Hukum

Fakta-Fakta Persidangan Rita-4: Kiriman Uang untuk Bunda

person access_time 5 years ago
Fakta-Fakta Persidangan Rita-4: Kiriman Uang untuk Bunda

Foto: istimewa

Gratifikasi yang mengalir kepada Rita dan Khairuddin berasal dari mana-mana. Nilainya mencapai Rp 110,23 miliar. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Kamis, 11 Oktober 2018

kaltimkece.id Hakim Sugiyanto baru saja selesai membacakan surat putusan ketika mata Bupati Kutai Kartanegara (non-aktif) Rita Widyasari mulai berkaca-kaca. Vonis bersalah yang keluar dari pengadil membuat Rita hanya bisa mengeringkan air matanya dengan selembar tisu. Kepala daerah perempuan pertama di Kaltim ini kemudian memeluk perempuan di sebelahnya, yang tak lain tim kuasa hukumnya.

Jumat, 6 Juli 2018, hakim memutuskan Rita dan Khairuddin bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rita dihukum 10 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsidair 6 bulan kurungan. Sementara Khairuddin alias Khoi sebagai terdakwa dua, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dengan denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan. Hak politik keduanya dicabut selama lima tahun. Vonis diterima Rita sedangkan Khoi mengajukan banding. 

"Menimbang berdasarkan uraian fakta, terdakwa satu Rita Widyasari bersama terdakwa dua Khairudin telah menerima gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 110.234.440.000,” terang Sugiyanto selaku ketua majelis hakim membacakan putusan.

kaltimkece.id telah meminta salinan putusan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pekan lalu. Namun, pengadilan menyatakan bahwa naskah putusan masih dipindai untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung --sehingga nantinya bisa diakses siapapun. Adapun gratifikasi yang terbukti dalam putusan hakim, telah dilansir berbagai media nasional. Mengutip CNN dan Tempo, gratifikasi sebesar Rp 110,23 miliar terdiri dari empat poin yang merupakan penerimaan uang dalam rentang 2010-2017. 

Gratifikasi pertama sebesar Rp 2,53 miliar secara bertahap dari 2014 hingga 2017. Pemberian uang kepada Rita ini berasal dari penerbitan surat kelayakan lingkungan dan izin lingkungan. Gratifikasi kedua sebesar Rp 220 juta adalah penerbitan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal. Gratifikasi yang ketiga Rp 49,54 miliar, diberikan oleh PT Citra Gading Aristama. Perusahaan ini memenangi sejumlah proyek bernilai jumbo di Kukar. Sementara yang terakhir, Rita dan Khairudin menerima fee 6 persen dari setiap proyek di berbagai instansi. Jumlahnya mencapai Rp 57 miliar.  

Untuk mengetahui setiap detail gratifikasi yang terbukti, kaltimkece.id bersama Kelompok Kerja 30 dan Jaringan Advokasi Tambang memeriksa catatan persidangan dalam naskah tuntutan setebal 1.474 halaman. Dokumen publik tersebut diperoleh secara sah dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Konstruksi fakta persidangan dari keempat gratifikasi itu disajikan satu per satu berikut ini. 

Amplop Kuning

Gratifikasi pertama dan kedua adalah penerimaan Rp 2,53 miliar dari penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan atau SKKL dan Rp 220 juta dari penerbitan amdal. Uang tersebut berasal dari pungutan di Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kukar. 

Dimulai dari kesaksian Basori Alwi dan Hamsyin. Keduanya adalah konsultan jasa lingkungan. Di depan persidangan, Basori mengatakan bahwa pungutan di BLHD bermula setelah terbitnya Peraturan Pemerintah 27/2012 tentang Izin Lingkungan. Besar pungutan Rp 60 juta yang terdiri dari tarif Rp 50 juta dan paraf Rp 10 juta. Para pemohon izin menyerahkan uang kepada kepala seksi. Sepanjang 2013 hingga 2017, Basori telah menyerahkan pungutan untuk penyusunan 26 amdal. Dari catatan yang dia lampirkan, sebagian besar adalah perusahaan pertambangan batu bara. 

Saksi berikutnya adalah Hamsyin, pegawai negeri yang bekerja sebagai dosen dan berpengalaman selama 15 tahun sebagai konsultan lingkungan. Hamsyin ingat bahwa kepala bidang pernah berkata kepadanya, “Dari tahun ini, AA (inisial seseorang yang disebut-sebut anggota tim pemenangan bupati) minta Rp 50 juta.” 

Ada tambahan Rp 10 juta lagi untuk paraf. Seluruh pungutan itu membuat biaya mengurus izin lingkungan di Kukar membengkak. Dari semestinya hanya Rp 90 juta, menjadi Rp 150 juta per dokumen. 

Pungutan tersebut diterima oleh Kepala Seksi Kajian Dampak Lingkungan, BLHD Kukar, Aji Sayid Muhammad Ali. Berdasarkan kesaksiannya, jumlah uang yang diterima secara bertahap sejak 2014 sebesar Rp 2,3 miliar untuk SKKL dan Rp 220 juta untuk amdal. Seluruhnya berasal dari 136 perusahaan (SKKL) dan 27 perusahaan (amdal). Uang paraf --sebelum ditandatangani bupati-- sebesar Rp 10 juta menjadi honor para pejabat mulai kepala seksi, kepala bidang, kepala dinas, asisten I pemerintahan dan umum, serta sekretaris daerah. “Setiap pejabat yang memaraf menerima honor Rp 1 juta hingga 1,5 juta,” katanya.  

Setelah sejumlah uang dan berkas izin lingkungan terkumpul, Muhammad Ali membawanya ke pendopo atau rumah jabatan bupati di Jalan Panji, Tenggarong. Dokumen dan uang diserahkan kepada Suroto tanpa tanda terima. Adapun Suroto, adalah dosen tetap Universitas Kutai Kartanegara yang menjadi staf khusus bupati. Saat menyerahkan uang itu, Muhammad Ali berkata kepada Suroto, “Ini ada titipan untuk bupati.”

Baik Rita maupun Khairuddin dan Khoi selaku terdakwa, tidak menanggapi kesaksian ini. 

Di persidangan selanjutnya, Suroto membenarkan telah menerima uang dari Muhammad Ali. Staf khusus yang digaji Rp 10 juta per bulan oleh Rita itu mengaku tak ingat berapa kali menerima uang dari Muhammad Ali. Namun, setiap penyerahan dilakukan kolektif dengan uang sebesar Rp 15 juta atau Rp 35 juta. Uang tersebut kemudian Suroto serahkan kepada Ibrahim, ajudan pribadi bupati. Suroto berkata, “Tolong ini sampaikan ke Bunda (Bupati Rita).”

Ibrahim menjalankan “amanah” itu. Dalam kesaksiannya di persidangan, dia menjelaskan bahwa titipan dari Suroto biasanya berupa uang di dalam amplop besar kuning. Ibrahim lantas menyerahkan amplop berisi uang itu kepada Rita di dua tempat. Pertama, di ruang keluarga di dalam pendopo. Tempat kedua adalah ruang tamu kediaman pribadi Rita di Jalan Mulawarman. 

Atas kesaksian itu, Rita membantah menerima uang. Menurutnya, setiap izin lingkungan (yakni SKKL dan amdal) tidak pernah ada uangnya. Rita juga mengatakan, tidak pernah meminta atau memerintahkan seorang pun untuk mengumpulkan uang tersebut. 

Material Pusat alias Fee

Gratifikasi kedua adalah penerimaan Rp 49,54 miliar secara bertahap dari Ichsan Suaedi, pemilik PT Citra Gading Asritama atau PT CGA. Perusahaan ini cukup istimewa di Kukar. PT CGA memenangi sejumlah proyek besar. Dari situlah, fee proyek disebut mengalir kepada Rita dan Khairuddin. 

Adalah keterangan Ichsan ditambah kesaksian sejumlah pegawai PT CGA yang menguatkan dakwaan. Gratifikasi ini dimulai dari internal PT CGA. Perusahaan menetapkan kebijakan memberi fee proyek sebagai ucapan terima kasih. Menurut catatan keuangan perusahaan yang dibuka jaksa KPK di persidangan, ucapan terima kasih itu ditulis dengan istilah “material pusat” atau disingkat ‘matpus.” 

Rita dan Khoi diberi matpus dengan besaran 10 persen dari nilai kontrak netto (setelah dipotong PPN 10 persen dan PPH 3 persen). Ada pula matpus sebesar 1 persen untuk seluruh peserta lelang. Ichsan menjelaskan bahwa 1 persen dari nilai kontrak itu diberikan setelah pembicaraan dengan seluruh peserta lelang. Bahwasanya, peserta yang lain mendukung PT CGA untuk memenangi lelang. Pernyataan ini dibenarkan kesaksian M Setiyo Utomo, mantan direktur teknik PT CGA. Setiyo menyatakan bahwa sistem lelang untuk proyek-proyek besar di Kukar telah dikondisikan. Biasanya menggunakan sistem arisan atau bergiliran di antara kontraktor-kontraktor besar. 

Matpus kepada Rita dan Khoi dialirkan PT CGA sepanjang 2011 dan 2012. Alur fulus itu terdiri dari dua bagian. Pertama, ditransfer dari kantor pusat PT CGA Surabaya ke kantor cabang PT CGA Tenggarong kemudian diserahkan kepada yang bersangkutan. Ada pula uang tunai yang diberikan kepada Khairuddin di Jakarta dan Balikpapan. 

Sesuai laporan pengeluaran PT CGA, besar fee atau matpus untuk Rita adalah sebagai berikut; pembangunan Jalan Tabang III Rp 4,87 miliar, lanjutan semenisasi Kota Bangun-Liang Ilir Rp 1 miliar, pembangunan RSUD Parikesit Rp 11,5 miliar, dan proyek di Loa Sakoh Rp 350 juta. Fee yang diberikan kepada Rita berikutnya adalah pembangunan SMA Unggulan Tenggarong Rp 4,61 miliar, pembangunan jalan Kembang Janggut-Kelekat Rp 600 juta, proyek baru di Kukar Rp 8 miliar, dan irigasi Jonggon Rp 1 miliar.

Seluruh uang untuk Rita diberikan Ichsan melalui Khoi. Salah satu caranya tergambar dalam kesaksian Marsudi, mantan staf operasional bagian keuangan PT CGA. Uang tunai sebesar Rp 1 miliar di dalam tas dimasukkan Ichsan ke mobil Khairuddin di depan kantor cabang PT CGA di Tenggarong.

Rita turut menerima matpus melalui uang yang diserahkan kepada Khairuddin di Jakarta dan Balikpapan. Dalam catatan pengeluaran PT CGA, totalnya Rp 13,43 miliar. Ada satu hal menarik dalam pemberian uang tunai di luar Tenggarong ini. Ery Hanifah Rusmayanti, mantan kasir PT CGA, menceritakan ihwal uang tunai dalam jumlah besar yang hendak diberikan kepada Rita melalui Khairuddin tersebut. Pada 18 Januari 2012, Ery menukarkan uang Rp 6,97 miliar ke dalam dolar Amerika Serikat. Untuk menukarkannya, Ery ternyata hanya menugaskan seorang office boy bernama Andrianto. Office boy itu pun membawa USD 770 ribu yang kemudian diserahkan kepada pegawai PT CGA bernama Tjatur Suwandono. Beberapa hari kemudian, uang tersebut dibawa ke Balikpapan menggunakan tas ransel hitam untuk diserahkan kepada Khairuddin. 

Dari seluruh pemberian PT CGA, total fee yang dikeluarkan untuk Rita Rp 44,34 miliar. Sementara matpus untuk Khairuddin yang tercatat adalah Rp 5,5 miliar. Total gratifikasi dari PT CGA menjadi Rp 49,54 miliar. 

Gratifikasi terakhir adalah penerimaan fee proyek sebesar 6 persen dari rekanan di sejumlah organisasi perangkat daerah di Kukar dengan penerimaan mencapai Rp 57 miliar. Hakim menyatakan, total gratifikasi yang diterima Rita dan Khoi Rp 110,23 miliar. 

Setelah putusan, Rita menerima vonis hakim. Adapun Khairuddin, mengajukan banding karena terdapat dissenting opinion atau pendapat yang berbeda dari majelis hakim. Dua hakim menyatakan Khoi tidak termasuk pejabat negara atau penyelenggara negara. Sementara tiga hakim berpendapat bahwa Khairuddin terbukti melakukan tindak pidana karena menikmati gratifikasi. Hal ini sebagaimana dakwaan kedua disertakan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Upaya Konfirmasi

kaltimkece.id berupaya menyajikan keberimbangan artikel ini dengan berusaha menemui Rita Widyasari dan Khairuddin. Pada Jumat, 5 Oktober 2018, reporter kaltimkece.id telah mendaftar sebagai pembesuk Rita di Rumah Tahanan Wanita Klas II/A Pondok Bambu, Jakarta Timur. Permintaan bertemu tidak diluluskan petugas rutan karena bukan keluarga yang terdaftar. Melalui celah kecil di pintu masuk, petugas menerangkan bahwa kepala rutan tidak memperkenankan wartawan menemui warga binaan tanpa izin menteri hukum dan HAM. 

kaltimkece.id juga berusaha menemui Khairuddin di Rumah Tahanan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK. Pada Kamis, 4 Oktober 2018, petugas menyampaikan bahwa batas maksimal pembesuk Khairuddin yakni lima orang telah terpenuhi. Sementara untuk kepentingan wawancara, petugas rutan meminta kaltimkece.id menemui juru bicara KPK, Febri Diansyah. Keesokan harinya, Jumat, 5 Oktober 2018, Febri menyatakan Khairuddin tidak bisa diwawancarai juru warta. Febri memberikan sejumlah penjelasan mengapa Khoi tidak bisa diwawancarai dalam kalimat off the record

Dihubungi terpisah, para penasihat hukum Rita dan Khoi tidak memberikan jawaban atas permintaan konfirmasi. Reporter kaltimkece.id berusaha menghubungi Noval El Farveisa selaku penasihat hukum Rita sejak Sabtu, 6 Oktober 2018. Nomor teleponnya aktif sejenak pada Minggu, 7 Oktober 2018, pukul 17.38 WIB. Baik pesan singkat maupun panggilan kaltimkece.id tidak dijawab sampai berita ini diterbitkan. 

Pada hari yang sama, kaltimkece.id menghubungi Yanuar Prawira Yasesa selaku ketua tim penasihat hukum Khairuddin. Yanuar memilih tidak memberikan pernyataan. Menurut seorang anggota tim, saat ini tim penasihat hukum sedang disusun ulang untuk menghadapi sidang banding Khoi atas vonis hakim. (bersambung)

Dilengkapi oleh: Fachrizal Muliawan (Jakarta)

Liputan ini tersaji dari hasil telaah kaltimkece.id, Kelompok Kerja 30, dan Jaringan Advokasi Tambang, yang memeriksa dokumen fakta persidangan Rita Widyasari dan Khairuddin setebal 1.474 halaman. Seluruh fakta persidangan terdiri dari keterangan 72 saksi dengan 895 bukti beserta petunjuk. Salinan fakta persidangan ini merupakan dokumen publik yang diperoleh Jaringan Advokasi Tambang, Jatam, dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, telah membenarkan kesahihan dokumen tersebut adalah dari KPK.

Baca juga artikel terdahulu dari serial Fakta-Fakta Persidangan Rita:
 
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar