Terkini

Menyudahi 48 Tahun Penantian Aliran Listrik-2: Terjalnya PLTS Komunal

person access_time 5 years ago
Menyudahi 48 Tahun Penantian Aliran Listrik-2: Terjalnya PLTS Komunal

Foto: Fachrizal Muliawan (kaltimkece.id)

Gunung terjal sudah didaki. Masih ada langit untuk ditaklukan.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Jum'at, 23 November 2018

kaltimkece.id Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal atau terpusat tentu bukan perkara mudah. Apalagi di Kampung Long Pakaq, Long Pakaq Baru, dan Delang Kerohong di Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu (Mahulu). Selain kendala distribusi, berbagai persoalan teknis mengadang.

Setelah PLTS terbangun pun, tebing terjal tetap harus dilalui. Tak lain tak bukan adalah pengelolaan hingga pemeliharaan.

Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim Pancasila Reksa Bantolo menceritakan, sebelum PLTS dibangun, perencanaan sudah dilakukan pada 2015. Desain pun dimulai 2016 sebelum terkendala defisit pada 2017. “Baru dapat kucuran dana 2018,” tuturnya.

Baca juga:
 

Tiga tahun kendala dana ternyata baru titik awal. Seperti lumrah dalam realisasi banyak proyek, pembebasan lahan adalah pengadang besar.  Dari dua PLTS dibangun, rumah pembangkit di Long Pakaq paling terhambat. Lokasi saat ini adalah opsi ke empat.

“Bahkan proyek di Long Pakaq, hampir kami pindah ke kampung lain,” ujar Bantolo.

Pembangunan tersebut dimodali Dana Alokasi Khusus atau DAK APBD Kaltim 2018. Syarat utamanya, kampung mesti menyediakan sendiri segala kebutuhan lahan. Sesuai ketentuan, DAK tidak mengatur ganti rugi lahan maupun tanam-tumbuh.

Tak cukup sampai di situ, kriteria ideal lahan rumah pembangkit adalah tanah datar. Sedangkan lahan tersedia di Long Pakaq berada di kawasan bukit. “Akhirnya mesti dilakukan beberapa penyesuaian teknik sipil di lahan tersebut.”

Siasat dimulai. Konstruksi cakar ayam di setiap fondasi bangunan mengemuka. Baik untuk rumah pembangkit maupun penampang panel surya. Konstruksi cakar ayam tahan gempa dan genangan air. Keuntungan yang sesuai dengan Indonesia. Baik untuk keadaan geologi, iklim, penduduk, maupun pembangunan (Prof. DR. Ir Soedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta, 2009, hlm: 166).

Selain konstruksi cakar ayam, parit-parit ikut dibangun. Bagian ini berguna menanggulangi erosi tanah. Air hujan dicegah benar menggenangi kawasan PLTS. Langsung dialirkan keluar area bangunan. “Soalnya lokasi PLTS di lereng bukit,” tuturnya.

Dengan bentuk sedemikian, kedua PLTS memungkinkan mendapat sertifikat layak operasi. Status tersebut dikeluarkan PT Sucofindo sebagai rekanan yang ditunjuk menginspeksi kelayakan.

Masalah lahan klir. Tapi, PLTS Long Pakaq Baru tetap bikin menghela napas. Salah satu panel surya pecah terkena lemparan batu. Kejadiannya masih ketika proses pembangunan. Beruntung, ada waktu memesan kembali dari pemasok di Jakarta. “Mungkin anak-anak sekitar tak sengaja,” ujarnya.

 

Pengelolaan dan Pemeliharaan

Dua PLTS selesai dibangun. Warga tiga kampung merasakan aliran listrik. Masing-masing rumah diberi jatah 700 Watt per hari. Yang dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan dan pemeliharaan.

Setelah prosedur hibah, kedua PLTS dikelola badan usaha milik kampung (BUMK). Menurut Bantolo, dalam pengelolaan mesti ada komitmen warga dan BUMK. Terutama soal tarif.

“Selain agar sama-sama memiliki, dana yang ditarik untuk pemeliharaan dan gaji operator kelak,” jelasnya.

Masing-masing petinggi kampung diminta menyusun peraturan kampung atau perkam. Dalam ketentuan tersebut diatur hak dan kewajiban para pengguna listrik.

Urusan Pemprov Kaltim juga belum berakhir. Meski PLTS dihibahkan kepada kampung melalui Pemkab Mahulu, banyak tanggung jawab harus dipenuhi. Sebagaimana diatur UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, tugas memberi fasilitas listrik di pedalaman, masyarakat belum mampu, daerah berkembang, tetaplah beban Pemprov. Lampiran CC angka 5 Undang-Undang 23/2014 menguraikan tugas pemprov dalam hal ketenagalistrikan.

 

Waswas Penarikan Tarif

Dalam kunjungan Dinas ESDM Kaltim ke tiga kampung Kecamatan Long Pahangai, Mahulu, beberapa waktu lalu, hadir aktivis sekaligus pengamat kebijakan publik Carolus Tuah. Dia mengapresiasi proyek PLTS komunal yang sangat mulia. Menghadirkan negara sebagai penyedia energi di pedalaman. “Energi adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Maka, dari sisi niat, proyek ini mulia sekali,” ucap Tuah.

Meski demikian, rumitnya birokrasi negara menjadi problem klasik yang terus terjadi. Program mulia pun tak luput dari tren itu. Salah-salah, reputasi PLTS malah jadi proyek pencitraan. “Itu yang saya takutkan.”

Diungkapkan eks Koordinator Pokja 30 tersebut, hingga kini BUMK belum memiliki dasar menarik biaya listrik. PLTS belum menjadi aset kampung. Dalam hal ini, meski perkam sudah dibuat, BUMK tetap tanpa dasar selama aset masih milik Pemprov.

Informasi berkembang, penyerahan dari kontraktor ke Pemprov Kaltim dilakukan Desember 2018. Rentetan proses hibah hingga ke level kampung, dikhawatirkan memakan banyak waktu. “Pertanyaannya, proses ini berapa lama?” sebut dia.

Menurut Tuah, perawatan dan operasional PLTS memerlukan banyak tenaga. Sedangkan, setiap pekerja wajib menerima upah. Dan umumnya, gaji para pekerja bersumber dari biaya listrik yang dibebankan kepada pelanggan. Kondisi birokrasi berliku bisa membuat proses itu tersendat. “Kalau dipaksakan, tak menutup kemungkinan menjadi temuan pungli,” ungkapnya.

Masalah-masalah dikhawatirkan terus menghantui. Pengawalan Pemprov Kaltim menjadi sangat krusial. Dinas ESDM diharap mengawal hingga enam bulan. Baik dari pengelolaan maupun proses hibah. (habis)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

Senari kepustakaan:
  • Effendi, Ahmad, dan Hermawan Aksan, 2009. Prof. DR. Ir Soedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta, Jakarta: PT Mizan Publika.

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar