lenyapnya Lokasi Pidato Soekarno dan Soeharto

Di Indonesia, nama becak berasal dari dialek Hokkian yaitu be dan chia. Be berarti kaki, chia artinya kendaraan. Becak adalah kendaraan yang dijalankan atau digerakkan dengan kaki.

Jawa Shinbun, sebuah koran propaganda pemerintah militer Jepang saat berkuasa di Indonesia, sempat menerbitkan artikel berjudul Becha Monogatari atau Kisah Mengenai Becak. Artikel yang terbit pada 20 Januari 1943 menyebutkan asal-mula becak. Kendaraan roda tiga disebut sebagai inovasi orang Jepang yang dikembangkan di Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa tahun setelah pengembangan, becak-becak dikirim ke Jakarta dan banyak wilayah di Indonesia, termasuk Samarinda. (*)

Editor: Fel GM

Senarai Kepustakaan
  • Erman, Eriza, dan Saptari, Ratna, 2013, Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Jawa Shinbun, 1943, Becha Monogatari, artikel, terbit 20 Januari 1943.
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar