Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-8): Mimpi

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-8): Mimpi

Ilustrasi: Nurmaya Liwang

Kuliah pendek pada suatu malam yang mengurai makna beragam.

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Rabu, 09 Oktober 2019

MAKAN malam usai. Di hamparan pasir dengan alas seadanya, semua peserta studi lapangan duduk dengan nyaman. Angin pantai yang dingin menerpa wajah mereka. Semua peserta mengenakan jaket. Angin itu sebenarnya sudah terhalang pepohonan cemara pantai. Angin, sebagaimana air, selalu mencari celah. Dinginnya tetap terasa.

Siang yang gerah sudah berlalu. Bulan memasuki hari keempat belas. Molek sekali wajahnya. Kilauan cahayanya memantul-mantul di riak laut Pangempang. Cahaya itu juga menyinari mahasiswa yang sangat menikmati keindahan malam Minggu ini.

Pasir di Pantai Panritta Loppi ini halus dan bersih karena selalu dijaga karyawan pengelola pantai. Api di tengah-tengah lingkaran menyala. Api dari dahan-dahan patah dan kering itu membantu menghalau nyamuk. Apinya tidak besar. Bukan api unggun. Tapi baranya cukup menambah keindahan malam purnama.

Semua kelompok sudah hadir. Pak Fauzan Putra Kleper juga sudah duduk bersama-sama mahasiswa. Ada dua orang asing beserta Pak Fauzan.

"Malam ini, di tengah-tengah kita, telah hadir Pak Akhyar Khay dan Pak Yustinus Sapto Hardjanto. Pak Akhyar adalah Direktur PT Pesisir Indah Lestari, sebuah perusahaan konsultan yang mengkhususkan diri kepada perencanaan lingkungan. Sedangkan di sebelah beliau adalah Pak Yustinus. Beliau pegiat lingkungan yang hari-harinya ia baktikan untuk kebaikan dan kelestarian Sungai Karang Mumus Samarinda," kata pak Fauzan mengenalkan.

"Pak Akhyar kebetulan ada di sini. Beliau adalah pakar lingkungan. Saya sering menjulukinya sebagai ahlinya ahli, core of the core. Saya sudah lama berteman. Saya minta secara mendadak agar beliau memberi kultum, maksud saya kuliah tujuh menit, untuk kita semua. Ini penting karena daya tarik pariwisata Kaltim itu antara lain karena keindahan dan keragaman alamnya. Kalau alam yang indah itu terganggu, punahlah daya tarik itu. Dalam kerangka itu, kehadiran Pak Akhyar di acara kita menjadi sangat penting."

Pak Akhyar pun memulai ceramahnya.

"Adik-adik, maaf saya panggil adik-adik, karena kalau saya panggil bapak-bapak, khawatir tersinggung. Kalau saya panggil anak-anak, saya takut terlihat tambah tua," kata Pak Akhyar memulai.

"Kita sudah melihat sendiri, bibir pantai kawasan Pangempang ini tidak semua ditumbuhi pepohonan mangrove lagi. Sebagian jadi pemukiman. Ini sudah berlangsung lama. Sebagian sudah jadi tambak. Sebagian tambak itu sudah tidak berfungsi lagi."

"Hilangnya pepohonan atau hutan mangrove itu tentu tidak sekedar hilangnya keindahan tapi juga hilangnya sumber kehidupan bagi makhluk samudra. Padahal, makhluk samudra itu sangat berarti bagi kehidupan manusia."

Mahasiswa dengan latar belakang program studi manajemen destinasi pariwisata itu mencoba memahami kalimat per kalimat Pak Akhyar. Mereka tercengang saat Pak Akhyar memberi ilustrasi berbagai kerusakan lingkungan dan akibatnya bagi manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pak Akhyar lalu menyebut bahwa tindakan kejam, salah urus, serampangan, telah terjadi dalam pengelolaan hutan dan pertambangan. Kalimat-kalimat pedas yang dilontarkan pak Akhyar membuat mahasiswa bertanya-tanya mengapa Pak Akhyar berani mengucapkannya. Pak Akhyar memang dikenal sangat kritis. Ia orang swasta dan tidak punya beban untuk menyebut bahwa selama ini kita banyak melakukan tindakan bodoh dan pembodohan.

"Menghijaukan lahan dengan menanam anak akasia, misalnya, itu adalah tindakan ceroboh. Untuk apa menanam pohon impor itu. Dia mematikan kehidupan. Hamparan tanah tidak perlu ditanami apa-apa. Biarkan dia ditumbuhi semak bahkan ilalang."

Para mahasiswa banyak yang terbelalak. Aneh sekali pernyataan ini. Bukankah selama ini, penanaman pohon seperti itulah yang dilakukan?

Pak Fauzan mengatakan bahwa Pak Akhyar adalah ahli lingkungan. Konsultan lingkungan. Mengapa pernyataannya bertolak belakang dengan pelaksanaan penghijauan yang selama ini sudah berjalan?

"Tak perlu membasmi ilalang apalagi membakar atau menyemprot ilalang dengan pestisida. Biarkan saja karena akar ilalang itu akan menjadi pelindung biji-bijian yang ditabur oleh burung pergam, punai, dan burung yang lain. Bijian itulah yang kemudian melahirkan anakan pohon-pohon itu. Anakan pohon itulah kelak menjadi pohon halaban, sirih-sirihan atau ekor tikus, jenis-jenis beringin, kujajing, dan puspa yang hidup harmoni dan saling memberi bersama semak paku-pakuan."

“Jadi, membasmi ilalang dengan semprotan herbisida, membakar ilalang dan atau menanaminya dengan akasia adalah tindakan ceroboh, sia-sia dan menghamburkan uang saja," kata Pak Akhyar.

"Berarti itu tindakan ngeramput, ya, Pak?" Tiba-tiba Iyan Banjar menyela.

"Ngeramput itu artinya bohong, kan? Bisa juga ditafsirkan seperti itu karena kalau diteliti dengan sungguh-sungguh, jumlah pohon akasia yang ditanam untuk penghijauan tidak sama dengan yang tumbuh setelah lima tahun kemudian. Untuk apa pohon itu ditanam? Untuk ditebang lagi? Itu namanya bukan penghijauan. Itu industri. Itu dagang. Penghijauan itu harus bersifat menghutankan. Hutan kita sebelumnya macam-macam pohonnya, mengapa diseragamkan? Seperti tentara saja, eh, seperti anak sekolah saja, maksud saya," jawab Pak Akhyar. Mahasiswa pun tertawa-tawa.

"Menghutankan artinya membuat jadi hutan. Penghijauan artinya membuat jadi hijau. Jadi tidak salah juga kalau ditanami akasia. Yang penting hijau." Giliran Rudi Perdana menyela.

"Ya, kalau penghijauan itu sekedar menghijaukan, bisa saja ditanami akasia, terembesi, bahkan sayur bayam dan kacang panjang. Itu kan juga hijau," jawab Pak Akhyar. Tentu saja peserta studi lapangan itu terpingkal-pingkal. Mana ada penghijauan dengan bayam dan kacang panjang.

"Kalau begitu, sebaiknya diganti, Pak. Jangan ada lagi penghijauan. Saya setuju dengan kata menghutankan. Rasanya gimana gitu," kata Rudi Perdana alias RP alias Riwayat Pintar. Ihwal mengapa RP bukan singkatan dari Rudi Perdana melainkan Riwayat Pintar sudah diceritakan sebelumnya.

"Ya, saya pun setuju. Mudah-mudahan presiden terpilih melirik saya jadi menteri kehutanan. Sepuluh hari pertama tugas saya adalah mengganti kata penghijauan dengan penghutanan. Lebih seksi, lebih adem, lebih beraneka, lebih cantik, lebih indah, lebih berwarna, terasa pesonanya," jawab Pak Akhyar.

"Lawannya menghutankan adalah menggundulkan. Penambangan itu berarti menggundulkan," celetuk Rahman yang merasa tak nyaman jika tidak unjuk suara.

"Betul. Seratus. Maaf, kalau ada yang kepalanya gundul. Yang menyinggung teman adik-adik sendiri."

Semua mata menoleh ke Ulis Harat. Anak satu itu kemarin sore memotong rambutnya sangat cepak. Nyaris gundul. Ulis tahu arti tatapan temannya. Ia tak peduli. Ia bahkan mengangkat tangannya.

"Ya, ada apa?" Pak Akhyar bertanya.

"Kawasan ini disebut Pangempang. Itu ceritanya bagaimana, ya, Pak?"

Pertanyaan Ulis Harat sontak mengundang gaduh. Sebagian kawannya menunjuk-nunjuk wajah Ulis. Sebagian lagi berteriak, "Gak nyambung, ui."

Beberapa mahasiswa malah terpingkal-pingkal karena menganggap pertanyaan Ulis Harat di luar konteks.

"Mungkin, ini mungkin, lho. Saya tidak tahu persis. Mungkin saja Pangempang dari kata empang. Empang itu artinya tambak. Karena di sini banyak Empang, orang yang mengusahakan empang disebut Pangempang. Ini lebih nyaman dari pada disebut petambak. Atau di sini, di masa lalu, rambut-rambut gadisnya dikepang dan itu asal-muasal kata Pangempang? Bagaimana menurutmu?" Pak Akhyar balik bertanya kepada Ulis Harat.

"Bisa jadi, Pak. Bisa pula karena orang-orang di sini, yang kebanyakan orang Bugis, terkejut-kejut saat ada orang Jawa mengkhitankan anaknya lalu mengundang hiburan kuda kepang. Lalu penunggang kuda kepang mereka sebut Pangempang."

Pak Akhyar tak kuat menahan gelinya. Ia pun tertawa. Semua tertawa. Kecuali Burhan Magenta. Sedari senja, wajahnya muram.

Setelah reda, Pak Akhyar pun melanjutkan ceramah. Suasana semakin cair dan mahasiswa sudah berani menyela setiap kali mereka mendengar kalimat atau kata-kata yang aneh bagi telinga mahasiswa pariwisata.

"Baik kita lanjutkan. Kita masih membicarakan tentang akasia. Akasia itu pohon asing. Dedaunan akasia itu tidak dikenal oleh makhluk dekomposer yang akan mengubah daun-daun itu menjadi substrat organik seperti humus yang berfungsi menyuburkan tanah."

"Jadi, akasia itu sebenarnya musuh karena tidak memberi peluang pohon-pohon lain tumbuh. Selain itu, daun akasia sulit terurai dan bila daunnya kering berpotensi memicu kebakaran hutan," ujar Pak Akhyar sambil mencontohkan peristiwa yang sering terjadi di sepanjang jalan Samarinda-Balikpapan, terutama di kawasan Bukit Suharto.

"Kalau ada duit, jangan buat program menanam pohon, apalagi kalau upacaranya boros duit untuk beli seragam kaus, bagi-bagi tas, sewa tarup, kursi, dan nasi kotak serta dalam kemasan," kata Pak Akhyar. Wajahnya tampak kecewa karena banyak penghijauan sia-sia dan tidak ada hasilnya.

"Biasanya itu dilakukan pejabat, Pak. Diikuti anak buahnya. Diikuti Pramuka, juga mahasiswa," celetuk Rudi Perdana.

"Ya, itu kebiasaan yang harus diubah," jawab Pak Akhyar.

"Nah, dalam kaitan dengan mangrove, kita pun harus menjaga dan merawatnya. Kerusakan mangrove akan merusak ekologi pesisir, laut, dan pada akhirnya juga berimbas kepada manusia."

Akhyar menjelaskan bahwa mangrove adalah vegetasi perambah ruang samudra. Pembentukan dataran pesisir subur dimulai dari tindakan perambahan oleh mangrove ini. Berbagai jenis mangrove memiliki perannya masing-masing.

Menurut Akhyar, tidak serta-merta bahwa mangrove adalah bakau. Anggapan itu keliru. Tatanan alamiah zona hutan mangrove dimulai dari pohon perepat sebagai pohon print samudra. Lapis kedua adalah pohon api-api. Lapis ketiga adalah bakau dan lapis keempat adalah vegetasi nipah.

"Itu semua tanah alamiah yang tak boleh terusik oleh kehendak manusia. Kita harus menjaganya. Melarang setiap ada yang mengganggunya. Kalau kita mau menanam, tanamlah pohon sesuai zonanya. Ingat, jangan tanam akasia apalagi bayam, kacang panjang dan kuda kepang. Cukup, ya?" Pak Akhyar mengakhiri kuliahnya.

Semua tertawa. Semua tepuk tangan. Pak Fauzan Putra Kleper juga. Kecuali Burhan Magenta. Ia tetap tak menunjukkan antusiasnya. Matanya lebih banyak tertuju ke bulan purnama. Sesekali mencuri pandang kepada Ratih yang duduk berseberangan.

Pak Fauzan lalu menyatakan bahwa acara berikut adalah hiburan. Namun, ia minta agar acara ini sudah diakhiri pukul 23.00.

"Besok pagi, kita masih ada acara. Laporan setiap kelompok dan diskusi. Silakan berhibur diri."

Mula-mula, setiap kelompok menyajikan penampilannya. Ada juga yang diwakili oleh anggota kelompok saja. Kemudian acara bebas. Siapa saja boleh tampil.

Burhan tak terusik oleh suara gitar dan tetabuhan dari gayung, ember, dan sendok yang diadu dengan botol. Ia hanya tersenyum saat kawan-kawannya terbahak-bahak oleh gaya joget kawan-kawannya menyanyikan lagu dangdut.

Matanya justru terbelalak saat dilihatnya Ratih maju ke tengah arena menyanyikan lagu Mimpi milik Anggun C Sasmi diiringi dentingan gitar Rudi Perdana.

Mimpi
(Anggun C Sasmi)
 
Dalam hitam gelap malam
Ku berdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini
Telah terkubur sejuta kenangan
Dihempas keras gelombang
Yang tertimbun batu karang
Yang takkan mungkin dapat terulang
 
Wajah putih pucat pasi
Tergores luka di hati
Matamu membuka kisah
Kasih asmara yang telah ternoda
Hapuskan semua khayalan
Layangkan satu harapan
 
Ke mana lagi harus mencari
Kau sandarkan sejenak beban diri
Kau taburkan benih kasih hanyalah emosi
Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri kau tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
Kini hanya rasa rindu merasuk di dada
Serasa terbang melayang pergi
Terbawa arus kasih membara
 
 
Ratih menghipnotis semua kawan-kawannya. Ia menyanyi sepenuh hati. Iringan suara gitar yang dimainkan Rudi Perdana juga sangat menguatkan makna lagu. Hampir semua tak percaya bahwa kedua makhluk bernama Ratih dan Rudi Perdana memiliki kemampuan itu.

Hampir dua tahun mereka kuliah. Tak pernah Ratih tampil menyanyi. Rudi Perdana malah lebih banyak membaca puisi. Rahman yang selama ini sering main gitar di ruang himpunan mahasiswa program studi malah menganga saja mulutnya melihat permainan Rudi. Ia malu. Skillnya tak apa-apa dengan petikan klasik yang dimainkan Rudi Perdana.

Burhan Magenta tak kalah takjubnya. Lagu itu seperti suasana batinnya. Tapi, untuk siapakah lagu itu dinyanyikan Ratih malam ini?

"Untukku? Ah, tidak. Yang jelas ia bernyanyi bukan bersamaku. Aku tak bisa main gitar. Aku tak bisa mengiringi Ratih menyanyi. Mungkin lagu itu justru untuk Rudi. Mungkin mereka sering latihan bersama. Aku saja yang tak mengetahuinya selama ini. Apakah aku bermimpi? Ratih menyindirku?" Burhan Magenta bertanya kepada dirinya sendiri.

Acara berakhir. Semua masuk ke tenda dan beristirahat. Hanya Burhan Magenta yang masih duduk di tepi pantai. Sendiri. Sunyi. (bersambung)

Serial selanjutnya:
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-9): Anita Taurussia Sampaja Bihain Penjara
 
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar