Lingkungan

Mengejar Pidana Korporasi Kasus Tumpahan Minyak Teluk Balikpapan

person access_time 5 years ago
Mengejar Pidana Korporasi Kasus Tumpahan Minyak Teluk Balikpapan

Foto: Basten Gokkon/Xinhua

Tragedi tumpahan minyak di Teluk Balikpapan memberi dampak yang besar. Namun tak sebesar sanksi hukum yang mengemuka.

Ditulis Oleh: Sapri Maulana
Jum'at, 15 Maret 2019

kaltimkece.id Hampir setahun petaka tumpahan minyak pipa Pertamina di Teluk Balikpapan terjadi. Jaringan Advokat Lingkungan Hidup atau JAL Balikpapan menilai penegakan hukum belum maksimal. Baru nakhoda MV Ever Judger Zhang Deyi yang dihukum. Menanggung vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar atau tambahan hukuman satu tahun penjara.

Dalam putusan hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Zhang Deyi terbukti melakukan tindak pidana dan kerusakan lingkungan berdasarkan Pasal 98 ayat 1, 2, dan 3 juncto Pasal 99 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

 
Baca juga:
 

Berdasar rilis resmi Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT, pangkal masalah tragedi bermula dari miskomunikasi. Antara nakhoda dan kapal pemandu, berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sedangkan sesama awak kapal MV Ever Judger menggunakan bahasa Tiongkok.

Ketika nakhoda diarahkan menunurunkan jangkar sedalam 1 meter, mualim kapal justru menurunkan sekitar 27 meter. Salah komunikasi berujung fatal. Jangkar turun melebihi ketentuan. Membentur pipa minyak Pertamina dan tumpahan tak terhindarkan.

Dalam putusan hakim, diungkapkan fakta bahwa baku mutu air laut berkurang seluas 39 ribu hektare. Sekitar 86 hektare hutan mangrove juga mengalami kerusakan. “Seharusnya kasus ini tidak diarahkan menjadi pertanggungjawaban individu. Melainkan pertanggungjawaban korporasi,” ungkap Direktur JAL Balikpapan Fathul Huda Wiyashadi, melalui keterangan tertulis, Kamis, 14 Maret 2019.

“Pertamina maupun perusahaan kapal MV Ever Judger merupakan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban,” sambungnya.

Berdasarkan Pasal 88 UU PPLH, kata Fathul, Pertamina yang kegiatan usahanya bersinggungan bahan berbahaya dan beracun atau  B3, dapat dimintakan pertanggungjawaban mutlak. Termasuk perusahaan kapal MV Ever Judger. Yang selain dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, harus dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini sesuai Pasal 116 ayat (1). “Perusahaan kapal MV Ever Judger dapat dimintakan berdasar hubungan pekerjaan dengan nakhoda,” kata Fathul.

Terlepas dari penegakan hukum tersebut, pemerintah di level pusat hingga kota dinilai tenang-tenang saja. Seperti merasa sudah melakukan hal maksimal terhadap kewajiban atas tragedi tumpahan minyak.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK melaksanakan sanksi administrasi kepada Pertamina. Hukuman berupa kewajiban membangun early warning system atau sistem peringatan dini, serta pemulihan lingkungan yang tinggi. Namun, kini juga tidak jelas pelaksanaannya. Tak seorangpun dari masyarakat umum mengetahui apa yang telah dilaksanakan.

“Banyaknya kejanggalan terhadap penegakan hukum kasus ini, merupakan contoh buruk tata kelola lingkungan hidup di Bumi Etam,” kata Fathul.

Ancaman Meluas

Menurut catatan Koalisi Masyarakat Peduli Tumpahan Minyak atau Kompak Teluk Balikpapan, tumpahan minyak pada 31 Maret 2018 lalu memakan lima korban jiwa. Termasuk dua kapal nelayan dan satu kapal pengangkut batu bara yang terbakar. Belum lagi pesut, lumba-lumba tanpa sirip belakang, dan dugong yang menjauh dari habitat. Satu ekor pesut juga ditemukan tewas dari tragedi itu.

Sedangkan 162 nelayan sempat tak bisa melaut. Hasil panen tak bisa dikonsumsi selama beberapa waktu. Pun tempat wisata yang sempat tak bisa dinikmati.

Selain itu, sejumlah kekhawatiran tetap mengemuka setelah tumpahan minyak mereda. Ada 17 ribu hutan mangrove terancam rusak. Belum lagi musnahnya plankton di area terdampak. Ada pula empat kawasan terumbu karang dan budidaya rumput laut yang rusak. Ancaman kanker dan limbah B3 juga tak bisa disepelekan.

“Selain penegakan hukum harus terus dituntaskan, jaminan agar kejadian serupa tidak terulang harus diberikan pemerintah,” kata Fathul.

Berdasar catatan JAL, sedikitnya sudah empat kejadian tumpahan minyak di teluk Balikpapan. Pertama pada 2004. Disusul 2009 dengan tergugat pihak Pertamina. Berikutnya 2014, dan yang terbesar pada Maret 2018. Termasuk tiga tumpahan minyak pasca tumpahan 31 Maret tahun lalu.

“Penegakan hukum kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan jangan sampai terhenti di vonis nakhoda MV Ever Judger. Harus berlanjut kepada korporasi. Setidaknya terhadap Pertamina dan perusahaan kapal MV Ever Judger,” kata dia.

Putusan Hakim Tak Memuaskan

Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim juga menilai putusan hakim tidak memuaskan. Jangkauan daya rusak dari pencemaran lingkungan mencapai lebih 60 kilometer. Terjadi sepanjang garis pantai Balikpapan dan Penajam Paser Utara.

“Sudah selayaknya penjara seumur hidup dan denda di atas nominal tersebut putusannya,” kata Dinamisator Jatam Kaltim Pradharma Rupang kepada kaltimkece.id, Kamis, 14 Maret 2019.

Jatam membandingkan denda Rp 15 milliar dibagi 7 ribu hektare lahan yang tercemar. Maka, per hektare sama saja mendapat Rp 2,1 Juta. Nilai segitu setara 7 ribu smartphone entry level buatan Tiongkok.

“Jumlah yang kecil untuk memastikan proses pemulihan betul-betul terjadi,” kata Rupang.

Jatam Kaltim menyayangkan penegakan hukum belum menyentuh para pejabat di jajaran Pertamina dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, beberapa persoalan internal Pertamina menjadi penyebab tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Seperti tidak adanya sistem peringatan dini. Padahal, posisi Balikpapan Coal Terminal di teluk dinilai sangat rawan. Berdekatan ruang hidup warga. Termasuk aktivitas nelayan teluk.

“Laporan Tim Penanganan Kejadian Tumpahan Minyak (Oil Spill) yang dibentuk KLHK juga telah memaparkan sejumlah temuan. Mengarah kepada lemahya sistem keamanan dan keselamatan dari Pertamina yang berada di kawasan Teluk Balikpapan,” kata Rupang.

Jatam Kaltim mendesak audit di seluruh pipa migas. Juga membersihkan pantai serta pesisir di Teluk Balikpapan dari tambang. Termasuk lalu lalang transportasi kapal migas dan privatisasi pantai.

Mereka mendesak KLHK dan Polda Kaltim memeriksa jajaran pimpinan Pertamina, KSOP Balikpapan, serta Kementerian ESDM untuk bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan. Serta tidak berjalannya sistem keamanan yang menyebabkan petaka patahnya pipa minyak di Teluk Balikpapan.

Tanggapan Pertamina

Pertamina yang disudutkan dalam tuntutan JAL, belum menjawab rinci ketika dikonfirmasi kaltimkece.id. Disebutkan Region Manager Communication & CSR Kalimantan Pertamina Yudi Nugraha, soal penanganan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, pihaknya terus berkoordinasi dengan instansi terkait. Komunikasi dengan warga terdampak juga dilakukan.

“Kami mengikuti dan menghomati proses hukum yang ada. Sesuai prosedur berlaku,” sebut Yudi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Kamis lalu. (*)

 

Editor: Bobby Lolowang

 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar