Terkini

Rangkaian Teror Diterima Dosen-Dosen Unmul, Dipicu Penolakan Terhadap Revisi UU KPK

person access_time 5 years ago
Rangkaian Teror Diterima Dosen-Dosen Unmul, Dipicu Penolakan Terhadap Revisi UU KPK

Koalisi Dosen Universitas Mulawarman Peduli KPK menandatagani petisi. (Nalendro Priambodo/kaltimkece.id)

Serangan datang hingga grup WhatsApp. Berlanjut ke panggilan dari nomor-nomor asing mancanegara.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Jum'at, 13 September 2019

kaltimkece.id Mata Haris Retno S belum lagi terpejam. Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 Wita. Rabu, 11 September 2019, sebuah kabar mengejutkan masuk telepon seluler dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu. Diterima kabar bahwa salah satu dosen administrator group percakapan WhatsApp yang diikutinya tak lagi memegang kuasa atas nomornya sendiri.

Group percakapan itu berisi hampir 100 orang. Akademisi dari puluhan universitas di Indonesia. Salah satu bagian dari masyarakat sipil yang getol menolak rencana revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keganjilan itu langsung direspons. Para dosen keluar dari grup lama dan membuat grup baru. Namun itu saja rupanya tak cukup. Siang harinya, sekitar pukul 14.00 Wita, sedikitnya lima panggilan dari nomor asing muncul di layar telepon pintarnya. Tertera nomor dari Amerika Serikat. Ia memilih tak mengangkat panggilan misterius itu.

Rupanya, telepon dari nomor tak dikenal juga mampir ke nomor Dekan Fakultas Hukum Unmul, Mahendra Putra Kurnia. Dari pukul 14.00 Wita hingga 14.30 Wita, telepon pintarnya tak berhenti berdering.

"Ada 30 panggilan dengan 10 nomor berbeda. Nomornya asing tak seperti di Indonesia. Di bawahnya muncul kode negara. Salah satunya Amerika Serikat," tutur Mahendra, Jumat, 13 September 2019, di Fakultas Hukum Unmul, Samarinda.

Sore harinya, rekan mereka sesama pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengalami hal serupa. Bahkan, ada hal lain yang membuat mereka terkejut. Grup percakapan WhatsApp diambilalih orang tak dikenal. Muatannya berbalik arah menyerang sikap koalisi masyarakat sipil. Beberapa kiriman mendukung revisi undang-undang KPK.

"Beberapa teman yang angkat telepon dari orang tak dikenal itu, justru diajak berdebat agar setuju dengan revisi undang-undang KPK," ujar Mahendra.

Mereka menilai, ini salah satu bentuk teror kecil. Satu sisi, untuk mengganggu jalur koordinasi. Sisi lain, menekan psikologis mereka yang menolak revisi undang-undang KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu.

Rupanya, intimidasi dengan modus panggilan nomor tak dikenal juga dialami dosen kampus lain di Indonesia. Misalnya Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Muchtar yang dikenal lantang menyuarakan penolakan revisi undang-undang KPK.

Beberapa hari terakhir, Zainal menerima ratusan panggilan telepon dari nomor tak dikenal. Baik dalam dan luar negeri. Ada 10 lebih akademis yang mendapat teror serupa. Di antaranya Pakar Hukum Tata Negara, Bivitry Susanti, dan Dosen Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo.

"Teman-teman hari ini mendapatkan gangguan telepon yang luar biasa," kata Zainal dalam diskusi di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 11 September 2019, dikutip dari laman tempo.co.

Rimawan dikenal sebagai penggagas pernyataan sikap guru besar dan dosen lintas kampus menolak revisi undang-undang KPK. Per 10 September 2019, pertanyaan sikapnya mendapatkan dukungan 2 ribuan dosen dari 33 Universitas di Indonesia.

Harris Retno, Mahendra, dan Herdiansyah Hamzah menduga kuat teror itu dilancarkan pihak-pihak yang tak senang dengan gerakan penolakan revisi undang-undang KPK. Seruan yang getol mereka lancarkan beberapa pekan terakhir. Sebab, pola dan sasarannya serupa.

Nyali akademisi Unmul tak ciut dengan teror itu. Buktinya, mereka berhasil menggalang dukungan petisi dari 114 dosen dan guru besar di kampus terbesar di Kaltim tersebut. Tergabung dalam Koalisi Dosen Universitas Mulawarman Peduli KPK. Petisi itu diserahkan ke lembaga tinggi negara. Termasuk presiden dan DPR dalam waktu dekat.

"Kami tak gentar dengan teror. Justru teror itu makin menguatkan kami," seru Mahendra.

Dalam petisi tersebut, koalisi menyampaikan enam butir telaah penolakan. Pertama, soal usulan menjadikan KPK menjadi cabang eksekutif atau pemerintahan. Koalisi, lanjut Herdiansyah berpendapat, ini adalah logika hukum ketatanegaraan yang menyesatkan.

KPK adalah lembaga independen. Bukan cabang dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. "KPK adalah lembaga negara yang bebas dari pengaruh kepentingan cabang kekuasaan manapun," tegas akademisi yang karib disapa Castro ini.

Kedua, penolakan soal pembentukan dewan pengawas KPK. Dewan ini diprediksi kuat bakal memperlemah kerja KPK karena sarat kepentingan.  Apalagi, jika nantinya dipilih DPR. Secara teori negara independen, koalisi menilai, tak satupun negara di dunia memiliki dewan pengawas di lembaga independen.

Ketiga, upaya mencabut mahkota komisi antirasuah di bidang penyadapan. Diatur untuk mendapat izin dewan pengawas terlebih dulu. Lewat draf usulan tersebut, koalisi menilai dewan pengawas bisa memiliki kontrol mutlak terhadap KPK. Apalagi, banyak kasus korupsi berhasil diungkap lewat penyadapan. "Dengan demikian, hampir bisa dipastikan, operasi tangkap tangan tak akan pernah terjadi lagi," katanya.

Poin empat, penolakan pengintegrasian KPK dalam sistem pengadilan pidana konvensional. Mulai penyidik harus dari kepolisian, tidak diperbolehkannya penyidik independen sampai penuntutan yang berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Berkebalikan dengan kondisi KPK sekarang yang memiliki kekhususan sesuai undang-undang yang bisa mandiri dan independen dalam prosesnya hingga tuntutan. 

Poin kelima soal penolakan diberikannya KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP3) bagi perkara yang tak selesai selama setahun. Jika disahkan, koalisi khawatir ada ruang intervensi kasus yang ditangani KPK. Modusnya bisa memperlambat administrasi selama setahun.

Terakhir, soal mencabut kewenangan KPK mengontrol Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi sekedar supervisi belaka. Dalam draf revisi, kewenangan itu diserahkan kepada instansi masing-masing. Koalisi berpendapat kontrol internal tak efektif. "Bagaimana mungkin jeruk makan jeruk ?" lanjut Castro.

Sejak 17 tahun berdiri, KPK berhasil membangun kepercayaan publik. Ini terlihat dari data resmi KPK yakni 1.064 perkara yang ditangani. Kemudian 255 perkara berhasil menjerat anggota legislatif sebagai pesakitan. Diikuti 130 kepala daerah, 6 pimpinan partai politik. Serta kepala lembaga/kementerian sebanyak 27 kasus. Adapun 123 berupa operasi tangkap tangan dengan 432 tersangka.

"Kami meyakini bahwa upaya pelemahan ini adalah reaksi balik dari para koruptor, teman-teman koruptor dan yang akan jadi koruptor di kemudian hari," tegasnya.

Secara khusus, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim, Pradharma Rupang, menilai jika revisi disetujui bakal membuat Kaltim makin sengsara. Sebab, potensi korupsi di Kaltim berbasis di perizinan sumber daya alam. Ia mencontohkan tiga mantan kepala daerah di Kaltim yang telah dicokok KPK. Seorang mantan gubernur dan dua mantan bupati. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar