Politik

Memenangkan Kotak Kosong, Menghukum Elite Politik (2): Ketua Golkar Sebut Dipimpin Hantu Casper

person access_time 3 years ago
Memenangkan Kotak Kosong, Menghukum Elite Politik (2): Ketua Golkar Sebut Dipimpin Hantu Casper

Dari kiri: Ketua DPD Golkar Kaltim Rudi Masud, Ketua DPW PPP Kaltim Rusman Yaqub, dan Ketua DPD PDIP Kaltim Safaruddin.

Kehadiran calon tunggal dalam Pilkada Balikpapan dan Kukar diklaim karena kegagalan partai. Ketua partai politik angkat bicara.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Minggu, 20 September 2020

kaltimkece.id Sejumlah partai politik (parpol) yang bersekutu dalam koalisi calon tunggal di Balikpapan dan Kutai Kartanegara angkat suara. Menurut mereka, calon tunggal versus kolom kosong sudah diatur dalam undang-undang. Para ketua parpol juga menyampaikan tanggapan mengenai desas-desus mahar politik. Demikian halnya hukuman politik jika pilkada dimenangkan oleh kolom kosong.

Kepada reporter kaltimkece.id, tiga ketua partai di Kaltim memenuhi permintaan wawancara. Mereka adalah Ketua DPD PDI Perjuangan Kaltim, Safaruddin; Ketua DPD Partai Golkar Kaltim, Rudi Masud; dan Ketua DPW PPP Kaltim, Rusman Yakub. Berikut kutipan wawancara yang berlangsung pada Jumat, 18 September 2020.

Bagaimana tanggapan terhadap calon tunggal dan kegagalan kaderisasi oleh parpol?

[Ketua DPD PDI Perjuangan Kaltim, Safaruddin] Jadi, kotak kosong itu 'kan dalam undang-undang diperbolehkan. Kalau partai-partai lain ikut mendukung, ya, tanyakan kepada partai tersebut. Kalau saya, ya, PDIP mendukung Pak Edi Damansyah (di Kukar) karena Pak Edi ‘kan kader PDI Perjuangan. Kedua, berdasarkan hasil survei. Memang dia (Edi Damansyah) termasuk yang tertinggi dari calon-calon yang lain. Kalau partai-partai lain ikut mendukung, itu hak masing-masing.

[Ketua DPD Partai Golkar Kaltim, Rudi Masud] Begini, berkaitan dengan calon tunggal, tidak ada parpol yang mengetahui sebelumnya. Setiap parpol itu punya porsi masing-masing. Ya, tidak semua parpol itu bisa diatur. Seluruh parpol ini, dalam kontestasi politik seperti pilkada, pileg, pilgub, atau pilpres, mau menang. Partai pengusung juga ingin menang. Jadi yang dilihat itu adalah kompetensi.

Yang kedua, berkaitan dengan popularitas dan elektabilitas. Ini yang menjadi barometer. Saya menyakininya karena saya adalah ketua parpol. Saya memilih calon yang kira-kira menang, bukan yang kalah.

Berkaitan dengan Balikpapan, Partai Golkar tidak mungkin tidak mendukung Bapak H Rahmad Masud. Beliau adalah kader Golkar merangkap ketua DPD Golkar Balikpapan. Persoalan dia (Rahmad Masud) berkolaborasi dengan partai-partai lain, itu berkaitan dengan paslon. Paslon mampu memikat partai yang lain. Artinya, menyakinkan parpol yang lain bahwa paslon tersebut kuat.

Pada dasarnya parpol itu ingin menang. Kenapa? Apabila menang, parpol akan memegang kendali kekuasaan. Program-program dan rencana besar hanya bisa diwujudkan melalui kemenangan dalam kontestasi politik. Kalau kalah, tidak bisa program-program berjalan. 'Kan begitu.

[Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan Kaltim, Rusman Yakub] Memang (calon tunggal adalah) fakta dan realita politik. Bagi PPP, karena realita politik seperti ini, yang harus dilakukan adalah meyakinkan publik. Saya melihat parpol yang mengusung calon tunggal itu harus bekerja keras meyakinkan publik terutama konstituen masing-masing. Bahwa calon yang diusung adalah representasi publik, bukan kotak kosong.

Sesungguhnya, proses politik sudah berjalan dan komunikasi politik pasti terbangun jauh-jauh hari. Saat pilkada, semua parpol pasti telah melewati proses politik internal, antar-partai, dan antar-kandidat. Contohnya, PPP di Kukar. Kami jauh-jauh hari sudah membangun komunikasi intens dengan Pak Edi Damansyah. PPP tidak mengusung di injury time. PPP bukan tidak membangun komunikasi dengan kandidat lain. Tetapi tentu ada kriteria penilaian yang melandasi kami seperti survei dan elektabilitas. Paling tidak, kami mengetahui ekspektasi publik kepada figur yang mengemuka. Dari semua analisis, kami mengambil sikap politik untuk mendukung Pak Edi Damansyah.

Berbeda dengan di Balikpapan. Sejak awal, kami sebetulnya membangun koalisi baru dengan mengusung Ahmad Basir. Tetapi mendekati injury time, koalisi itu tidak mampu terwujud menurut kalkulasi kami. Lagi pula, PPP hanya memiliki tiga kursi. Tidak mungkin kami mem-blank-kan suara itu tanpa pilihan politik. Pada akhirnya, PPP menentukan pilihan kepada inkumben sehingga lahir calon tunggal.

Baca juga:
 

Ada pandangan bahwa mahar, biasanya disebut biaya operasional, ikut menyebabkan terjadinya calon tunggal…

[Safaruddin] Kalau di PDIP, tidak ada mahar. Nanti Anda tanya, ah, yang benar? Masak tidak ada? Ada, ada. Kemarin itu, Pak Edi menyetor di DPP PDIP, kalau tidak salah Rp 1,3 miliar. Tapi itu akan dikembalikan ke DPC-DPC (dewan pimpinan cabang di tingkat kabupaten/kota) sebagai biaya untuk rekrutmen saksi, pelatihan saksi, dan perhitungan suara nanti. Rp 1,3 miliar itu ada perinciannya. Banyak sekali perinciannya. Pokoknya, itu untuk rekrutmen saksi, pelatihan saksi dan perhitungan suara. Sekarang ini, secara bertahap sudah dikembalikan ke DPC-DPC.

[Rudi Masud] Begini, ini adalah pesta rakyat. Sekarang saya tanya Mbak (reporter kaltimkece.id), pernah datang bertamu? Apakah diberi minum, makan, atau kue? Ya, kira-kira begitulah dalam pesta rakyat ini. Namanya juga pesta, berarti ada yang disuguhkan. Paling tidak, kegiatan-kegiatan operasional. Ini bukan money politic, ya. Ini adalah biaya politik.

Politik itu cost-nya mahal. Kenapa? Untuk meyakinkan satu daerah atau satu wilayah atau satu provinsi. Tetapi untuk mahar politik, untuk mendapatkan partai politik, khusus Partai Golkar tidak pakai mahar. Tapi kalau biaya operasional pasti ada. Biaya operasional itu seperti tiket pesawat dan pertemuan-pertemuan. Artinya, ada biayanya, lah.

[Rusman Yakub] Enggak juga kalau di PPP. Menurut saya, banyak faktor yang mendasari (munculnya calon tunggal). Pertama, ini dampak kebijakan bahwa calon harus mundur kalau dia anggota DPR atau DPD. Akhirnya, orang tidak berani berspekulasi sehingga pilihan politik tidak banyak. Mau tidak mau, pilihan terbatas.

Kedua, apapun alasannya, biaya politik pasti ada. Biaya sosialisasi, pemenangan, dan lain sebagainya, tidak mungkin tidak ada. Tapi kalau di kami, itu bukan prioritas utama. Ada persyaratan membiayai pemenangan. Ada biaya konsolidasi pemenangan. Tidak mungkin kami bergerak kalau tidak ada biaya politik. Jadi, bukan diperuntukkan sebagai mahar.

Baca juga:
 

Bagaimana tanggapan terhadap gerakan memenangkan kolom kosong yang mulai muncul untuk menghukum elite politik termasuk parpol?

[Safaruddin] Namanya politik, pasti ada pro dan kontra. Ada yang setuju dan tidak setuju. Kalau semua setuju, berarti kita kembali ke Orde Baru, dong. Pro-kontra di politik itu biasa. Di dalam satu partai saja, kadang-kadang terjadi pro-kontra. Silakan saja (gerakan memenangkan kolom kosong), tapi 'kan kita lihat nanti masyarakat terpengaruh atau tidak. Di dalam pemilihan ini semua adalah hak rakyat. Kita kembalikan kepada masyarakat.

[Rudi Masud] Kami ini orang Islam. Kami dianjurkan memilih pemimpin. Ada tiga tips memilih pemimpin. Pertama, apabila semuanya buruk, dipilih yang paling sedikit keburukannya. Kedua, jika ada yang buruk dan baik, otomatis memilih yang baik. Ketiga, jika keduanya baik, kami memilih yang terbaik. Kira-kira begitu.

Saya tanya Mbak (reporter kaltimkece.id), mau tidak dipimpin kotak kosong? Saya minta tolong dikampanyekan, saya mengatakan ini bahwa orang harus cerdas memilih. Masak mau dipimpin kotak kosong? Artinya, kalau dipimpin kotak kosong, mohon maaf, saya bilang kita dipimpin hantu. Masak mau dipimpin Casper (hantu)? Tidak mungkin. Maksud saya, cerdaslah. Kita ini orang muslim. Kalau mau pilih pemimpin, yang jelas orangnya. Kontestasi pilkada ini untuk memilih pemimpin, bukan kotak kosong.

Saya memang pernah memberikan pernyataan, ‘Tolong ini dipertanyakan kejiwaannya. Apa kita ini waras atau tidak?’ Maksudnya, kalau waras, kita harus memilih pemimpin, bukan dipimpin kotak kosong. Kita harus memperbaiki masyarakat kita.

Begini, orang yang tidak suka kalau cuma satu, ya, sudah, pilih saja kotak kosong. Tapi, jangan biarkan negeri kita, daerah kita, wilayah kita, tidak dipimpin oleh yang tidak ada orangnya. Dipimpin oleh Casper? Jangan, dong. (Kotak kosong) tidak akan bisa mengambil keputusan besar. Keputusan yang mandatori. Kan begitu, tidak bisa. Yang namanya dipimpin kotak kosong, saya tidak tahu lagi mau ngomong apa.

[Rusman Yakub] Menurut saya, sah-sah saja. Itu hak publik dan wajar dalam berdemokrasi. Tak perlu ditakuti dan dikhawatirkan. Tapi ini harus jadi bahan renungan bersama bahwa ke depan, sistem pilkada diubah sehingga tidak ada lagi calon tunggal. Ini bahan pelajaran dan koreksi. Hak memenangkan kotak kosong adalah tantangan parpol untuk bekerja keras.

Bagaimana jika kotak kosong menang?

[Safaruddin] Kita lihat saja nanti. Kok, ngomong seandainya? Jangan berandai-andai. Ngapain. Saya tidak mau membahas yang belum jelas. Anda tidak usah tanya karena sudah ada aturannya.

[Rudi Masud] Kalau sampai kotak kosong menang, sekali lagi, daerah itu saya pastikan tidak bisa maju dan berkembang. Tidak ada kegiatan apapun dalam pemerintahan karena yang akan menjalankan adalah pelaksana tugas. Plt tidak bisa mengambil keputusan besar. Padahal, keputusan harus diambil dan harus bisa dipertanggungjawabkan.

Kalau nanti kotak kosong menang, ya, sudah. Artinya apa? Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak sanggup membayangkan suatu daerah yang tidak ada pemimpinnya. Mari cerdas memilih pemimpin. Itu yang utama. Kalau saya, maunya kalau bisa ada tiga, empat, atau lima kandidat yang berkompetisi.  Tetapi kalau akhirnya cuma satu, mau ngomong apa? Demokrasi kita mengatakan itu. Ada aturan mainnya.

[Rusman Yakub]

Sudah ada mekanismenya. Sudah ada forumnya. Kalau memang kotak kosong menang, ada penanggung jawab (kepala daerah). Maka dari itu, menurut saya, ini ujian parpol yang melawan kotak kosong. Itu risiko. Kalau saya, santai saja karena itu risiko politik. Itu pilihan politik. Setiap pilihan politik ada risikonya.

Memang risiko itu adalah pukulan bagi parpol. Saya tidak bisa juga serta-merta menyalahkan parpol. Dalam undang-undang pilkada disebutkan bahwa wajib hukumnya bagi parpol memiliki hak untuk mengusung. Kalau memang seperti itu, agar tidak terjadi ruang untuk melawan kotak kosong ke depan, UU Pilkada harus dirombak, diubah, dan direvisi. Kalau UU masih membuat celah, ya, kotak kosong masih akan ada. (bersambung)

Editor: Fel GM

Indeks Laporan Khusus Memenangkan Kotak Kosong, Menghukum Elite Politik:

 

Temui kami di Instagram!

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar