Kesehatan

Hilangnya Kemampuan Indera Penciuman, Tanda Bahaya Covid-19 Menginfeksi Sistem Saraf

person access_time 4 years ago
Hilangnya Kemampuan Indera Penciuman, Tanda Bahaya Covid-19 Menginfeksi Sistem Saraf

Ilustrasi sistem saraf (foto: hak milik shutterstock)

Kegagalan bernapas menjadi penyebab kematian utama pasien Covid-19. Diduga disebabkan virus telah menginfeksi sistem saraf pusat. Hilangnya indera penciuman disebut sebagai tanda-tanda awal.

Ditulis Oleh: Fel GM
Kamis, 26 Maret 2020

kaltimkece.id Alessandro Laurenzi sedang asyik memotong rumput ketika seorang teman tiba-tiba memintanya menghentikan pekerjaan tersebut. Temannya itu berkata bahwa ada bau bahan bakar yang menyengat dari mesin pemotong rumput. Laurenzi mengira temannya hanya mengada-ada pada pagi itu, tepat dua pekan silam. Ia sama sekali tidak mencium aroma yang dimaksud.

Selepas memotong rumput di kebunnya, Laurenzi melanjutkan aktivitas. Waktu makan siang pun tiba. Seperti biasa, suap demi suap makanan masuk ke mulutnya. Saat itulah Laurenzi sadar ada yang aneh dengan tubuhnya. Setiap kali menggigit makanan, ia tidak merasakan apa-apa. Saban kali mengunyah, ia juga tidak mencium aroma makanan.

Laurenzi bukan orang sembarangan. Ia adalah ahli biologi yang bekerja sebagai konsultan di Bologna, Italia. Negaranya menjadi wilayah terparah kedua setelah Tiongkok akibat serangan Covid-19. 

Laurenzi jatuh sakit beberapa hari kemudian. Ia mengalami gejala Covid-19. Setelah berkonsultasi dengan dokter, Laurenzi dinyatakan hanya menderita gejala ringan. Dokter berpendapat ia tidak perlu dites virus corona (Lost Smell and Taste Hint COVID-19 Can Target the Nervous System, artikel The Scientist, 2020).

Meski demikian, Laurenzi mulai mempelajari berbagai makalah mengenai gejala virus corona. Ternyata, hampir di seluruh Italia, sejumlah pasien positif Covid-19 melaporkan mereka kehilangan penciuman atau anosmia.

Laurenzi yang membaca makalah tersebut segera menghubungi rekannya bernama Abdul Mannan Baig. Mannan adalah peneliti dari Universitas Aga Khan di Pakistan. Mannan mengemukakan, hilangnya kemampuan pembau dan pengecap bisa menjadi peringatan awal infeksi SARS-CoV-2. 

Mannan juga menelusuri jurnal dan makalah dari dokter telinga, hidung, dan tenggorokan di Inggris. Menurutnya, virus mampu menyerang sistem saraf pusat. Serangan ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis sehingga kemampuan indera penciuman berkurang. Ketika sistem saraf rusak, perintah kepada tubuh (sistem pernapasan) terganggu. Ketiadaan perintah dari saraf pusat inilah yang disebut menjadi pangkal kegagalan bernapas akut, alat pembunuh utama dari Covid-19. 

Studi awal ini disebut penting untuk dilanjutkan. Masalahnya, selama ini yang paling diperhatikan dari serangan Covid-19 adalah kerusakan paru-paru, bukan saraf pusat (Lost Smell and Taste Hint COVID-19 Can Target the Nervous System, artikel The Scientist, 2020).

Pola yang Sama di Sejumlah Negara

Asosiasi profesi untuk dokter bedah THT di Inggris, ENT UK, telah memublikasikan penelitian awal dari gejala ini. Publikasi ini dibuat dua profesor THT sebagai anggota asosiasi tersebut. Menurut publikasi, dua dari tiga orang positif Covid-19 di Jerman mengaku mengalami anosmia --hilangnya kemampuan indera penciuman. Sementara di Korea Selatan, 30 persen pasien Covid-19 menderita gejala serupa. Iran dan Amerika Serikat juga melaporkan kecenderungan yang seragam.

Yang menarik adalah sejumlah pasien mengatakan, mereka hanya menderita gejala ringan dari Covid-19. Mereka tidak batuk, sesak napas, atau demam, kecuali anosmia yang menggangu itu.  

Seorang dokter di Inggris, masih menurut publikasi ENT UK, mengatakan bahwa ia menangani empat pasien anosmia dalam sebulan terakhir. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, rata-rata hanya satu pasien yang ia tangani setiap bulan. Keempat pasien ini berusia di bawah 40 tahun. Mereka tidak menunjukkan gejala umum Covid-19 sehingga tidak mendapat kesempatan untuk dites maupun diisolasi (Loss of Smell Sense as Marker of Covid-19 Infection, publikasi ENT UK, 2020, hlm 1).

Kemiripan dengan Virus SARS

Adanya hubungan erat antara serangan virus corona dengan sistem saraf pusat telah diteliti sejak 2008. Seorang ahli imunologi bernama Stanley Perlman dari University of Iowa, AS, mengadakan percobaan dengan tikus sebagai objeknya. Peneliti menginfeksi tikus itu dengan virus SARS-Cov, generasi pertama Covid-19. 

Dari pengamatan, infeksi virus mampu mencapai otak tikus. Virus ini memproduksi protein ACE2 --akseptor agar virus bisa memasuki sel-- yang ditemukan di otak. Tikus yang telah terinfeksi menderita kerusakan saraf yang hebat. 

Memang, jumlah virus yang terdeteksi di sistem saraf lebih kecil daripada di paru-paru. Namun demikian, tim peneliti melaporkan, sistem saraf yang terinfeksi ini justru menjadi penyebab kematian utama (Lost Smell and Taste Hint COVID-19 Can Target the Nervous System, artikel The Scientist, 2020).

Perlman, si peneliti tadi, mengatakan bahwa studi lain menggunakan virus MERS --jenis lain dari virus corona-- memberikan hasil serupa. "Dari percobaan kepada tikus, virus dapat dengan mudah menginfeksi otak," katanya. "Tetapi untuk manusia, belum diketahui pasti walau kemungkinan itu ada." 

Meskipun masih permulaan, studi ini disebut menjadi informasi penting bagi dokter dalam merawat pasien Covid-19. Adalah penting mengetahui gejala-gejala neurologis seperti kehilangan penciuman, berkedut, atau kejang. "Gejala tersebut dapat mengindikasikan kegagalan napas akut sehingga tindakan medis dapat segera diambil dan nyawa pasien dapat diselamatkan," tutup Abdul Mannan Baig dari Universitas Aga Khan, Pakistan. (*)

Senarai Kepustakaan
  • Ikuti berita dan ulasan berkualitas kaltimkece.id dengan menyukai halaman Facebook kami berikut ini:
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar