Cerpen

Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-9): Anita Taurussia Sampaja Bihain Penjara

person access_time 4 years ago
Ratih Tanpa Smartphone (Bagian-9): Anita Taurussia Sampaja Bihain Penjara

Ilustrasi: Nurmaya Liwang

Tak ada yang lebih merisaukan dari kerinduan kepada orangtua.

Ditulis Oleh: Es Pernyata
Kamis, 10 Oktober 2019

KEINDAHAN bawah laut perairan Muara Badak tinggal kenangan. Terumbu karang dan ikan warna-warni di Batu Enjer dan Batu Lampe masih terbayang-bayang di wajah Ratih.

Malam yang dingin dan indah di Pantai Panrita Loppi menyisakan kesan yang tak terlupakan. Pepohonan cemara dan pantai pasir putih yang lembut. Camar-camar yang bercanda dan sesekali menukik menyambar ikan permukaan.

Matahari tenggelam menelan senja. Malam yang dingin menusuk tulang. Angin yang berembus. Langit cerah dengan gemintang bertaburan. Purnama yang berkilau, memukau, dan penghilang risau. Semua tinggal kenangan.

Kebahagiaan bersama kawan-kawannya selama tiga hari dua malam menjadi obat bagi keresahan selama ini. Keresahan yang bersumber dari pemutusan pekerjaan, ancaman berhenti kuliah. Keresahan dari keterpaksaan menjual sepeda motor yang selama ini setia menemani Ratih, pagi maupun sore, siang maupun malam, terik maupun hujan.

Ada saatnya pergi dan ada saatnya pulang. Ada saatnya bersama, ada pula saatnya sendiri-sendiri. Ratih masih bersama teman-temannya di bus. Setengah jam perjalanan mereka masih bercanda. Setelah itu, seorang demi seorang tertidur. Sebagian masih terbuka matanya tapi pikirannya entah ke mana. Ratih memejamkan mata selama perjalanan. Ada saatnya ia tertidur, ada pula saatnya terjaga tapi ia malas membuka mata.

Ratih kangen berat kepada ayah dan ibunya. Bagi Ratih, ayah dan ibunya adalah segala-galanya. Merekalah yang telah merawat, membesarkan, menghidupi, dan menyekolahkan. Ia ingin bus segera sampai. Ingin memeluk ibunya.

Bus telah sampai di kampus. Mereka berpisah. Ratih segera pulang. Akan tetapi, Ratih terpaksa dibuat kecewa. Ibunya tak ada di rumah. Pintu depan dan pintu samping terkunci.

Bukan kali ini saja Ratih menemukan rumah terkunci. Sudah beberapa kali. Keadaan ini menjadi pertanda bahwa ayahnya tidak di rumah. Mungkin mencari pekerjaan atau jangan-jangan sudah pergi bekerja. Ibunya, seperti biasa, pergi ke pasar. Sebenarnya, ibunya bisa saja membeli sayur itu dengan bibi sayur yang setiap hari lewat di depan rumahnya. Akan tetapi, ibunya selalu beralasan, ke pasar adalah berolah raga. Ibunya, pergi-pulang selalu berjalan kaki.

Biasanya, Ratih membawa kunci cadangan. Saat pergi studi lapangan ke Muara Badak, ia lupa membawa kunci pintu belakang. Padahal, kunci pintu belakang dibuat dua cadangannya. Cadangan itu bisa dibawa Ratih dan satu lagi biasa dibawa ayahnya. Jadi, jika ketiganya keluar rumah dan saat pulang rumah terkunci, tidak harus menunggu karena punya kunci masing-masing.

Walaupun rumah ini kecil tapi punya beranda depan yang cukup luas. Beranda depan rumah yang terbuat dari kayu ini selalu terlihat rapi karena dibersihkan setiap hari. Dua kali. Pagi dan sore. Maklum, di depan beranda ada pohon jambu. Bila angin bertiup kencang, daun-daun tua beterbangan dan sebagian jatuh di beranda.

Ada keinginan ayahnya pohon jambu itu ditebang agar daunnya tidak mengotori pekarangan dan beranda. Tapi keinginan itu tidak bisa diwujudkan karena tanpa pohon jambu itu, beranda ini akan panas bila siang dan sore hari. Pohon ini adalah pelindung beranda dari terpaan sinar matahari. Demikian Ratih beralasan. Ayahnya setuju dengan alasan itu.

Di beranda inilah biasanya Ratih menghabiskan waktu libur jika tidak ke mana-mana. Dia biasa membaca, biasa pula mengerjakan tugas kampus, atau sekedar menulis puisi. Puisi yang disimpannya untuk diri sendiri. Pernah pula ia menulis cerita pendek. Tapi cerita itu tentang dirinya sendiri. Tentang khayalan Ratih sendiri. Ia berkhayal menjadi anak dari seorang keluarga kaya yang baik hati.

Sebagai anak dari keluarga kaya; berkecukupan, apa saja yang dikehendakinya, bisa dia beli. Pernah suatu kali ia melihat ada tetangganya yang berjualan singkong di pasar malam. Oh, ya, di dekat daerah tinggal Ratih, bila malam Minggu, selalu ada pasar malam. Seminggu sekali. Para pedagang kebanyakan dari luar. Ada pula dari warga kampung ini. Umumnya berjualan minuman dan makanan.

Tetangga Ratih itu biasa disapa Mbah Parno, nama lengkapnya, sih, Suparno. Mbah Parno selalu memikul sendiri singkong itu ke pasar malam. Jaraknya sekira 800 meter. Sekarung isi 50 kg. Menurut Ratih, singkong seberat itu tak pantas dipikul oleh Mbah Parno yang sudah tua. Kasihan dia.

Pernah suatu kali, Ratih melihat Mbah Parno jatuh gara-gara ia mengambil jalan pintas menuju Pasar Malam. Saat itu Mbah Parno meniti papan yang digunakan sebagai jembatan untuk menyeberangi parit. Rupanya papan itu tidak kuat untuk menahan beban tubuh Mbah Parno dan singkong yang dipikulnya. Mbah Parno jatuh bersama singkongnya ke dalam parit.

Parit itu tak jauh dari rumah Ratih. Hanya dibatasi dua rumah. Ratih yang melihat peristiwa itu spontan berteriak mencari orang agar menolong Mbah Parno. Orang-orang pun berdatangan dan menyelamatkan Mbah Parno yang separuh tubuhnya di dalam parit dan singkong dalam karung itu berhamburan di sekitarnya.

Kejadian itu menggerakkan Ratih untuk menolong Mbah Parno. Seminggu setelah peristiwa itu, Mbah Parno sudah memiliki gerobak yang mudah didorong. Mbah Parno sangat berterima kasih atas bantuan itu. Ia menghadiahi Ratih singkong.

Yang mengharukan, Mbah Putri, demikian istri Mbah Parno biasa disapa, menangis haru atas kebaikan Ratih. Ia merasa bantuan itu sangat berharga. Ia takut suaminya jatuh lagi jika harus memikul singkong hasil tanaman sendiri itu.

Setiap malam Mbah Putri mengurut suaminya dan berdoa agar suaminya tetap sehat dan kuat karena hanya kepada suaminyalah Mbah Putri menggantungkan hidupnya. Mbah Parno dan Mbah Putri adalah perantauan dari Lamongan dan sejak menikah, tidak dikaruniai turunan.

Tapi Ratih bingung. Sudah lama ia tak melihat Mbah Parno. Yang dilihatnya adalah seorang perempuan merintih di tepi trotoar.

Ratih yang subuh itu mengendarai Honda CRV terbarunya, segera berhenti ke tepi jalan. Hari masih pagi dan jalan tepian sungai dekat pelabuhan kapal motor bersandar masih sepi. Kabut masih menyelimuti pagi Minggu saat Ratih akan jogging di Tepian Mahakam.

Ratih biasa joging di depan kantor gubernur. Setelah joging, dia biasanya mengikuti senam jantung sehat yang selalu diikuti banyak orang, baik orang tua maupun yang masih muda.

"Hei, kamu taruh di mana matamu sehingga kau tabrak ibu ini?" Tiba-tiba seorang pemuda tanggung menghardik Ratih yang baru saja mencoba menolong perempuan tua tersebut

Tentu saja Ratih marah oleh hardikan itu. Ia berdiri dan menatap pemuda tanggung di depannya.

"Jangan sembarangan menuduh orang. Saya justru mau menolong ibu ini."

"Menolong? Pasti kamu yang menabraknya."

"Jangan-jangan malah kamu. Jangan pura-pura, ya" balas Ratih.

"Dasar anak orang kaya. Kamu punya SIM tidak? Subuh-subuh bawa mobil orang tua. Baru belajar, ya?"

"Bukan. Bukan. Yang nabrak aku pakai sepeda motor." Perempuan tua itu memotong pertengkaran keduanya.

Pemuda itu meminta maaf kepada Ratih. Ia kemudian menawarkan kepada perempuan tua itu untuk membawanya ke rumah sakit. Perempuan tersebut menolak.

"Aku kaget saja. Perih sedikit," kata perempuan itu seraya memegang tumitnya. Lalu ia mencoba berdiri. Ratih membantu dan membujuk agar perempuan tua itu mau naik ke mobilnya. Ratih ingin mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya.

"Rumahku dekat saja. Aku jalan saja. Aku tadi olahraga. Jalan kaki," kata perempuan tua itu.

"Maaf, ya," kata pemuda yang sempat menduga Ratih baru saja menabrak wanita tersebut.

"Makanya, jangan mudah menuduh, ya," balas Ratih. Hatinya masih tak nyaman karena pagi-pagi sudah dihardik lelaki sembrono, grusa-grusu. Pemuda itu tersenyum.

"Oke, oke. Aku takut ada apa-apa dengan ibu ini. Salahnya, aku tak tanya dulu. Kulihat kamu bersamanya, ya, kamulah yang kuanggap mencelakainya. Maaf, ya."

"Ya."

"Namamu siapa sih?"

"Ini mau minta maaf apa mau kenal?"

"Minta maaf dan kenal. Tidak salah, kan?"

"Ya sudah. Apalagi?"

"Nama.....namamu"

"Ita."

"Lengkapnya?"

"Anita Taurussia Sampaja Bihain Panjara."

"Bah," kata pemuda itu sambil tertawa-tawa.

"Apanya, bah?"

"Kamu bohong."

"Jangan mudah menuduh, ya!"

"Oke, oke. Aku percaya. Ita."

"Ya sudah. Jadi, ibu jalan kaki saja?" Kata Ratih dan langsung mengalihkan perhatiannya kepada perempuan tua yang sudah selesai merapikan pakaiannya.

"Namaku Borneo", kata pemuda itu seraya berjalan ke arah sepeda motornya.

"Aku tanya, ya?" Balas Ratih.

Pemuda itu tertawa. Ia menghilang di tikungan dengan sepeda motor bebeknya.

Ratih kesal dengan pemuda itu. Tak sadar, ia kepalkan tangannya, ia tonjokkan ke arah pemuda yang sudah tak terlihat oleh matanya. Tapi ia heran, mengapa pemuda yang sudah hilang dari pandangannya kemudian malah ia rasakan menangkap tangannya?

Ratih meronta. Ia tak sudi tangannya dipegang oleh pemuda aneh dan gampang menuduh. Memang, pemuda itu ganteng dan paling selisih 3-4 tahun dari usianya. Tapi apalah artinya kegantengan jika buruk kelakuan?

"Lepaskan!" Teriak Ratih seraya mengentakkan tangannya.

"Ratih....Ratih..."

Ratih membuka matanya. Dilihatnya ibunya memegang tangannya. Masya Allah, berapa lama ia terlelap di beranda ini? Ratih tak sadar jika ia tertidur selama menunggu ibunya dari pasar.

"Ayo, bangun. Ini sudah siang. Sudah lewat zuhur. Ibu tunggu, kita makan sama-sama. Ayahmu sudah dapat kerjaan sejak hari ini. Dia baru pulang sore."

"Ibu sudah lama pulang, dong. Kok, aku tidak dibangunkan?"

"Kasihan. Kamu pasti mengantuk. Kurang tidur. Jadi ibu biarkan saja. Ibu tinggal masak tadi. Ayo, bangun."

Ratih segera memeluk ibunya. Ibu yang dicintainya dengan segenap jiwa raga (bersambung)

Serial selanjutnya:
Tentang penulis 
Syafruddin Pernyata atau Es Pernyata, lahir Loa Tebu (Tenggarong), 28 Agustus 1958. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman serta Program Studi Linguistik (Magister) Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah bekerja sebagai guru,  dosen,  wartawan, dan birokrat. Tugas sebagai birokrat ialah Karo Humas, Kepala Dinas Pendidikan, Kaban Perpustakaan, Kepala Diklat, dan Kepala Dinas Pariwisata Kaltim.
Karya yang diterbitkan: Harga Diri (kumpulan cerpen),  Aku Mencintaimu Shanyuan (novel),  Nanang Tangguh dan Galuh Intan (novel), Belajar dari Universitas Kehidupan (kisah motivasi), Ujar Mentor Jilid 1 dan 2 (buku motivasi), Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel).
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar