Ekonomi

Upaya Tertatih Kaltim Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam, Menyambut Asa dari Status IKN

person access_time 4 years ago
Upaya Tertatih Kaltim Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam, Menyambut Asa dari Status IKN

Sektor pertambangan masih dominan menggerakkan perekonomian Kaltim. (nalendro pirambodo/kaltimkece.id)

Sumber daya alam menjadi kekuatan besar provinsi ini. Keberadaannya yang terbatas membuat kekuatan tersebut bak manusia yang fana.

Ditulis Oleh: Nalendro Priambodo
Kamis, 20 Februari 2020

kaltimkece.id Silang sengketa perwakilan Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK-SPSI) PT Buma Lati, Berau, dan direksi perusahaan, bak fenomena gunung es. Di permukaan, kedua pihak adu argumen di balik pemutusan hubungan kerja 300 pekerja. Di bawahnya, bertumpuk masalah skala luas yang bisa meledak kapan saja.

Dalam mediasi kali kedua di Gedung E DPRD Kaltim, 10 Februari 2020, PT Buma Lati berdalih, alasan PHK karena turunnya target produksi yang disepakati dengan mitra kerja, PT Berau Coal, perusahaan batu bara besar di Kaltim dengan konsesi 118 ribu hektare.

Pada 2018, target produksi mencapai 164 juta bank cubic meter (BCM). Pada 2019 turun menjadi 146 juta BCM. Penurunan volume produksi menyebabkan perusahaan kelebihan unit produksi dan pekerja. Perampingan pekerja dilakukan dari 4.200 menjadi 3.700. Perusahaan bedalih langkah ini sebagai upaya bertahan.

"Kalau target besar, kami memerlukan karyawan yang lebih banyak. Demikian sebaliknya," urai Manajer Umum PT Buma Lati, Nanang Rizal Ahyar, kepada kaltimkece.id setelah mediasi.

Kutukan sumber daya alam atau SDA adalah istilah menjelaskan kegagalan negara kaya SDA mengambil manfaat dari berkah yang dimiliki. Sebaliknya, negara yang miskin SDA malah bisa mendapat kelimpahan.

Secara umum, teori tersebut menjelaskan bahwa negara dengan SDA melimpah, justru berkontribusi rendah terhadap pertumbuhan ekspor manufaktur. Akibatnya, gagal menciptakan diversifikasi sektor industri nonmigas.

Sektor nonmigas inilah yang diharapkan jadi sumber pertumbuhan dan lapangan pekerjaan baru. Tokoh yang menggaungkan istilah tersebut adalah Richard Auty, dibantu Sachs dan Warner (1995). Sebagai catatan, ekspor utama Kaltim baru sebatas batu bara, crude palm oil.

Kutukan tersebut memiliki fenomena kompleks. Ada tiga hal mencuat. Pertama, apresiasi mata uang karena pendapatan dari SDA dan dampak negatifnya terhadap posisi kompetitif industri lain. Fenomena ini disebut "Wabah Belanda", fenomena ketika Belanda mendapati sektor manufaturnya melambat seiring eksploitasi gas alam di Laut Utara Belanda.

Kedua, fluktuasi harga komoditas dan efeknya yang mengacau. Ketiga, efek dari kondisi politik (George Soros, Kata Pengantar buku Berkelit dari Kutukan Sumberdaya Alam, 2007).

Di negara berkembang, fenomena Wabah Belanda menyebabkan penurunan di sektor pertanian (hal 6). Fenomena ini diperkuat laporan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Kaltim yang dipublikasikan Februari 2020.

Contohnya lima besar struktur penopang ekonomi Kaltim beberapa tahun terakhir. Hingga triwulan IV 2019, sektor pertambangan dan penggalian mendominasi 44,3 persen. Disusul industri pengolahan 17,8 persen; konstruksi 9,4 persen; pertanian, kehutanan, dan perkebunan 8 persen. Terakhir, perdagangan besar, eceran serta reparasi mobil dan motor, 6 persen. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun.

Hal kedua dalam kutukan SDA adalah fluktuasi harga komoditas SDA mentah yang mengakibatkan kekacauan perekonomian Kaltim. Semisal batu bara, BI Kaltim menganalisis, ada dua pangsa besar emas hitam Kaltim beberapa tahun terakhir. Tiongkok dan India. Pada 2019 negeri asal film Bollywood tersebut menyerap 28,17 persen batu bara Kaltim. Sementara, negeri berjuluk Tirai Bambu menyerap 35,32 persen. Sisanya dari negeri Asia Timur lainnya.

Sejak 2016 hingga 2019, BI Kaltim mencatat pula naik turun ekspor batu bara kedua negeri itu. Ekspor ke Tiongkok sempat menyentuh di atas 20 juta ton pada triwulan II 2016. Terus menurun hingga triwulan IV 2017. Ekspor tertinggi tercatat pada triwulan III 2019 menyentuh 20 juta ton. Setelahnya turun setengah pada triwulan IV 2019. Walaupun masih naik turun, India mencatatkan tren peningkatan ekspor batu

Kaltim sejak 2016 hingga 2019, dari sekadar 7 juta ton pada 2019, menyentuh lebih 15 juta ton di semester I 2019. Sebagai catatan, penurunan ekspor batu bara Kaltim pada 2015 hingga 2016 membuat ekonomi Kaltim minus dua tahun berturut-turut. 1,02 dan 0,38 persen.

Kondisi ini dibarengi PHK massal. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim mencatat selama periode minusnya ekonomi Kaltim, ada 10.721 pekerja tambang batu bara di-PHK berbagai perusahaan. Pertumbuhan ekonomi membaik setahun setelahnya ketika permintaan emas hitam di pasar global naik.

Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan Kaltim, Tutuk SH Cahyono, menganalis tren naik turunnya permintaan emas hitam Kaltim di dua negara tersebut dipengaruhi beberapa faktor. Utamanya cuaca dan penyediaan stok bahan bakar pembangkit listrik dan industri. Dua faktor ini saling berkaitan dengan kondisi ekonomi dua negara itu yang terhubung ke ekonomi global.

Pemerintah di dua negara tersebut sedang berjuang dengan isu lingkungan terkait batu bara sebagai sumber utama pasokan bahan bakar pembangkit listrik. Tiongkok sedang berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca akibat polusi batu bara lewat program Langit Biru. Sementara India, walaupun permintaan batu baranya meningkat, ada desakan mendorong energi terbarukan.

Begitu pula dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) Kaltim pada 2019 sebanyak 1,9 juta ton. Sebanya 47,7 persen masih diserap pasar Tiongkok. Terbesar kedua adalah Eropa sebesar 18,74 persen. Disusul India 11,37 persen.

Senada dengan ekspor batu bara, ekspor CPO Kaltim ke sejumlah negara itu  juga terpengaruh sejumlah isu global yang menyebabkan harga dan permintaan naik turun. Di Tiongkok, permintaan CPO Kaltim masih primadona sejak triwulan IV 2016 hingga triwulan IV 2018. Pengiriman sempat menyentuh 150 sampai 200 ribu ton dalam satu triwulan. Sayangnya, dengan penurunan ekonomi Tiongkok sepanjang 2019, permintaan CPO Kaltim pun turun setengah.

Potensi sama bakal terjadi di Eropa seiring kebijakan pelarangan ekspor CPO asal Indonesia yang diterbitkan akhir 2019 lalu. Peluang pasar CPO baru, dikatakan Tutuk, bisa berasal dari India. Negara ini sedang memboikot pasokan CPO asal Malaysia dan mencari sumber pasokan dari Indonesia.

"Ketidakstabilan di Tiongkok dan India juga dorong ketidakstabilan ekonomi di Kaltim," kata Tutuk Jumat pekan lalu.

Tutuk mengamini, ketidakstabilan ekonomi global memengaruhi naik turunnya pertumbuhan ekonomi Kaltim yang sangat bergantung ekstraksi ekspor SDA.  Pertumbuhan ekonomi Kaltim naik turun tak seperti nasional yang stabil di angka 5 persen.

Pengalaman pertumbuhan minus ekonomi pada 2015 dan 2016 karena permintaan dan harga batu bara anjlok bisa dikurangi dengan berbagai resep. Pertama, adalah perlahan-lahan mengubah ketergantungan ekspor bahan mentah yang harganya naik turun.

Berbagai sektor baru layak dilirik. Contohnya industri hilir kelapa sawit sampai wisata alam. Dua industri ini memiliki keuntungan. Selain menghasilkan nilai tambah ekonomi juga berkelanjutan dan kurang terpengaruh langsung iklim global. Kalaupun pasar global lesu, bisa andalkan pasar domestik. Industri hilir juga mendorong serapan tenaga kerja baru mengurangi pengangguran.

"Karena (perekonomian) Kaltim sering goyang-goyang, perlu hilirisasi industri," kata Tutuk.

Sebagian Besar karena Pusat

Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi setengah menolak istilah kutukan SDA. Justru ia menilai lambannya industrialisasi di Kaltim karena kebijakan pusat. "Yang atur (industri) hulu dan hilir (pemerintah) pusat. Kalau dulu pusat distribuskan secara adil di Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan seharusnya itu tak terjadi," katanya, diwawancarai Sabtu, 15 Februari 2020 setelah menghadiri acara di Hotel Grand Senyiur, Samarinda.

Setelah kemerdekaan hingga pasca reformasi, ada tarik ulur perizinan di pusat dan daerah yang membentuk wajah ekonomi Kaltim. Setelah kemerdekaan, pemerintah pusat mengeluarkan izin perusahaan hulu migas baik di Blok Mahakam maupun Muara Badak yang terintegrasi kilang di Balikpapan pada akhir 1960.

Sayangnya, dieksploitasi selama 50 tahun, produksi minyak terus berkurang. Contohnya di Blok Mahakam. Produksi minyaknya sempat menyentuh titik tertinggi di atas 200 kilo barrel setara minyak (Kboed) pada 1977. Pada 2016, produksinya menurun jauh di bawah 100 kboed, sebagaimana presentasi PT Migas Mandiri Pratama di DPRD Kaltim, 10 Februari 2020.

Turunnya minyak di blok itu terbantu ekploitasi gas alam yang mulai ditemukan sejak 1982. Terus menanjak produksinya mencapai lebih 500 kboed pada 2009. Setelahnya, karena faktor penurunan alamiah terjadi penurunan hampir menyentuh 400 kboed pada 2016.

Hampir bersamaan menurunnya produksi minyak Kaltim sekitar 1980-an, pemerintah pusat mengeluarkan izin bagi industri perkayuan. Industri ini sempat berjaya hingga akhir 2000, sebelum akhirnya tersisa beberapa perusahaan.

Merujuk salinan Dinas Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) Kaltim yang diterima kaltimkece.id, pemerintah pusat juga mengeluarkan izin pertambangan batu bara dari beberapa generasi. Tercatat ada 30 izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B. Total luasnya 1.006.139,63 hektare.

Seiring dibukanya keran desentralisasi pasca reformasi, mendorong kewenangan perizinan lebih ke pemerintah daerah. Sejak saat itu, bupati dan wali kota di Kaltim, kecuali Bontang dan Balikpapan, berlomba-lomba menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara.

Masih dari data ESDM Kaltim, jumlahnya mencapai 1.404 IUP dengan total luas 4.131.735,59 hektare. Ketika kewenangan pertambangan beralih ke pemerintah provinsi, sesuai Undang-Undang 23/2014, IUP di Kaltim tersisa 734 izin. Gubernur Awang Faroek Ishak pada akhir pemerintahannya mencabut 670 IUP.

Meski demikian, lanjut Hadi, pemprov tak berpangku tangan. Program hilirisasi industri di Kaltim tetap dilanjutkan. Diketahui, program itu sudah dicanangkan Gubernur Kaltim dua periode sebelumnya (2008-2018). Di antaranya Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Batuta (KEK MBTK) di Kutim. Begitu juga Kawasan Industri, Kariangau di Balikpapan dan kawasan industri pengolahan gas di Bontang.

Terletak di Kutai Timur, kawasan Pembangunan KEK MBTK diarahkan sebagai prasarana pengembangan kawasan industri berbasis oleochemical. Kawasan itu memiliki potensi besar untuk pengembangan pertanian dalam arti luas.

Menurut rencana pengembangan, tersedia empat terminal yakni general cargo, terminal crude palm oil (CPO), terminal batu bara, dan peti kemas (Derap Langkah Pembangunan Kaltim, 2018 hal 90).

Pembangunan kawasan ekonomi dibagi tiga tahap ketika Awang Faroek menjabat gubernur Kaltim. Pertama, dimulai 2008 hingga 2013. Pembangunan berfokus konektivitas di sekitar Maloy dan pembebasan lahan di Teluk Golok, Kutai Timur.

Tahap kedua diarahkan kepada pembangunan pelabuhan internasional di Teluk Golok serta akses jaringan jalan. Pada tahap ketiga, pembangunan diarahkan kepada penyelesaian dan pembangunan kawasan wisata (hlm 89).

Sayangnya, setelah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 1 April 2019, KEK MBTK masih sepi investor. Direktur Utama PT Melati Bhakti Satya, perusda milik Pemprov Kaltim, ditugaskan mengelola kawasan tersebut. Dari analisisnya, disebutkan bahwa fasilitas yang belum lengkap jadi penyebab. Utamanya jalan, air, dan listrik.

"Memang banyak (investor) survei. Ada yang sudah berikan komitmen investasi. Tapi, kami kembalikan kepada mereka kapan siapnya (berinvestasi)," kata Direktur Utama PT Melati Bhakti Satya (MBS), Agus Dwitarto, Selasa, 4 Februari 2020, di DPRD Kaltim.

Menanggapi itu, Hadi bakal berkoordinasi lebih lanjut mempercepat perampungan guna menarik investor. Meski demikian, ia tetap optimistis akan ada perbaikan ekonomi dan percepatan industrialisasi pada masa depan. "Makanya, kalau IKN (ibu kota negara) dipindah ke sini (Kaltim), saya rasa itu bisa diatasi," katanya. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar