Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-12): Dua Nasi Kotak

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-12): Dua Nasi Kotak

Ilustrasi: Nurmaya Liwang

Sebuah kejutan dari sahabat kental.
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini).

Ditulis Oleh: Fel GM
Minggu, 13 Oktober 2019

MASIH ingat Er Pe? Dia adalah Rudi Perdana yang sekarang mendapat julukan Riwayat Pintar. Ya, pintarnya tinggal riwayat. Sekarang, pintar pun tidak. Bodoh juga bukan. Tapi Er Pe atau RP adalah sahabat yang menyenangkan. Kadang juga menyebalkan.

Kehadirannya kadang dinantikan. Kadang pula menjengkelkan. Jengkel-jengkel rindu. Ya, seperti hari ini. Dia mengajak Rahman, Ulis Harat, Iyan Banjar, dan Anita mengadakan perundingan rahasia. Perundingan di kantin kampus. Mereka hanya berlima.

Hasilnya, sepuluh kawan terdekat diundang untuk sebuah acara: minum-minum dan makan-makan. Acara itu diinisiasi Anita dalam rangka memperingati dan menghibur Ratih yang berulang tahun besok. Segala biaya ditanggung Anita.

Sebenarnya ada keinginan untuk mengundang 38 mahasiswa angkatan mereka. Keinginan diurungkan setelah dengan seksama diperhitungkan bahwa hanya inisiator, dalam hal ini Anita, yang bisa menanggung biaya.

"Untuk persahabatan aku siap berkorban. Seperlima dari total biaya, aku yang akan membayarnya. Dengan catatan, akan kubayar bila aku lulus cepat dan dapat kerja." Nah, dengar bagaimana RP membual.

"Andaikata aku tidak ganti ban luar sepeda motorku, bisa saja aku ikut menyumbang. Di kantongku tinggal 50 ribu. Kiriman paling cepat datangnya 4 hari lagi. Jadi, bukan aku tak mau menyumbang. Tampaknya aku justru perlu disumbang," kata Iyan Banjar. Anak satu ini mengatakan apa adanya. Kawan-kawannya mengerti.

"Ya, kalau kamu, aku pahamlah," kata Anita menanggapi alasan Iyan Banjar. "Tapi kamu jangan juga sok kaya."

"Mana ada . Mana mungkin," bantah Iyan.

"Halah, titik lemahmu itu di depan cewek. Kalau sudah Yuli, Sari, Erma, di depan matamu, tanpa diminta kau langsung membayar apa yang mereka minum. Kalau wajahku yang ada di depan wajahmu, kau pura-pura lupa. Seperti tidak pernah kenal. Kasihan diriku. Diacuhkan!" Kata Ulis Harat dengan wajah mengiba.

Iyan Banjar menyorongkan tinjunya di depan wajah Ulis Harat. Senyumnya tak berdosa.

"Jangan sebarkan fitnah, Lis. Aku ini orang baik. Aku lho, mudah berempati kepada kawan sepanjang aku memang sedang punya duit. Bukan kamu yang selalu menghindar. Giliran punya duit, makan sendiri. Giliran gak punya, kamu ajak-ajak aku. Bayarnya? Aku!"

"Ya sudah. Kamu memang orang baik. Kalau di depan Yuli, Sari dan Erma, kamu baik. Kalau di depan kami, kamu paling jahat." RP menimpali. Anita tertawa-tawa. Murni Murai apanya lagi.

"Ampuuuuun. Hantu juga kalau dikeroyok, menyerah." Keras sekali suara Iyan Banjar. Beruntung tak ada orang lain di kantin itu kecuali mereka berlima dan ibu kantin.

"Jadi, acaranya besok malam selepas magrib. Tempatnya Warung Bahari di Jalan Antasari," kata Anita seraya memperlihatkan daftar mereka yang akan hadir dan ditanggung biaya makan dan minumnya. Daftar undangan itu sebagai berikut.

1. Anita
2. Rudi Perdana
3. Burhan Magenta
4. Ratih
5. Iyan Banjar
6. Ulis Harat
7. Murni Murai
8. Eddy Kacamata
9. Ipeth Foto
10. Yuli Langsing

"Kalau ada yang bawa teman selain yang terdaftar, biaya makan dan minumnya ditanggung si pembawa," tegas Anita seraya melirik Ulis Harat. Yang dilirik paham. Pernah terjadi, saat memperingati ulang tahun Anita, Ulis Harat mengajak dua temannya. Cewek satu, cowok satu. Akibatnya, pengeluaran bertambah.

Saat itu yang membayar adalah Rudi Perdana. Uangnya pas-pasan. Anita-lah menjadi juru selamat sehingga tidak ada yang dipermalukan. Besoknya, di kampus, Ulis Harat disidang.

"Aku salah. Aku minta maaf. Masalahnya itu sahabat kentalku di SMA. Mereka datang ke rumah saat aku hendak menghadiri acara kita. Aku jujur. Kubilang aku mau bertemu teman-teman di warung Bakso Sederhana. Mereka kuajak hanya basa-basi. Mereka mau. Nah, di situ aku sedih," ujar Ulis membela diri. Sebenarnya bukan membela diri. Mengonfirmasi saja.

"Ya, besok sendiri. Pasti," kata Ulis. Anita tersenyum. Sebenarnya ia bercanda.

Oh, ya, sekedar informasi, Eddy Kacamata --yang juga masuk dalam daftar undangan-- adalah sahabat kental mereka yang jarang bicara. Ia selalu menggunakan kacamata hitam karena pernah sakit tiga tahun. Entah sakit apa. Ia tidak menjelaskan. Yang ia katakan adalah, ia tidak bisa melihat matahari. Jangankan melihat matahari, ke luar rumah saja ia tak sanggup karena selalu merasa silau.

Penyakit itu, kata Eddy, sudah berlalu. Tapi silau masih terasa jika berada di luar rumah siang hari, meskipun tidak separah dulu. Itulah sebabnya nama Eddy mendapat tambahan kacamata. Sesungguhnya: kacamata hitam. Akan tetapi, Eddy yang juga teman seangkatan tidak berkaca mata.

Ada juga Ipeth, nama lengkapnya Fatmawati. Kalau disapa Ifat terasa kurang keren. Ia pun mengganti nama sapaannya Ipeth. Tambahan kata 'foto', dia sendiri yang melekatkan untuk menjadi ciri bahwa Ipeth adalah juru foto yang siap melayani foto ulang tahun, gathering, pernikahan, dan sebagainya.

Akan halnya Yuli Langsing, tentu dapat ditebak asal-usulnya. Ya, di angkatan ini ada tiga makhluk bernama Yuli. Yuli Ana gemuk. Yulianti gemuk sekali. Maka, Yuli yang satu disapa Yuli Langsing karena memang ia langsing dan nyaris kurus.

Esoknya, bertemulah kesembilan sahabat itu, kecuali Burhan Magenta. Menurut Anita, Burhan tidak bisa hadir karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Tidak bisa ditunda, katanya.

"Janjian sama pacarnya kali," kata Ulis Harat menebak-nebak.

"Dia tidak bilang begitu," kata Anita.

"Jelaslah, mana mau dia berkata jujur karena itu menyakitkan kita," balas Ulis lagi.

"Ada pekerjaan. Jadilah orang yang mudah percaya. Jangan mudah mendustakan," kata Anita.

"Apa, sih, yang bisa membuat seorang teman bisa menghindari undangan makan kalau bukan karena pacar?"

"Itu kamu, Lis. Jangan mengukur baju orang di badan."

"Waduh. Hei, kalian melupakan Rahman. Mengapa anak itu tidak diundang?" Anita tiba-tiba mengingatkan sahabat kental mereka, anak Bugis dari Muara Kembang.

Semua saling pandang seakan baru tersadar atas kesalahan. Bagaimanapun, Rahman adalah sahabat kental mereka juga. Apalagi anak lugu, sederhana dan sedikit kampungan itu dikenal rajin serta mudah menolong.

Ingat dengan Rahman ‘kan? Dialah yang tersedak-sedak kacang atom tempo hari gara-gara melongo dengan mulut terbuka. Kemudian Iyan Banjar melemparkan kacang atom ke mulut Rahman yang menyebabkan ia tersedak dan sulit bernapas.

Ingat, bagaimana kacang atom terlempar dari mulut Rahman bersamaan muncrat air liurnya ke wajah Iyan Banjar?

"Kalaupun kita undang, dia tidak bakalan datang karena neneknya di Muara Kembang lagi sakit keras. Kalian tahu ‘kan, sejak kecil Rahman sudah ditinggal ibunya. Ia dipelihara neneknya," kata Iyan Banjar menenangkan perasaan bersalah kawan-kawannya.

"Ya sudah, kita mulai saja acara ini. Nanti kemalaman," kata Anita.

"Pertama-tama saya sampaikan terima kasih atas kedatangan kalian semua. Pertemuan kita ini sebenarnya silaturahmi biasa tapi tidak juga seperti biasanya. Ada yang spesial. Yang spesial itu adalah Ratih."

Ratih tersentak saat namanya disebut. Ia heran, ada apa dengan dirinya.

"Ratih adalah sahabat kita. Bagi saya, Ratih adalah penghibur dan pembuka jalan. Saya pernah hampir tersesat. Ratihlah yang menguatkan. Tak perlulah kuceritakan itu. Kalian semua tahu. Karena itu, daripada kita didahului teman-teman yang lain besok, lebih baik kita yang lebih dulu mengucapkan selamat ulang tahun ke-21 untuk Ratih, sahabat kita."

Rudi Perdana langsung menyanyi. Merdu sekali suaranya. Satu persatu, dimulai Anita, memberikan ucapan selamat kepada Ratih. Ratih masih tetap terpana saat Anita memeluk dan mencium pipinya. Anita mengguncang tubuh Ratih yang terlihat bengong. Ratih balas memeluk Anita. Ia menangis. Pelukan keduanya pun bertambah erat dan lama.

Satu per satu temannya yang lain menyalami Ratih. Ia sudah bisa tersenyum. Meski sesekali masih mengusapkan tisu ke matanya.

"Terima kasih untuk kalian semua. Sungguh sama sekali di luar dugaan saya. Saya malah lupa jika besok hari ulang tahun saya. Saya tidak pernah merayakan ulang tahun."

Ratih lalu menceritakan bagaimana gurunya, Pak Suparmin namanya, menjelaskan bahwa ulang tahun setiap anak sejatinya adalah ulang tahun ibu yang melahirkan anak itu.

"Hari ini bukanlah hari ulang tahunku dilahirkan. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku melahirkan aku. Dua puluh satu tahun lalu, ia bertaruh nyawa untuk aku. Jujur, aku bahagia oleh perhatian dan ketulusan kalian merayakan acara ini. Tapi izinkan aku meminta kepada kalian bahwa syukuran ini adalah syukuran untuk ibuku. Doa untuk ibuku yang telah melahirkanku, merawat, dan mengasuhku. Semoga ibu selalu sehat dan dilindungi Allah SWT," kata Ratih.

Kata-kata Ratih membuat suasana berubah. Ratih menyadari hal itu.

"Sekali lagi terima kasih. Kalian baik sekali. Aku berdoa agar kalian selalu sehat, sukses, dan lancar studinya. Aku juga berdoa semoga ibu dan ayah kalian juga selalu sehat dan senantiasa dalam perlindungan Allah."

Murni Murai terisak. Ipeth Foto yang menenangkan Murni Murai malah ikut-ikutan menangis.

"Ada apa sih, kok, kalian berdua jadi menangis?" Rudi Perdana bertanya.

"Aku ingat ibuku, nah," kata Murni.

"Aku juga. Ibuku sudah lama pergi. Aku tak bisa membalas kebaikannya," kata Ipeth.

"Rudi, pimpinlah doa untuk keselamatan orangtua kita, baik yang masih ada maupun tiada. Jangan lupa, kita doakan juga nenek Rahman semoga lekas sembuh," kata Anita. Air mata masih mengalir di ujung matanya.

Rudi membaca doa. Khusyuk sekali ia membaca doa itu. RP memang bukan hanya merdu bernyanyi tapi juga fasih mengucapkan doa.

Makanan dihidangkan. Ratih tak ikut makan. Anita menegurnya.

"Aku minta dikotakkan saja. Akan kuberikan kepada ibuku dan kujelaskan bahwa nasi ini darimu, Anita, sahabat sejatiku."

Anita tak tahan diperlakukan seperti itu. Dipeluknya lagi Ratih.

"Makanlah yang ada di depanmu itu. Nanti kupesankan dua kotak lagi untuk kau bawa pulang. Untuk ayah dan ibumu."

"Ya. Tapi biar yang dua kotak itu aku yang bayar. Ada, kok, uangku."

"No, no, no. Jangan. Aku yang bayar," kata Anita lagi. Ia mengambil sendok dan garpu. Diserahkannya kepada Ratih.

"Makanlah."

Usai makan, Ratih minta izin pulang duluan. Ia ingin segera tiba di rumahnya. Menyerahkan dua nasi kotak untuk ayah dan ibunya. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar