Lingkungan

Desa Adat Dayak Basap dalam Kepungan Tambang

person access_time 5 years ago
Desa Adat Dayak Basap dalam Kepungan Tambang

Foto: Sapri Maulana (kaltimkece.id)

Kampung yang dulunya sumber kehidupan warga kini tak lagi bisa diandalkan. Bermula dari masuknya tambang batu bara pada 2004.

Ditulis Oleh: Sapri Maulana
Selasa, 23 April 2019

kaltimkece.id Kampung Segading, Desa Keraitan, tak jauh dari pusat Kecamatan Bengalon, Kutai Timur. Hampir tak ada sinyal telepon seluler, apalagi jaringan internet. Akses air bersih Sungai Segading telah tercemar. Aliran listrik Perusahaan Listrik Negara juga belum masuk. Meliput selama dua hari di Segading, setumpuk masalah terekam dan tercatat jadi rangkaian kisah ini.

Dari Ibu Kota Kaltim, perlu waktu sekitar tujuh jam untuk tiba di Kecamatan Bengalon. Menggunakan mobil penggerak ganda, kami memasuki Desa Keraitan. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari pusat kecamatan. Kondisi jalan belum beraspal ataupun semenisasi. Waktu perjalanan sekitar 50 menit.

Kepungan tambang batu bara milik perusahaan raksasa PT Kaltim Prima Coal tampak jelas saat menyusuri jalan menuju Keraitan. Sepengetahuan warga, tambang mulai mengepung sejak 2004. Keraitan yang memilki arti rapat, atau kebun bersusun tanpa selah, merupakan permukiman Suku Dayak Basap. Kelompok ini tinggal di dalam hutan. Beberapa kilometer dari lokasi mereka bermukim sekarang.

“Tempat asal nenek moyang kami, kalau mau ke sana kami harus menyeberangi sungai (Segading). Di sana sudah tak ada orang. Tinggal kebun kami saja,” ungkap Kepala Lembaga Adat Suku Dayak Basap Gagai kepada kaltimkece.id beberapa waktu lalu.

Gagai, 53 tahun, lahir di Keraitan. Kini bertahan bersama seorang istri dan empat anaknya. Memiliki dua hektare lahan yang ditanam padi gunung. Sebelum 2004, maksimal Gagai memanen padi 8 ton setahun. Sejak beberapa tahun terakhir, panen maksimal hanya 2 ton.

Tak hanya itu. Dulu padi dapat ditinggal begitu saja hingga masa panen. Kini, ia harus rutin mengecek ke ladang. “Dulu juga enggak perlu disemprot (antihama). Sekarang harus. Hama, ada serangga, ada tikus,” ungkap Gagai.

Begitu juga tanaman lain. Bahkan lombok yang sebenarnya tak perlu disemprot.

Sungai Segading di Desa Keraitan tercemar beberapa tahun terakhir. Dulu terdapat banyak ikan. Untuk ditangkap dan disantap. Warga juga mengambil air dari sungai ini untuk diminum. Kini, air mesti dibeli Rp 5 ribu per 20 liter. Rata-rata konsumsi untuk kebutuhan selama tiga hari. Sedangkan untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), warga mengandalkan air sumur bor masing-masing. Pengeluaran rata-rata Rp 10 ribu untuk menyalakan pompa air per tiga hari.

Fasilitas Kampung Segading begitu minim. Tapi warga tak goyah. Masih pantang dipindah ke Kampung Budaya buatan KPC. Padahal, hanya satu sekolah di Segading, yakni Sekolah Dasar Filial 018. Untuk pendidikan tingkat lanjut, warga harus keluar kampung. Terdekat di Bengalon. Atau Sangatta.

Menolak Dipindah

Sejak November 2011, PT KPC membuat program Segading resettlement. Warga Segading ditawari pindah lokasi. Sebagian memilih bertahan. Sebagian menerima tawaran perusahaan batu bara raksasa tersebut.

Dilansir dari situs resmi KPC, pada 2015 perusahaan melakukan serah terima sejumlah fasilitas umum di lokasi baru yang diberi nama Kampung Budaya itu. Mulai bangunan kantor desa, kantor BPD, Puskesdes, hinga sekolah. Selain itu ada masjid, balai adat, kolam ikan, dan pondok pemancingan.

Manager Bengalon Community Relation and Development (BCRD) KPC Wawan Setiawan menyerahkan secara simbolis fasilitas tersebut kepada Kepala Desa Keraitan Jumansyah. Disaksikan Bupati Kutai Timur saat itu ,Ardiansyah Sulaiman.

Meski demikian, segala fasilitas itu tak bikin kegigihan warga luntur. Mereka tetap dengan pendiriannya. “Saya akan tetap bertahan di sini,” ucap Gagai.

Dari 80 kepala keluarga atau KK warga Segading, yang bertahan sekitar 38 KK. Sisanya pindah ke Kampung Budaya. Jaraknya berkisar 4 kilometer dari pusat Kecamatan Bengalon.

Gagai bercerita, seluruh warga mendapat tawaran sama untuk pindah ke Kampung Budaya. Tapi alasan banyak warga bertahan ialah luasnya lahan untuk bercocok tanam. Sumber daya alam untuk kebutuhan pangan juga masih bisa dipenuhi.

Kendati demikian, Gagai dan warga lain khawatir perusahaan menambang semakin dekat. Beberapa kali perusahaan memberikan tawaran pindah agar lebih dekat dengan pusat keramaian di Bengalon. Tapi warga terlanjur nyaman hidup di hutan.

Semangat mempertahankan Segading juga dilontarkan Ketua RT 01 Ramlitun, 44 tahun. Ramli bersama sang istri memiliki lima anak. Warga yang memilih pindah, juga terbukti tak sejahtera.Ada beberapa yang kembali ke Segading dari Kampung Budaya.Tanah luas dan kenyamanan Segading menjadi alasan. “Kalau perusahaan memaksa kami pindah, mau tidak mau kami melawan,” kata dia.

Meski tak pernah dipaksa secara fisik, Ramlitun mengaku pernah diancam. Pihak perusahaan mengklaim warga akan dipindahkan negara dari Segading.

“Saya bilang: bagus kalau negara memindahkan kami daripada kalian (perusahaan). Kalau negara, dia enggak akan kejam. Kami termasuk rakyat. Indonesia tidak kejam dengan kami,” tutur Ramli.

Seperti Gagai, Ramli juga mengeluhkan kondisi sungai. Beberapa tahun terakhir, pernah terjadi ikan banyak mati mendadak. Diduga karena tercemar limbah. “Dulu di sungai, kalau mancing setengah jam itu sudah cukup buat makan,” ungkapnya.

Kondisi Kampung Budaya ‘Buatan’

Suroso, 73 tahun, adalah Ketua RT 02 Desa Keraitan. Ia dan sejumlah warga pindah dari Segading ke Kampung Budaya sejak November 2011. Tawaran mendapatkan rumah dan jaminan hidup berupa sejumlah sembako dan uang tunai menjadi salah alasannya menerima tawaran itu. Tapi, jaminan hidup selama lima tahun lebih, sudah tak lagi diterima.

Untuk pindah ke Kampung Budaya, warga memang mendapat iming-iming. Tapi tak begitu saja warga tertarik. Apalagi betah. Dari 70 rumah dibangun, tak lebih setengahnya terisi. Tak semua warga setuju dipindah. Warga Kampung Budaya juga ada yang pindah ke Bengalon.

Mesin air rusak beberapa waktu terakhir. Warga pun kesulitan mendapatkan air bersih. Sedangkan untuk aliran listrik, menggunakan generator yang menyala 12 jam tiap hari. Sejak 2011 hingga 2016, air dan listrik gratis. Setelahnya, warga membayar iuran Rp 50 ribu per bulan. “Harapannya, jalanan dari Bengalon menuju ke sini diperbaiki. Agar kami mudah menjual hasil tanaman kami,” kata Suroso.

Suroso memang masih betah di Kampung Budaya. Tapi tidak dengan Maria Ervina Mei dan Elly Dian Wiswindari. Keduanya akhirnya kembali ke Segading. Mulai tinggal pada 2014, September 2018 ia hengkang di Kampung Budaya. Elly dan suami malah hanya bertahan tiga bulan.

“Di sana rumahnya sudah elite tapi tidak ada pekerjaan. Saya ke sana bawa uang belasan juta. Habis juga karena hanya makan dan tidur,” kata Maria saat ditemui di Segading.

Jaminan hidup dari perusahaan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tuntutan hidup mengantarnya kembali ke Segading. Bertani jadi pilihan masing-masing suami Elly dan Maria. Memang tak ada paksaan pindah dari Segading ke Kampung Budaya. Hanya kondisi yang makin susah membulatkan tekad untuk kembali.

“Dari pertama pindah memang sudah buntu pikiran. Lahan enggak ada. Pekerjaan enggak ada. Apalagi masa depan,” kata Maria. Selain dia dan Elly, ada sekitar enam KK juga kembali. Belum yang pindah ke daerah lain.

Elly juga protes sebab pemerintah hanya memperhatikan Kampung Budaya. Padahal, tak ada jaminan bagi warga bisa tinggal lebih lama. Sertifikat tanah atau kepemilikan rumah, belum juga diserahkan perusahaan.

Semula, sertifikat kepemilikan rumah dijanjikan setelah lima tahun tinggal. Realitanya, belum satupun mendapatkan sertifikat. “Jadi di sana itu kayak numpang saja. Kalau ada yang usir, ya, angkat kaki. Di sana kami enggak ada kekuatan,” ungkap Elly.

Negara Harus Hadir

Diungkapkan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim Pradarma Rupang, pihaknya sudah beberapa kali berkunjung dan menginap di Desa Segading, Keraitan. Rupang menyayangkan kepungan tambang yang mengancam keberadaan dan keberlangsungan hidup warga di sana. Minim perhatian pula. Terutama dari pemerintah. “Bukan hanya dikepung. Sungai dan sumber makanan mereka juga terganggu akibat tambang,” kata Pradarma.

Baca juga:
 

Menghentikan kepungan tambang menjadi langkah menyelamatkan wilayah dan keberlangsungan hidup rakyat. Apalagi sebagian penduduk menolak dipindahkan.

Tentang KPC

Dalam laporan berkelanjutan PT Kaltim Prima Coal 2017, perusahaan batu bara raksasa tersebut menulis upaya peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Desa dan masyarakat. Perusahaan turut membangun kemandirian di tingkat desa secara langsung. Dalam skenario persiapan penutupan operasional tambang KPC, semua program pemberdayaan diarahkan untuk mendukung percepatan kemandirian desa. Baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Didukung dengan berbagai agenda pemanfaatan areal tambang yang searah dengan agenda pembangunan pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional.

KPC merealisasikan Rp 67,44 miliar dalam bentuk berbagai program jangka pendek dan jangka panjang untuk pengembangan masyarakat di Kutim. “KPC terus berperan dalam pembangunan perekonomian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Komitmen dan kontribusi sosial KPC berjalan beriringan dengan pelestarian budaya setempat dan tujuan kami untuk senantiasa memberikan manfaat berkelanjutan.”

KPC telah bekerja sama dengan masyarakat setempat. Terutama dalam proses identifikasi kebutuhan sosial dan sumber daya yang dimiliki dalam rangka realisasi investasi sosial. Perusahaan juga bermitra dengan organisasi yang relevan dalam melaksanakan inisiatif dan kegiatan sosial kemasyarakatan, dengan proses yang konsisten dan mumpuni untuk memonitor perkembangan dan kinerja masing-masing inisiatif kegiatan tersebut.

“Sebagai salah satu perusahaan produsen batubara terbesar, KPC percaya bahwa apa yang kami lakukan di sini adalah tidak sekedar menambang. Kami yakin jika kegiatan penambangan batubara dikelola dengan bertanggung jawab, batubara dapat memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat, dan di saat yang bersamaan mampu meminimalisasi dampak negatifnya.

kaltimkece.id mengirim permintaan wawancara untuk meminta sikap perusahaan atas keluhan warga Segading. Namun Manajer Eksternal KPC, Yordhen, tak dapat memberikan komentar.

“GM (General Manager) yang punya kewenangan untuk diwawancarai sedang tidak ada di tempat,” kata Yordhen melalui pesan singkat, Senin, 15 April 2019. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait

Pariwara Mahakam Ulu

Pesan Keberagaman di Mubes Dayak Kenyah Lepoq Tukung

access_time11 months ago

Pariwara Mahakam Ulu

Kembangkan 10 Desa Wisata di Mahulu

access_time11 months ago

Pariwara Pemkab Kukar

Desa Batuq Semenisasi Jalan Desa

access_time1 year ago

Tinggalkan Komentar