Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-19): Sayur Santan Labu Merah

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-19): Sayur Santan Labu Merah

Ilustrasi: Nurmaya Liwang (kaltimkece.id)

Satu hari, dua pertemuan yang tak terduga. 
(Ingin membaca cerita bersambung ini dari awal? Ketuk di sini). 

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Minggu, 20 Oktober 2019

RATIH mengangguk pelan. Ia menyesal harus ke pusat perbelanjaan keperluan rumah dan bangunan ini. Bukan karena takut berhadapan dengan pemuda ganteng melainkan lelaki ini mengingatkannya kepada kelalaian. Gara-gara itulah, ia diberhentikan bekerja di warung makan Haji Nanang Kaya.

Kelalaian itu bukanlah kesengajaan apalagi kecerobohan. Kelalaian demi keselamatan seorang anak yang tiba-tiba saja melintas di warung Haji Nanang Kaya. Menurut Ratih, sesungguhnya ia telah mengambil tindakan yang baik. Jika ia tidak menyingkir, tentu anak itu tertabrak olehnya. Itu lebih berbahaya.

Ratih bertanya-tanya dalam hati. Dua kali sudah dalam hidupnya mengalami peristiwa serupa. Yang pertama, anak yang tiba-tiba melintas di warung makan Haji Nanang Kaya. Kedua, anak yang menangis dan memanggil-manggil ayahnya di Mal. Keduanya menyisakan kenangan. Kenangan pahit.

"Sering aku ke warung makan Pak Haji, tapi tetap saja tidak melihatmu di sana."

"Saya berhenti bekerja di situ, Pak".

"Jangan kau panggil aku ‘Pak’. Terasa betul tuanya aku."

"Ya, Pak."

"Yusuf, namaku."

"Ya, Bang."

"Nah, itu juga boleh karena usiaku pasti lebih tua darimu. Tapi tidak terlalu tua, lah. Jadi, bekerja di mana sekarang?"

"Saya masih kuliah, Pak. Eh, Bang."

"Jurusan apa?"

"Manajemen Pengembangan Destinasi Wisata."

"Oh, bagus itu. Semester berapa sekarang?"

"Terakhir, Bang."

"Di mana?"

"Polnes, Bang. Maksud saya, Politeknik Negeri Samarinda."

"Ya ya, kampusnya di Samarinda Seberang. Saya tahu itu. Salam saya untuk Pak Fauzan dan Pak Way Lanang."

"Abang kenal mereka?"

Pemuda itu tak segera menjawab. Seorang wanita muda menunjuk jam di tangannya lalu berkata-kata dengan pemuda itu dengan suara yang tak mampu didengar Ratih.

"Bang, saya duluan, ya. Maaf, ya, peristiwa dulu itu."

"Sebentar. Sebentar. Saya ada perlu," kata pemuda itu sambil melanjutkan pembicaraan dengan gadis di sebelahnya. Gadis memakai blazer tersebut lebih terlihat sebagai karyawan bank.

"Begini, Ratih. Saya agak tergesa-gesa. Biasalah, namanya juga kerja. Saya mengundangmu untuk bertemu kapan kamu ada waktu. Siapa tahu, kita bisa bekerja sama."

"Kerja sama apa, Bang?"

"Saya sedikit tahu tentang siapa kamu. Bu Purwati menceritakannya kepadaku. Sekarang, aku diminta menemui seseorang. Urusan pekerjaan. Dia akan segera bertolak ke Jakarta melalui bandara Samarinda. Dia khawatir terlambat karena takut terhalang banjir. Padahal, aku ingin bicara banyak denganmu. Boleh aku dapat nomor teleponmu?"

"Tidak punya, Bang."

"Mengapa keberatan memberikan nomor telepon?"

"Memang saya tidak punya."

"Jadi, bagaimana saya bisa menghubungimu?"

"Ya, bagaimana, ya?" Ratih bingung.

"Oke, begini saja. Ini kartu nama saya. Jika ada waktu, kirim pesan atau telepon saya. Kau bisa pinjam telepon temanmu."

"Baik, Bang," kata Ratih sambil memandangi keduanya yang segera berlalu dan agak tergesa-gesa.

Setahu apa dia tentang aku? Apa yang diceritakan Bu Purwati; istri Haji Nanang Kaya kepada pemuda itu? Eh siapa tadi namanya? Yusuf?

Ratih mencoba mengingat-ingat mama pemuda itu. Takut salah, ia melihat kartu nama yang diberikan padanya. Tertera : Yusuf Kertanegara. Ada nomor telepon/WhatsApp. Ratih bingung karena alamat yang tertera adalah Jakarta.

Jangan-jangan Yusuf, eh, Bang Yusuf itu bekerja di Jakarta. Tapi mengapa ia makan di warung Haji Nanang Kaya lebih setahun lalu? Jangan-jangan dia produser film yang mencari pemain film ke daerah-daerah, ujung-ujungnya menipu? Jangan-jangan ia adalah bagian dari jaringan atau sindikat pencari wanita muda untuk ditawari bekerja ke luar negeri, ujung-ujungnya menjadi pemuas nafsu belaka?

Bergidik Ratih membayangkannya. Tapi benarkah Yusuf Kertanegara di dunia kelam seperti itu? Atau jangan-jangan dia hanyalah sales herbal dengan pola multilevel marketing? Itukah maksudnya memberikan kartu nama dirinya? Atau bukan herbal tapi jaringan pengedar narkoba kelas atas?

Lalu siapakah gadis di sebelahnya? Itukah bosnya yang mengingatkan bahwa mereka dikejar-kejar waktu untuk bertemu mitra? Ah, jangan-jangan bukan mitra usaha tapi mitra jaringan narkoba? Akan tetapi, penampilan gadis di sampingnya tidak mencerminkan mereka adalah penjahat.

"Oalah, penjahat kelas atas biasanya justru penampilannya perlente. Kendaraannya Pajero tapi sewaan. Makan di restoran. Uang pas-pasan. Tapi, apa perlunya dia ke pusat peralatan rumah tangga dan bangunan ini tadi, ya?"

Ratih masih menebak-nebak siapa sesungguhnya Yusuf Kertanegara. Di balik persepsi negatif, tebersit juga penilaian positif. Kalau dia penjahat narkoba, mustahil selalu makan di warung Haji Nanang Kaya. Hampir setiap hari.

"Tapi mengapa dia selalu makan siang di situ? Kalau melihat kartu namanya, pakaian dan sepatu yang dikenakannya, jelas dia bukan kuli, sopir, ojek online. Tapi, dari dulu memang pakaiannya seperti itu. Kasual. Tak resmi. Sangat berbeda dengan gadis di sampingnya."

Ratih menarik nafas panjang. Ia melihat ke sekitar. Ia masih berdiri di sini sejak tadi. Bodohnya aku, kata Ratih dalam hati. Mengapa aku harus memikirkan pemuda itu? Apa untungnya? Itu ‘kan hanya pertemuan kebetulan.

Ratih mengendarai sepeda motornya pelan-pelan. Jalan M Yamin tak terlalu ramai. Langit dengan awan mendung melindunginya. "Mending aku memasak hari ini. Sudah lama aku tak memasak. Ayah ‘kan selalu memuji sayur santan dicampur labu merah dan daun cangkuk manis. Ayah biasanya lahap makan kalau disertai ikan terkulu bakar dan sambal mangga muda cincang."

Ratih pun segera menuju pasar yang tak jauh dari rumahnya. Keinginan memasak membuatnya bergairah dan tersenyum-senyum di perjalanan. Ia meneguk air liurnya. Terbayang makan malam yang indah bersama ayah dan bundanya. Makan malam masakannya.

"Hari ini, ibu tak boleh repot memasak. Biar aku yang menyiapkan segalanya," kata Ratih dalam hati.

Ia segera memarkir sepeda motornya. Baru saja ingin memasuki pasar, matanya terbelalak karena wanita tua dengan lapak sayur menjual labu merah, labu putih, bayam, cangkul manis, dan kacang panjang itu sangat dikenalnya.

Wanita tua itu tak sadar. Tiba-tiba ia merasakan pelukan di dirinya. Pelukan yang sangat dikenalnya. (bersambung)

Serial selanjutnya, ketuk
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim. 
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar