Ekonomi

Pahitnya Harga Kelapa Sawit, Pengusaha Nantikan Hilirisasi

person access_time 5 years ago
Pahitnya Harga Kelapa Sawit, Pengusaha Nantikan Hilirisasi

Aktivitas distribusi kelapa sawit di Kaltim. (arsip kaltimkece.id)

Isu kelapa sawit di mata internasional memberi dampak terhadap Kaltim. Solusi jangka pendek dan panjang pelan-pelan mengemuka.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Kamis, 08 Agustus 2019

kaltimkece.id Harga kelapa sawit sepanjang tahun ini masih pahit. Pada Januari 2019 saja, harga tandan buah segar (TBS) rata-rata sudah terpuruk di angka Rp 1.171 per kilogram. Sempat naik Rp 1.302 per kilogram, harga TBS rata-rata jatuh lagi menjadi Rp 1.173 per kilogram pada Juli 2019. Kampanye negatif minyak kelapa sawit dari Uni Eropa disebut salah satu faktor melemahnya harga. Uni Eropa menetapkan komoditas minyak kelapa sawit mentah sebagai produk tak ramah lingkungan. Tertuang dalam kesepakatan Renewable Energy Directive (RED) II.

Melihat tren dalam beberapa tahun terakhir, harga TBS hari-hari ini berada di titik terendah. Sebagai perbandingan, pada Oktober 2017 saja, harga TBS dari pohon berusia tiga tahun adalah Rp 1.494 per kilogram. Untuk kelompok pohon berusia 10 hingga 25 tahun, sesuai catatan Dinas Perkebunan Kaltim, menembus Rp1.696,58. Dengan demikian, harga TBS melorot 30 persen sepanjang dua tahun ini. 

Kelapa sawit telah ditetapkan sebagai tanaman berisiko tinggi oleh Uni Eropa. Mengacu fungsi lahan dan deforestasi dalam skema RED II, ditetapkan bila ada perluasan lahan menyebabkan kerusakan alam di atas 10 persen, dianggap sebagai produk berbahaya yang tidak digunakan UE. Akibat kesepakatan RED II tersebut, penggunaan crude palm oil (CPO) di Uni Eropa dikurangi pada 2019-2023, sebelum dihapus total pada 2030.

Di level daerah, kata Kepala Dinas Perkebunan Kaltim, Ujang Rachmad, penurunan harga CPO memengaruhi harga TBS yang menggunakan komponen harga CPO dunia. Harga CPO internasional pada awal 2019 adalah USD 586 per metrik ton. Sementara pada Maret hingga Juni menjadi USD 510-550 per metrik ton. “Penurunan harga disebabkan permintaan CPO yang menurun akibat kampanye negatif Uni Eropa,” jelas Ujang, membenarkan. Dalam teori ekonomi dasar, sambungnya, minimnya permintaan dengan suplai berlebih menyebabkan harga komoditas turun.

Sampai 2018, luas lahan Kaltim yang telah ditanami kelapa sawit menembus 1,19 juta hektare. Dari jumlah itu, 284 ribu hektare merupakan kebun rakyat atau plasma. Seluruh kebun menghasilkan 13,16 juta ton tandan buah segar sepanjang 2018. Setelah diperas oleh 82 pabrik, buah-buah itu menghasilkan 2,89 juta ton minyak sawit mentah atau CPO.  

Ketika harga TBS sawit normal, menurut rekam Dinas Perkebunan, produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim dari sektor ini sebesar Rp 15,32 triliun pada 2017. Jumlah tersebut adalah 4,49 persen dari seluruh PDRB Kaltim. Kegiatan di sektor ini diketahui menyerap 337.972 ternaga kerja, atau 18 persen angkatan kerja Kaltim. 

Hilirisasi Jadi Kunci

Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim, Azmal Ridwan, punya resep menyelamatkan industri kelapa sawit Kaltim. Paling utama adalah kelapa sawit tak bergantung ekspor, apalagi ke Uni Eropa. Bila tetap menggunakan skema ekspor, hal paling logis adalah mengganti tujuan ekspor. “Masih banyak negara lain yang bisa bisa menjadi tujuan ekspor,” ujarnya.

Sedangkan untuk jangka panjang, langkah paling ideal adalah mengembangkan hilirisasi industri. Dengan produksi CPO 2,8 juta ton pada 2017, Kaltim mestinya bisa memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit untuk dijadikan produk turunan. “Ketika perputaran stabil di Kaltim, harga minyak kelapa sawit bisa stabil,” tuturnya.

Azmal mengatakan, sudah saatnya Bumi Etam menikmati keuntungan dari kelapa sawit. Banyak deretan produk turunan minyak kelapa sawit bisa dimanfaatkan. “Mulai urusan dapur seperti minyak goreng dan margarin, hingga produk kecantikan,” tuturnya.

Azmal kemudian mengingatkan, mesti dipilah produk turunan yang memiliki potensi pasar besar. Apalagi bakal ada efek domino bila hilirisasi industri berjalan. Beberapa di antaranya penyerapan tenaga kerja hingga quality control TBS. Terlebih untuk petani kelapa sawit swadaya. Untuk memenuhi kebutuhan produk turunan, diperlukan kelapa sawit dengan kualitas tertentu. Dengan harapan, petani berlomba-lomba menaikkan kualitas kelapa sawit dari kebun mereka. Sementara dari sisi pemerintah, mesti mempromosikan peluang investasi produk turunan minyak kelapa sawit. Sebagai contoh, mempermudah proses izin investasi.

“Maksudnya, izin akan dikeluarkan bila seluruh regulasi yang ditetapkan pemerintah terpenuhi,” jelas Azmal. (*)

 Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar