Risalah

Menelusuri Lini Masa untuk Menggali Nama ‘Nusantara’, dari Kutai, Gajah Mada, hingga Wali Songo

person access_time 2 years ago
Menelusuri Lini Masa untuk Menggali Nama ‘Nusantara’, dari Kutai, Gajah Mada, hingga Wali Songo

Ilustrasi kepulauan di Nusantara.

Istilah Nusantara telah dipakai banyak kerajaan di Tanah Air bercorak Hindu-Buddha hingga Islam.

Ditulis Oleh: .
Selasa, 25 Januari 2022

kaltimkece.id Nusantara telah ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai nama ibu kota negara (IKN) baru. Ada banyak perdebatan yang menyertainya. Beberapa sejarawan yang cenderung ‘mempersoalkan’ nama tersebut mengajukan argumentasi. JJ Rizal, misalnya, menyebut bahwa penamaan ini Jawasentris. Istilah Nusantara adalah perspektif atau cara pandang Majapahit dalam memandang atau menamai wilayah di luar pusat kekuasaan kerajaan kala itu.

Meminjam Foucault yang melanjutkan Nietzche, ‘the will to truth the will to power’. Ketika ada hasrat mengetahui, memahami, atau menamai sesuatu, pada saat yang sama ada hasrat menguasainya. Pandangan JJ Rizal ini sebenarnya mewanti-wanti kita semua. Jangan sampai penamaan Nusantara akan terus melanggengkan ‘kuasa’ suatu wilayah atau etnis tertentu (baca: power relation) terhadap wilayah dan etnis lain di Nusantara.  

Argumen yang lain adalah kerancuan dalam penyebutan kata Nusantara nantinya. Cakupan wilayah negara saat ini juga sebenarnya bernama Nusantara. Ada pula sejarawan yang berpendapat bahwa Nusantara adalah nama kuno di wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara. Bahkan, yang sekedar bermodal nyinyir pun tak mau kalah dengan mengusulkan agar nama IKN baru itu sekalian saja disebut Jokowi.

Muasal Kata Nusantara

Nusantara berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu nusa dan antara. Nusa berarti pulau sedangkan antara berarti luar atau seberang. Nusantara hanya satu dari banyak istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta dan masih digunakan hingga sekarang. Hal ini tidak lepas dari panjangnya pengaruh Hindu-Buddha di Tanah Air sebelum masuknya Islam.

Bila menilik pemilihan lokasi dan penamaan ibukota negara (IKN) oleh pemerintah, mungkin saja memiliki pertimbangan sosiohistoris. Bahwa lokasi dan penamaan IKN saat ini dikaitkan dengan kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang bercorak Hindu. Namun sekali lagi konteks sosiohistorisnya masih ‘debatable’. Bila seorang sejarawan muda Kaltim menyebut nama Nusantara dikenal di dan ada dalam bahasa Kutai dengan mengutip kajian sarjana kolonial, tudingan sejarawan lain bahwa penamaan itu sangat Jawasentris juga mempunyai pijakan sejarahnya.

Baca juga:

 

Terlepas dari perdebatan tersebut, cara 'melihat' makna Nusantara dengan referensi sejarah yang kritis sangat penting. Karena memang makna Nusantara mengandung perspektif poskolonial dan keinginan untuk berbincang setara dengan peradaban dunia yang lain, seperti menjadi cita-cita NU dalam Muktamar Lampung 2022.

Kata Nusantara ditemukan dalam Sumpah Amukti Palapa Patih Gajah Mada. Sumpah ini diikrarkan dalam upacara pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi Kerajaan Majapahit pada 1258 Saka/1336 M. Majapahit menggunakan kata Nusantara untuk menyebut negeri-negeri di luar pusat kekuasaannya.

Bunyi lengkap Sumpah Palapa itu sebagai berikut: ‘Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa’. Bahwasanya, ‘Setelah mengalahkan Nusantara, saya akan beristirahat. Sesudah mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan beristirahat’.  

_____________________________________________________PARIWARA

Setelah Nusantara: Jawi

Kira-kira dua abad kemudian, Majapahit runtuh. Wali Songo kemudian melanjutkan mengisi dan memaknai substansi ke-Nusantara-an. Pada abad ke-14 dan ke-15, penyebutan Nusantara berganti menjadi Jawi. Istilah Jawi ini tidak (hanya) merujuk ke etnis Jawa atau pulau Jawa. Istilah ini mencakup wilayah yang menjadi pusat penyebaran Islam masa itu seperti Malaka (Malaysia saat ini), Pasai (Aceh), dan Ampel (Surabaya).

Teritori Jawi meluas semasa Sunan Giri pada abad ke-15 dan keturunannya (Sunan Giri Dalem dan Sunan Giri Prapen). Wilayahnya menjangkau Aceh, Minang, Palembang, Banjar, Bali, Lombok, Makassar, Buton, Kutai (Kalimantan Timur), Ambon, bahkan kepulauan di Papua.

Istilah Jawi yang menggantikan Nusantara makin luas ditemukan setelah abad ke-16. Ulama-ulama Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah, pada abad ke-17 hingga ke-20, selalu menggunakan laqab (gelar) Al-Jawi di belakang nama mereka. Gelar ini adalah identitas, penghormatan, kecintaan, dan kebanggaan akan Nusantara sebagai tanah tumpah darahnya. Sebut saja di antaranya Syaikh Yusuf Al-Makassari Al-Jawi, Syaikh Arsyad Al-Banjari Al-Jawi, Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, Syaikh Yasin Al-Fadani Al-Jawi, dan seterusnya.

Selanjutnya dalam naskah yang ditulis putra Hamengku Buwono I dalam Serat Suryo Rojo di abad 18. Ditemukan istilah ‘Din Arab Jawi’. Dari sinilah sejatinya akar dari hakikat istilah Islam Nusantara yang dipopulerkan NU pada Muktamar ke-33 di Jombang pada 2015. Konteks naskah ini adalah ketika Sunan Giri membaiat seorang raja Jawa dengan gelar Kimudin Arab Jawi. Bahwa raja-raja Jawa harus memiliki komitmen memperkuat Islam (yang datang dari) Arab tetapi dengan karakter Jawi (Nusantara).  

Sementara itu, di Mekkah dan di Kairo-Mesir, ada pula permukiman atau kampung bernama Al-Jawi, yang berarti Nusantara, sejak abad 16 dan pertengahan abad ke-19. Wilayahnya bahkan juga mencakup Singapura dan Pattani, Thailand. Mengutip buku Islam Nusantara karya Ahmad Baso, bahwa dalam kitab Bughyah Al-Mustarsyidin pada abad ke-19, yang sering dikutip kalangan pesantren dan kiai-kiai NU, ada istilah ardhu Jawah yang berarti Nusantara. Cakupannya adalah wilayah Indonesia saat ini. Dari sini berkembang istilah-istilah seperti ahlu Jawi, aksara Jawi, ulama Jawi, yang semuanya berarti Nusantara.

Visi dan Cita-Cita Nusantara

Nama adalah visi, harapan, motivasi, dan cita-cita. Untuk mengisi harapan dan cita-cita dari penamaan IKN baru, penulis menganggap penting untuk mempertimbangkan visi besar Wali Songo tentang Nusantara. Visi tersebut yakni Angajawi (me-Nusantara) dan Hamukti Tanah Jawa (memperkuat dan membuat sakti/jaya Nusantara).

Dalam naskah kropak Babad Sasak, koleksi Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Denpasar dengan kode K. 15/P pada lempir (lembar) 137a, dijelaskan bahwa para penyebar Islam awal di Nusantara merupakan cucu keturunan Rasulullah SAW dari jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Siti Fatimah. Pan punika, wiwitane wang ajawi, milane gami Slam’, yang berarti ‘Inilah generasi pertama yang menjadi Jawi (menjadi Muslim Nusantara) yang menyebarkan dan mengajarkan agama Islam’.

Para penyebar Islam awal itu ajawi atau angajawi yakni bertransformasi dan menyatu menjadi bagian yang utuh dari konsepsi ke-Nusantara-an. Terkait hal ini, diceritakan dalam Babad Cirebon koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode CS 114 PNRI. Suatu ketika, Sunan Ampel ditanya oleh Syekh Sarafuddin, seorang syekh dari Arab.

Wong pundi tuwan, kang sahur Pangeran Ampel Denta, (h)Amba wong Jawi?’. Artinya, ‘Tuan datang dari negeri mana?’. Kangjeng Sunan Ampel menjawab, ‘Hamba wong Jawi’. Padahal, Sunan Ampel adalah cucu dan keturunan Rasulullah SAW asli 24 karat dan tentu saja bertampang Arab.

Mengenai hamukti tanah Jawa, dalam naskah Babad Sasak di lempir 137b-138a, dijelaskan ‘Hamulad hinalohu minan ari, samawati, wal dar lyaw dunya, lintang bungah etyase, denira Sinung aw(e)ruh, habdi mahluk lan ing Yang Wedhi, bawuh anyar kang katah, wibuh makan hinum, pangang(ng)go lan ihiwenan, sama dadi, tatanduranya sakuliring, hamukti Tanah Jawa’.

Artinya, ‘Memohon dan mengharap (barakah) turun dari langit dan dari bumi, di negeri dunia ini, hingga berlebihan dan melimpah, sangat gembira dan senang hati mereka (disebabkan rezeki yang berlimpah tersebut). Oleh Sang Sunan (Haji Duta Samud/Kangjeng Sunan Ampel), mereka diberitahukan bahwa hamba-hamba dan makhluk Allah yang suka mengabdi dan menyembah kepada-Nya akan diberi kelimpahan rezeki air bersih, bahan makanan dan minuman yang banyak, pangan dan hewan ternak berkembang biak, tanam-tanaman yang ditanam semuanya tumbuh dan jadi, sebagai bukti barakah dan tuah (mukti) tanah Jawa-Nusantara kita ini’.         

_____________________________________________________INFOGRAFIK

Menarik bahwa kesaktian dan kejayaan (mukti) tanah Jawa oleh para Wali Songo dikaitkan dengan kemandirian dan kekuatan ekonomi. Hal ini juga diajarkan dan dipraktikkan oleh murid Kangjeng Sunan Ampel, Raden Fattah, ketika babat alas dan membuka hutan Glagah Wangi atas perintah sang Guru. Hal pertama yang dilakukan setelah terbentuk perkampungan baru (Desa Bintoro) adalah menyiapkan lahan pertanian dan pengairan. Fasilitas umum berikutnya yang dibangun adalah pasar. Setelah itu, barulah membangun masjid untuk salat Jumat. Raden Fattah kemudian membangun Pondok Pesantren Demak sebagai basis pendidikan dan kaderisasi ulama dan para anak bangsa penerus kepemimpinan Islam atau bangsa (di) Nusantara.

Demikian pula ketika Kangjeng Sunan Giri (murid Sunan Ampel) dan murid-muridnya mendakwahkan Islam ke Maluku. Beliau mengembangkan pengelolaan rempah-rempah sebagai komoditas perdagangan unggulan. Beliau memperkenalkan sistem mata uang baru. Antonio Galvao, pengembara asal Portugis pada 1544, menulis, ‘Maluku sejak masuknya murid-murid Sunan Giri, mulai mengenal mata uang, tulisan, agama baru, musik, hukum, dan hal-hal baik lainnya bersamaan dengan maraknya penanaman rempah-rempah’.

Dalam catatan kesaksian Ibnu Batutah, pengelana dari Maghribi pada abad ke-14, setelah masuk Islam, Sultan Mahmud Malik Az-Zhahir (raja ketiga Samudera Pasai) diharuskan menjadi pedagang. Raja tidak boleh menjadi penguasa tanah (baca: feodalisme) serta tidak boleh memungut pajak dan upeti dari rakyat. Ibnu Batutah menyatakan, Raja Pasai tersebut memiliki armada kapal dagang dan juga perwakilan dagang di Guangzhou, Tiongkok. Dan dalam sejarahnya, memang profesi para penyebar Islam awal adalah pedagang. Serat Centhini menyebutnya agrami sambi agami atau berdagang sambil menyebarkan dan taat dalam ber-Islam.

Nah, kalau Presiden Jokowi mampu meneladani visi besar Wali Songo dalam angajawi dan hamukti ini, kita bisa menyematkan harapan besar tentang suara dan peran Nusantara dalam percaturan antar bangsa dan negara di kancah global dengan titik awal pembangunan IKN baru tersebut. Akan tetapi, kalau melihat praktik pengelolaan negara saat ini yang sangat bertumpu pada utang luar negeri dan hampir sepenuhnya menjadi bangsa pemamah atau konsumen, nampaknya jauh panggang dari api. Dan nampaknya ‘arus balik’ yang dibayangkan oleh Pram dan kedaulatan-kemandirian-kejayaan bangsa yang berbasis kemakmuran-kesejahteraan bersama yang sudah dibuktikan Wali Songo, masih memerlukan napas dan perjuangan panjang. (*)

Ditulis oleh: Asman Azis, ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PWNU) Kalimantan Timur  

Senarai Kepustakaan
  • Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015) 
  • Ahmad Baso, Islamisasi Nusantara dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo (Jakarta: Pustaka Afid, 2019)
  • Ahmad Baso dalam Riset Redaksi, Ilmu Ekonomi Pesantren dan Islam Nusantara: Demokrasi Ekonomi dan Cita-Cita Sosialisme Orang-Orang Pesantren (Jawaban Orang-Orang Indonesia terhadap Sistem Kapitalisme Global), dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 35 Tahun 2016
  • Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce (New Haven: Yale University Press, 1995), Vol. 2, Bab 1
  • Babad Cirebon (CS 114 PNRI), koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI)
  • Babad Sasak (K. 15/P), Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Denpasar. Aksara Jawa-Bali
  • H. Abdul Halim, dkk., Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel (Jakarta: Pustaka IMaN, 2021)
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar